Karena Debat Bukan Soal Cari yang Benar, Tapi Cari Siapa yang menang

Dalam rapat besar bersama beberapa ulama, beberapa kali Kiai Kholil beradu argumen dengan Kiai Anshori di atas podium. Keduanya debat mengenai keutamaan memilih dalam pemilihan umum agar tidak apatis dengan menjadi golput.

Menurut Kiai Kholil, bukan wilayahnya para ulama mewajibkan para umat untuk memilih. Biar itu jadi pilihan masing-masing. Sedangkan menurut Kiai Anshori, memilih harus menjadi kewajiban umat. Debat menjadi begitu alot karena masing-masing Kiai pecaya pilihannya paling benar.

“Tidak bisa Kiai Kholil, kalau kita membebaskan umat, mereka bisa kampanye golput beneran. Akan jadi apa bangsa ini kalau rakyatnya sudah tidak percaya sama sistem pemerintahan sendiri? Jadi sudah tugas ulama untuk mengimbau mereka biar nggak golput,” kata Kiai Anshori kepada Kiai Kholil.

“Kalau memang itu yang ingin dicapai, terus solusinya apa, Kiai Anshori?” tanya Kiai Kholil.

“Ya kita keluarkan fatwa bahwa golput itu haram. Karena lebih besar mudaratnya bagi kepentingan bangsa ketimbang manfaatnya,” kata Kiai Anshori.

“Wah, saya nggak setuju. Fatwa haram itu bukti kita sudah kelewat pesimis kalau rakyat nggak bisa memilih apa yang terbaik buat mereka. Kalau memang bagi sebagian rakyat ada yang tidak setuju sama pilihan calon pemimpin yang tersedia, ya itu hak mereka untuk tidak memilih,” kata Kiai Kholil.

Gus Mut dan Fanshuri yang juga ikut hadir dalam acara itu jadi agak cemas-cemas begitu melihat perdebatan kedua kiai. Bahkan beberapa hadirin dan santri-santri yang lain senyap mendengar adu argumentasi di depan podium ini.

“Apa Kiai Kholil bisa menjamin, gimana jadinya kalau suara golput bisa menang?” tanya Kiai Anshori.

“Ya saya nggak punya jaminan, tapi memfatwakan golput haram itu terlalu berlebihan. Jangankan haram, memfatwakan makruh aja saya nggak setuju. Itu bukan ranahnya kita, itu ranahnya pemerintah,” kata Kiai Kholil.

Perdebatan makin kencang. Bahkan baik Kiai Kholil mau pun Kiai Anshori saling ngotot satu sama lain. Sampai tiba-tiba Kiai Anshori berdiri lalu menggebrak meja.

“Negara bisa bubar kalau masyarakat pada golput semua. Sudah tugas kita untuk menjaganya dengan fatwa ini,” teriak Kiai Anshori berteriak.

Kiai Kholil yang melihat ini tidak tinggal diam.

“Tapi juga bukan harus dengan itu caranya!” kali ini Kiai Kholil juga ikut menggebrak meja, tapi nggak seperti Kiai Anshori yang berdiri dan pakai tangan, Kiai Kholil menggebrak pakai kakinya.

Sontak saja keadaan langsung riuh. Para santri dan hadirin yang lain mulai bersuara. Sampai tiba-tiba terdengar suara azan dari speaker masjid sekitar. Panitia lalu meminta hadirin segera menuju masjid untuk melaksanakan salat berjamaah.

Saat akan memulai salat, Kiai Kholil dan Kiai Anshori malah saling berebut menjadi makmum. Iya, berebut menjadi makmum, masing-masing mendorong satu sama lain untuk menjadi imam salat. Hal yang sempat bikin Gus Mut dan Fanshuri jadi heran.

Keanehan ini terus berlanjut ketika kedua kiai ini masuk ke ruang makan untuk istirahat makan siang. Keduanya berebut melayani satu sama lain.

“Kiai Kholil, sampeyan kan suka banget sama rendang to? Aku ambilin ya?” tanya Kiai Anshori mengambilkan nasi.

Tidak mau kalah, Kiai Kholil pun mengambilkan minum teh hangat dan kerupuk. “Ini nih, Kiai Anshori itu kalau makan nggak pakai kerupuk belum lengkap,”” katanya.

Keduanya lalu bercengkerama satu sama lain. Seoalah-olah kejadian gebrak-gebrakan meja sebelum salat tadi tidak terjadi. Hal ini tentu bikin orang-orang jadi heran sekaligus bingung.

Sampai ketika acara selesai lalu dalam perjalan pulang ke rumah, Gus Mut dan Fanshuri dalam mobil memberanikan bertanya ke Kiai Kholil tentang apa yang terjadi.

“Abah, kok tadi bisa langsung akrab lagi sih sama Kiai Anshori? Padahal kan sebelumnya debat sampai gebrak-gebrakan meja,” tanya Gus Mut kepada Kiai Anshori.

“Iya, ya? Aneh banget tadi rasanya ngelihat keadaan jadi berubah 180 derajat, dari tadinya debat panas mendadak jadi adem gitu waktu salat dan makan siang,” kata Fanshuri sambil menyetir mobil.

Kiai Kholil cuma terkekeh.

“Soalnya yang diperdebatkan kan bukan urusan pribadi. Ngapain dibawa sampai hubungan pribadi? Kalau udah selesai ya selesai aja. Lagian aku juga paham, maksud Kiai Anshori itu ada benarnya juga, dan Kiai Anshori melihat pendapatku juga ada benarnya.”

“Karena dalam debat biasanya yang dicari bukan soal apa yang paling benar, tapi siapa yang menang,” sambung Kiai Kholil

“Kalau kita dua-duanya maksain ya nggak ketemu-ketemu. Soalnya kalau soal debat begitu, meski kelihatannya untuk kepentingan orang lain, sebenarnya yang terjadi ya untuk kepentingan si tukang debatnya. Ya aku sama Kiai Anshori. Nggak ada itu kita mikirin orang lain, ya yang ada cuma mikirin pendapat kita masing-masing,” jelas Kiai Kholil.

“Lha kok mendadak jadi adem, Bah?” tanya Gus Mut.

“Kalau mau kuat-kuatan siapa yang paling benar, ya susah. Semua ada benernya. Yang ada ya ambil tengahnya. Mencari sesuatu yang kita tahu nggak bakal tercapai meski kita punya konsep yang ideal lalu mencoba memakluminya, ikhlasin, nah itu namanya ilmu hikmah,” kata Kiai Kholil.

“Kalau aku sama Kiai Anshori nggak punya ilmu itu, ya kita berdua bakal bawa pentungan sama sweeping kanan kiri habis ini,” kata Kiai Kholil yang disambut tawa Gus Mut dan Fanshuri.


*) Diolah dari kisah perdebatan Kiai Bisri Syansuri dengan Kiai Wahab Chasbullah.

Exit mobile version