MOJOK.CO – “Kang, aku ini sudah sepuh. Beberapa hari kemarin aku dengar ada fatwa yang dikeluarkan Kiai Bahron bahwa hukum rokok itu haram,” kata Kiai Ndeso ini.
Kiai Kholil kedatangan Kiai Salim. Kiai yang sangat sepuh. Begitu sepuhnya, bahkan kalau mau membandingkan secara sekilas saja, wajah Kiai Kholil terlihat masih kinyis-kinyis ketimbang Kiai Salim.
Meski lebih sepuh, namun Kiai Salim mengakui keilmuan Kiai Kholil. Meski jadi tokoh di desanya, Kiai Salim tetap mengikuti kiai-kiai yang dianggapnya punya ilmu lebih mumpuni. Kebetulan kiai yang dianggap mumpuni itu salah satunya Kiai Kholil.
Itulah kenapa, sore itu Kiai Salim sowan ke kediaman Kiai Kholil.
“Kang, aku ini sudah sepuh. Paling sebentar lagi juga mati. Tapi beberapa hari kemarin aku dengar ada fatwa yang dikeluarkan Kiai Bahron bahwa rokok itu haram. Lebih-lebih lewat majelisnya Kiai Bahron, dikeluarkan maklumat fatwa haramnya rokok pula. Wah, wah,” kata Kiai Salim ini.
Kiai Kholil cuma tersenyum.
“Padahal panjenengan itu perokok berat ya, Mbah?” tanya Kiai Kholil.
“Iya,” kata Kiai Salim menunduk bingung.
“Lalu? Sampeyan mau ikutin hukum rokok yang itu?” tanya Kiai Kholil.
“Nah, itu. Aku bingung, Kang Kholil. Aku itu memang secara keilmuan belum ada apa-apanya sama Kiai Bahron. Tapi aku ngerasa juga belum ada apa-apanya dengan panjenengan, Kang Kholil. Makanya hari ini aku niat sowan mau tahu pendapat Kang Kholil,” kata Kiai Salim.
“Pendapat apa?” tanya Kiai Kholil.
“Ya pendapat soal rokok. Menurut sampeyan, rokok itu haram atau halal?’ tanya Kiai Salim.
Kiai Kholil agak terkejut ditanya begitu. Tiba-tiba, tanpa ada rencana seorang sesama kiai bertanya soal hukum rokok.
“Memangnya panjenengan siap kalau misalnya aku bilang rokok itu haram, Mbah?” tanya Kiai Kholil.
“Oh, jadi menurut sampeyan rokok itu haram?” kata Kiai Salim. Tentu dengan nada sedih.
“Lho, bukan. Bukan begitu. Maksudku, memangnya kalau fatwa itu keluar dari mulutku, panjenengan mau ikut, Mbah?” kata Kiai Kholil.
“Insya Allah, Kang. Kalau sampeyan bilang itu haram. Mulai detik ini pula aku akan berhenti merokok,” kata Kiai Salim.
Kiai Kholil agak terkejut. Meski secara keilmuan Kiai Salim ini cuma kiai kampung yang nguri-uri musala kampung di desa, tapi kan semua orang juga tahu betapa salehnya Kiai Salim. Selalu konsisten menjadi imam musala dan ngaji di kampungnya, bahkan sampai usianya sekarang yang sudah hampir mendekati kepala sembilan.
Begitu Kiai Kholil akan bicara, tiba-tiba…
“Sebentar, Kang Kholil. Sebentar. Sebelum sampeyan mau keluarin fatwa soal hukum rokok, aku cerita dikit boleh?” tanya Kiai Salim.
“Iya, boleh. Silakan, Mbah,” kata Kiai Kholil.
“Jadi gini, Kang. Aku ini kan memang kiai ndeso, tuwek, dan sudah ditinggal mati istri bertahun-tahun lalu. Hiburanku itu selama ini ya cuma rokok, Kang. Kalau habis salat, lalu ngaji bentar di musala, aku ini suka rokokan di undakan musala. Lah mau ngapain lagi? Aku ini udah pensiun, anakku udah merantau semua,” cerita Kiai Salim.
Kiai Kholil mendengarkan.
“Lalu aku ini denger fatwa hukum rokok haram itu, Kang. Wah, pusing saya. Hiburanku satu-satunya di dunia ini akhirnya diharamkan juga. Sudah ditinggal mati istri, tua, harta nggak banyak. Lah kok yang saya suka ada yang mengharamkan, padahal saya itu kan kiai, Kang…” kata Kiai Salim.
Kiai Kholil cuma terkekeh mendengar akhir kalimat itu, sambil membatin, “Emangnya kenapa kalau kiai…”
Tapi, Kiai Salim tetap melanjutkan…
“Masak iya kiai nonton dangdutan kayak bocah-bocah itu. Nonton film-film. Haya kan nggak pantas to, Kang. Makanya aku itu udah bersyukur banget bisa rokokan tiap habis jamaah salat di musala. Kadang sambil tak pakai buat zikir pula itu rokok. Ingat Gusti Pangeran. Kok bisa ya kebul-kebul begini aja bikin nikmat. Ajaib bener emang Gusti Pengeran itu,” kata Kiai Salim.
Kiai Kholil tersenyum lebar. Sekaligus merasa menyesal tadi sejenak meremehkan Kiai Salim yang sepuh ini.
“Apa iya kalau diharamkan, aku ini masih punya hiburan yang bisa bikin ingat sama Gusti Pengeran? Memangnya kalau nonton dangdutan gitu bisa inget? Ah, kayaknya kok nggak mungkin. Makanya itu, aku sowan kemari. Untuk cari kejelasan. Gimana itu, Kang?” tanya Kiai Salim.
Kiai Kholil mengangguk-angguk.
“Gimana, Kang?” tanya Kiai Salim lagi.
“Sudah, Mbah. Buat panjenengan, halal,” kata Kiai Kholil sambil tersenyum lebar sekali.
“Lho kok gitu?” tanya Kiai Salim terkejut.
Kiai Kholil lebih terkejut lagi mendengar Kiai Salim bertanya.
“Panjenengan ini pripun, Mbah. Sudah aku bilang halal kok panjenengan malah tanya. Bukannya panjenengan harusnya senang ya?” tanya Kiai Kholil.
“Bukan begitu, Kang. Aku ini dari rumah sudah siap kalau sampeyan bilang rokok haram kok. Lah kok tiba-tiba halal begini kan aku jadi bingung to, Kang,” kata Kiai Salim.
Kiai Kholil tersenyum. Semakin salut dengan Kiai Salim.
“Begini, Kang. Hukum rokok sendiri masih ikhtilaf antar ulama. Beda-beda. Kalau Kiai Bahron yang ‘alim bilang haram, ada juga Kiai Syamsuri yang bilang makruh, ada juga Kiai Bisri yang bilang lain lagi. Mereka semua ‘alim dan beda-beda hukum rokoknya, beda pula fatwanya. Lah, menurutku, kalau dengan rokok, panjenengan malah jadi aman di musala kayak gitu. Haya jelas aku bilang rokok itu jadi halal buat panjenengan, Mbah,” kata Kiai Kholil.
Kiai Salim tersenyum lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya di hadapan Kiai Kholil. Sekantung tembakau dan beberapa batang rokok tingwe yang sudah siap hisap.
“Mau juga, Kang?”
Kiai Kholil tertawa.
*) Diolah dari cerita Gus Baha’
BACA JUGA Ribetnya Jadi Perempuan Bercadar atau kisah di rubrik KHOTBAH lainnya.