Karena Dibakar oleh Kelakuanmu, Dia Murtad

Karena Dibakar oleh Kelakuanmu, Dia Murtad

Karena Dibakar oleh Kelakuanmu, Dia Murtad

MOJOK.COSebagai Ketua RW, Pak Jazuli merasa keberatan ketika Gus Mut memberi bantuan ke salah satu warganya yang ketahuan telah murtad.

“Kalian itu apa nggak paham agama apa? Bantuan dari masjid kalian kayak begini jangan dikasih tahu ke orang murtad di desa kami,” sentak Pak Jazuli, Ketua RW,  ke Fanshuri dan Mas Is dari seberang jalan.

Meski Pak Jazuli teriak-teriak sambil ditutupin masker, tapi kata-kata itu tetap terdengar menggelegar di telinga Fanshuri dan Mas Is.

Fanshuri bingung, begitu juga Mas Is. Baru juga keduanya nyelonong naik motor memasuki desa Pak Jazuli, mereka sudah kena semprot.

Siang itu, keduanya memang akan memberi bantuan sembako ke salah satu warga di desanya Pak Jazuli. Tak disangka, kedatangan mereka disambut dengan tak ramah begitu mau masuk desa sebelah. Maklum, kediaman Pak Jazuli memang di samping gapura masuk desanya. Jadi sebelum bisa masuk ke dalam semua orang akan melewati rumah Pak Jazuli dulu.

“Lah emang kenapa Pak Pak? Kan dia warga kampung sampeyan yang membutuhkan bantuan juga?” tanya Mas Is bingung.

“Hush. Ngawur kamu. Dia itu murtad. Nggak usah dikasih. Eh, kamu itu dari desanya Gus Mut kan?” tanya Pak Jazuli.

“Iya, Pak RW. Ini dipasrahi sama masjid desa kami untuk bagi kebutuhan pokok ke mereka yang membutuhkan. Patokan dari Gus Mut sama takmir masjid, ya siapa yang membutuhkan, bukan yang agamanya apa itu,” kata Fanshuri kali ini.

“Bilangin sama Gus mu itu, kalau mau kasih bantuan, diserahkan dulu ke tempat saya, biar saya selaku Ketua RW yang nanti menyalurkan,” kata Pak Jazuli.

“Lah kok gitu?” tanya Fanshuri bingung.

“Khusus desa ini, memang gitu aturannya,” kata Pak Jazuli.

Tak ingin memperbesar masalah, Fanshuri dan Mas Is pun menyerahkan bantuan ke rumah Pak Jazuli. Lalu meninggalkan bantuan itu begitu saja, meski merasa ada yang kurang sreg di hati mereka berdua.

Tiga hari setelah kejadian itu, seorang warga dari desanya Pak Jazuli datang ke kediaman Gus Mut. Sambil membawa sekarung bantuan yang tiga hari kemarin diangkut-angkut oleh Fanshuri dan Mas Is untuk dibagi-bagikan.

“Apa ini, Pak?” tanya Gus Mut.

“Saya mau ngembaliin bantuan ini, Gus,” kata tamu Gus Mut.

“Lah bantuan dari siapa ini?” tanya Gus Mut bingung.

“Ee, kata Pak Jazuli, ini bantuan dari masjid kampungnya Gus Mut. Kemarin, dua hari kemarin saya diberi ini sama Pak Jazuli,” kata tamu Gus Mut ini.

Gus Mut memperhatikan bungkus bingkisannya. Setelah mengenali beberapa ciri yang dikenali, Gus Mut baru menyadari kalau itu memang bantuan dari masjidnya.

“Kenapa dikembalikan, Pak?” tanya Gus Mut.

“Saya malu, Gus,” kata tamu ini.

“Malu kenapa?”

“Ada tetangga saya yang lebih berhak, Gus. Cuma dia kebetulan murtad. Saya nggak berani ngasih ke dia,” kata tamu ini.

“Kenapa nggak berani?” tanya Gus Mut lagi.

“Takut dimarahin sama Pak RW. Kata beliau, nggak boleh ngasih bantuan ke orang murtad. Apalagi ini bantuan masjid. Ya harusnya dikasih ke yang muslim-muslim aja,” kata tamu ini.

Gus Mut hampir terjatuh dari kursinya ketika mendengar itu. Beruntung, Gus Mut masih bisa mengendalikan diri, jadi nggak kelihatan shock banget. Sambil memendam rasa penasaran yang hebat, Gus Mut lalu berpesan ke tamu ini.

“Bapak pulang aja, saya janji besok akan saya beri bantuan itu ke orangnya langsung,” kata Gus Mut.

Besoknya Gus Mut sendiri yang mengangkut bantuan itu ke warga desa Pak Jazuli. Sungguh sebuah kebetulan, ketika Gus Mut masuk ke sana, Pak Jazuli sedang tidak ada di rumah sehingga Gus Mut bisa langsung bertegur sapa dan memberi beberapa bantuan ke orang yang disebut Pak Jazuli ini “murtad”.

Ketika urusan ini dipikir Gus Mut telah selesai, sore harinya Pak Jazuli mendatangi kediaman Gus Mut. Dengan wajah yang lumayan kesal, Pak Jazuli memprotes keputusan Gus Mut memberi bantuan ke warga desanya yang murtad.

“Gus, sampeyan itu gimana, orang kayak begitu kok sampeyan kasih bantuan. Kan sampeyan tahu dia itu bukan sekadar kafir, dia itu murtad, Gus,” kata Pak Jazuli mencak-mencak.

“Lantas kenapa kalau dia murtad?” tanya Gus Mut balik.

“Ya itu kan bantuan dari masjid, dari infak, dari kantong masyarakat muslim, lah kok malah buat bantuin orang murtad. Kalau dia jadi nyaman dengan kemurtadatannya karena dibantu-bantu gitu gimana? Gus Mut mau tanggung jawab?” kata Pak Jazuli.

Gus Mut tersenyum mendengar itu.

“Iya, Pak Jazuli saya mau tanggung jawab,” kata Gus Mut.

Pak Jazuli bingung Gus Mut menjawab begitu. Itu jawaban yang tidak diduga oleh Pak Jazuli.

“Ta, tapi, dia itu murtad lho, Gus? Saya tahu betul dulunya dia itu muslim. Ya nggak taat-taat banget juga sih. Terus 3 tahun belakangan ini ternyata betulan pindah agama. Itu bikin saya sakit hati. Kok bisa-bisanya di RW yang saya pimpin ada seseorang yang murtad?” kata Pak Jazuli.

Gus Mut semakin tersenyum lebar mendengarnya.

“Kenapa malah sampeyan yang sakit hati?” tanya Gus Mut.

“Ya saudara seiman saya ada yang pindah agama, itu kan menyakitkan, Gus. Apa Gus Mut nggak merasakan begitu kalau ada muslim yang murtad?” tanya Pak Jazuli.

“Pak, sampeyan itu aneh. Gusti Allah aja lho nggak masalah nggak disembah. Nggak masalah ada orang muslim mau ada yang murtad, ada orang non-muslim jadi mualaf. Nggak ngaruh apa-apa buat Gusti Allah, nggak bikin sakit hati juga buat-Nya, lah kok sampeyan malah yang sakit hati?” kata Gus Mut.

“Lagian, Kanjeng Nabi aja nggak sakit hati kok waktu memimpin ada orang-orang dan saudara-saudaranya yang tidak Islam. Lah kok sampeyan yang baru Ketua RW kayak udah kena penghinaan betul ada warganya yang murtad,” kata Gus Mut.

“Ah, Gus Mut jangan ngawur. Mana mungkin Kanjeng Nabi punya pengikut yang nggak Islam,” kata Pak Jazuli.

“Pak, sampeyan kira Abu Thalib itu Islam? Paman Nabi itu bahkan sampai meninggalnya nggak mengucapkan kalimat syahadat lho. Lantas apa iya Kanjeng Nabi merasa malu punya dengan itu? Nggak tuh. Merasa sedih iya, tapi sakit hati? Nggak, Pak Jazuli,” kata Gus Mut.

Pak Jazuli terdiam.

“Pak, saya sudah tahu ceritanya. Keluarga tetangga sampeyan yang murtad itu sebenarnya memang dari kalangan tidak mampu sejak dulu. Bahkan ketika keluarganya masih Islam semua. Tapi masjid di kampung sampeyan saya perhatikan malah suka renovasi terus-menerus, bukannya malah membantu warga sekitar,” kata Gus Mut.

“Loh, memang bantuan untuk masjid itu ya harus dihabiskan untuk masjid, Gus. Nggak boleh untuk yang lain-lain. Itu kan biar masjid desa kami makmur kayak masjid di kampung Gus Mut ini,” kata Pak Jazuli.

“Pak, masjid itu bisa makmur kalau orang-orangnya juga makmur. Sampeyan jangan bikin masjid jadi problem bagi umat Islam begitu. Masjidnya kelihatan megah, tapi orang di sekitarnya cari makan aja susah. Itu namanya bukan memakmurkan masjid, Pak. Itu namanya memakmurkan ‘bangunan’ masjid,” kata Gus Mut.

“Gus, tapi jangan lupa. Meski begitu, dana masjid kami berlimpah ruah. Coba bandingkan dengan kas duit masjid desa sampeyan yang saya dengar selalu nol itu,” kata Pak Jazuli.

“Ya memang begitu kebijakan masjid di kampung kami, Pak. Uang masjid harus dipakai untuk menghidupi orang-orang masjid lebih dulu. Bikin nyaman buat ibadah dulu. Gimana bisa ibadah dengan tenang di masjid kalau misalnya periuk nasinya masih kosong? Makanya kami bantu. Kasih dana pinjaman untuk usaha, agar tenang dia ibadahnya.”

Pak Jazuli terdiam.

“Pak, masjid di desa kami ini adalah wadah untuk masalah-masalah bagi warganya—bahkan mau apapun agamanya. Jangan sampai malah masjid malah jadi beban bagi warganya. Ada warga yang tak mampu kami bantu, bukan malah kami tarikin bantuan dari warga untuk masjid. Masjid ini rumah Allah, Pak, jangan biarkan ia jadi punya mental ngemis,” kata Gus Mut.

“Tapi, kalau memang cara mengelola masjid di desa saya salah, ya itu nggak lantas membenarkan perilaku warga saya yang murtad itu dong, Gus. Itu kesalahan dia sendiri. Ya wajar kalau dia saya kucilkan,” kata Pak Jazuli.

“Pak Jazuli, kalau sekarang warga sampeyan ada yang mencari ‘tempat ibadah’ lain, karena ‘tempat ibadah’ lain lebih bisa memakmurkan kehidupannya. Dan orang-orang di sekitarnya lebih memikirkan kemakmuran bangunan masjidnya, kalau dia akhirnya murtad ya itu bukan sepenuhnya salah dia,” kata Gus Mut menerawang sedih.

“Lah emang salah siapa lagi, Gus?”

Gus Mut tidak menjawab karena tak tega untuk menunjuk orang di hadapannya.

BACA JUGA Rabun Dekat dan Dua Juta Orang Murtad atau kisah GUS MUT lainnya.

Exit mobile version