Kamu Merasa Lebih Saleh Hanya Karena Punya Tanda Jidat Hitam

MOJOK.CO – Tanda hitam di jidat memang tanda-tanda orang banyak melakukan sujud. Tapi tanda ini bukan patokan utama, sebab tanpa dari gerakan salat pun, jidat hitam akan muncul kalau kamu sering membenturkan jidat ke lantai.

Ada yang berbeda dari salat berjamaah di masjid kampung beberapa waktu belakangan ini. Hal yang terjadi gara-gara Fanshuri.

Tiba-tiba saja Fanshuri jadi pembicaraan banyak orang karena melakukan hal yang berbeda dari biasanya. Setiap waktu mendekati salat jamaah di masjid dan melakukan salat sunah rawatib qobliyah atau bakdiyah, gerakan sujud Fanshuri mengundang perhatian. Hampir selalu terdengar suara benturan cukup keras ketika Fanshuri menempelkan jidatnya ke lantai masjid. Suaranya tidak cukup mengganggu, tidak terlalu keras juga, tapi gerakan ini mengundang tanya sebagian jamaah.

Hal ini juga menarik perhatian Gus Mut, imam salat pada waktu-waktu tertentu di masjid kampung. Awalnya Gus Mut juga menduga Fanshuri barangkali salat sedikit terburu-buru, sehingga selalu terkesan membenturkan jidatnya sendiri ke lantai. Akan tetapi, dari hari ke hari perbuatan ini tidak juga hilang.

Karena penasaran dengan tingkah Fanshuri, Gus Mut pun memberanikan diri untuk bertanya sesaat setelah salat isya berjamaah di masjid usai. Malam itu, Gus Mut sengaja tidak langsung pulang, menunggu Fanshuri menyelesaikan salat rawatib bakdiyah-nya. Setelah Fanshuri salam, Gus Mut pun mendekat.

“Fan,” kata Gus Mut.

“Eh, Gus Mut,” jawab Fanshuri sambil menyalami. “Ada apa ini, kok tumben?”

“Nggak ada apa-apa, cuma belakangan ini ada yang aneh saja denganmu. Kamu baik-baik saja tho?” tanya Gus Mut.

“Alhamdulillah baik-baik saja, Gus. Memang kenapa ya kok Gus Mut tanyanya begitu?” Fanshuri heran.

“Nggak, belakangan ini aku perhatikan ada yang berbeda dari gerakan salatmu, terutama saat kamu sujud. Maaf sebelumnya kalau aku dianggap menyinggung. Cuma penasaran saja, Fan,” tanya Gus Mut sambil tersenyum.

Fanshuri yang ditanya cuma tersipu mendengarnya. Lalu mengutarakan alasannya.

“Oh, soal itu. Itu Gus, saya cuma sedang mencoba melakukan gerakan salat yang benar saja.”

Gus Mut sedikit terkejut mendengarnya. “Maksudnya gimana itu, Fan?”

“Jadi begini, Gus. Belakangan ini saya ikut kajian di kampung sebelah. Nah, kebetulan saya sudah ikut beberapa bulan ini, dan saya jadi malu karena satu hal setelah berkumpul dengan jamaah di sana,” kata Fanshuri.

“Malu? Malu kenapa?” Tanya Gus Mut.

“Ya malu, karena setelah saya perhatikan, ada cukup banyak jamaah di sana yang melakukan ibadah salat lebih banyak dari saya. Salat-salat sunah mereka hebat betul. Dari salat rawatib sampai salat tahajud nggak pernah ketinggalan. Saya jadi malu kalau ikut pengajian di sana, soalnya saya terkesan jadi yang paling tidak taat saja,” kata Fanshuri.

“Lho, dari mana kamu tahu kalau salat mereka lebih banyak dari kamu?” tanya Gus Mut penasaran.

Fanshuri diam sejenak, lalu menunjuk jidatnya sendiri. Gus Mut awalnya tidak mengerti.

“Apa maksudnya itu? Disuruh mikir?” tanya Gus Mut terkekeh. Fanshuri pun ikut tertawa mendengarnya.

“Bukan, bukan begitu, Gus. Maksud saya ada tanda kesalehan di jidat mereka yang tak saya miliki,” kata Fanshuri.

“Tanda? Tanda apa? Lebih bercahaya begitu?” tanya Gus Mut.

“Nggak lah, Gus. Ada tanda hitam-hitam di jidat mereka. Itu membuat saya iri. Itu kan tanda yang dibilang di Al-Qur’an, Gus. Tanda-tanda sujud bakal tampak pada wajah orang-orang dari bekas sujudnya. Jadi asumsi saya, semakin hitam jidat seseorang, berarti makin yahud juga ibadah salatnya,” jawab Fanshuri.

Gus Mut tersenyum sangat lebar. Sebenarnya yang bersangkutan ingin tertawa, tapi takut kalau dianggap mengejek teman bicaranya. Meski begitu, yang namanya menahan tawa jelas akan kelihatan dari gerakan tubuh yang bergetar, dan itu disadari oleh Fanshuri.

“Lho, apanya yang lucu, Gus?” tanya Fanshuri sedikit risih dengan respons Gus Mut.

Gus Mut perlu waktu untuk mengendalikan dirinya, lalu buru-buru menyampaikan maaf.

“Maaf, Fan. Bukannya mengejek, tadi refleks saja ingin tertawa aku. Lha dari mana kamu menandai ‘tanda-tanda sujud’ itu dari bekas hitam di jidat seseorang?” Tanya Gus Mut.

“Ya dari ustaz yang ngisi di pengajian di situ. Tidak disampaikan secara langsung juga sih, tapi dari hari ke hari, makin banyak yang punya jidat hitam begitu. Tanda kalau mereka makin saleh juga dari hari ke hari,” jawab Fanshuri.

“Oalah, begitu tho. Jadi itu alasan kamu melakukan gerakan salat seperti itu ya? Biar muncul warna hitam di jidatmu, biar kelihatan saleh?” tanya Gus Mut.

“Nah, iya, Gus,” jawab Fanshuri, “Memangnya salah ya, Gus?”

Gus Mut sedikit terkekeh.

“Bukan, aku tidak akan bilang apa yang kamu lakukan itu salah atau benar. Kalau dengan begitu kamu jadi semakin rajin ibadahnya. Wah, itu bagus sekali malah. Aku pribadi malah mendukung. Hanya saja kalau cuma jidat hitam yang jadi patokan kesalehan orang, nah itu yang perlu diobrolin lagi, Fan. Soalnya tanda-tanda sujud itu tidak begitu maksudnya. Tidak diwujudkan dari tanda hitam di jidat seseorang,” kata Gus Mut.

“Lha tapi kan itu jadi tanda alamiah, Gus. Kalau orang banyak sujud pasti muncul kok tanda tersebut,” tanya Fanshuri.

Gus Mut yang ditanya tidak menjawab apa-apa, hanya mengeluarkan hapenya lalu mengetik kata kunci di Google. Menampilkan gambar KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan di sana.

“Coba lihat ini. Di foto mereka berdua, coba aku dikasih tahu, di mana tanda saleh yang kamu maksud tadi?”

Fanshuri melihat dengan seksama. Fanshuri jelas tahu gambar kedua ulama tersebut, tapi dia tidak memerhatikan bahwa memang tidak ada tanda hitam dijidat mereka masing-masing.

“Apa iya, keduanya bukan orang saleh, Fan?” tanya Gus Mut.

Fanshuri cuma garuk-garuk kepala. “Hehe, ya nggak mungkin keduanya tidak saleh, Gus. Kisah tentang mereka saja luar biasa.”

“Padahal mereka tidak punya kualifikasi tanda yang kamu maksud tadi lho?” tanya Gus Mut. “Kalau cuma tanda hitam, kamu tak perlu melakukan gerakan salat. Tempelin saja jidatmu terus-terusan ke lantai atau karpet, Insya Allah nggak butuh waktu lama juga keluar tanda hitam itu,” lanjut Gus Mut.

“Yang dimaksud tanda-tanda sujud itu sebenarnya bukan hanya tanda fisik, Fan. Aku yakin kamu juga pasti tahu. Coba, sekarang aku tanya, apa sih esensi orang salat?” tanya Gus Mut.

Fanshuri perlu waktu menjawabnya, “Ee, kalau tidak salah untuk menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar.”

“Nah, itu. Itu makna yang terkandung dari tanda-tanda orang banyak sujud. Bukan hanya tanda-tanda fisik seperti jidat hitam.”

Fanshuri mengangguk pelan.

“Artinya, semakin banyak salat dan amalan seseorang, tanda-tanda yang muncul adalah kepribadiannya, bukan pada penampilan fisiknya. Pada akhlaknya. Kalau akhlaknya semakin baik karena melakukan banyak salat, berarti salatnya berhasil, tapi kalau dengan banyak salat kok akhlaknya malah memburuk dan meresahkan orang-orang di sekitarnya. Nah, yang seperti itu perlu dipertanyakan lagi, salatnya bagaimana. Benarkah hanya untuk Allah, untuk dapat pahalanya saja, cuma untuk dapat surga-Nya saja, atau jangan-jangan karena ingin tetap jadi orang berpengaruh saja?”

“Ta, tapi, Gus. Apa jidat hitam itu lantas tidak diperbolehkan agama?” tanya Fanshuri.

Gus Mut kembali terkekeh. “Ya jidat hitam tidak dilarang secara langsung. Hanya saja jangan sampai hal itu jadi patokan utama. Kalau kamu malah tertantang untuk melakukan ibadah lebih baik dan banyak, ya itu justru baik untuk kamu. Tapi kamu tidak perlu menunjuk-nunjukkan pula bahwa dirimu adalah orang saleh dengan mengejar tanda-tanda fisik.”

“Jadi saya lebih baik nggak ke sana lagi, Gus? Nggak datang ke pengajian itu?”

“Lho siapa yang melarang. Silakan saja lanjutkan. Lagian ustaz yang ngisi itu juga ustaz yang bagus. Sukses mengajak orang-orang jadi makin taat beribadah, itu hebat lho, Fan. Cuma aku mengingatkan saja, Fan. Kesalehan itu tidak melulu ditunjukkan bukan cuma dari banyak-banyakan salat, tapi juga menyasar kepada persoalan akhlak. Ingat, Nabi Muhammad dihadirkan Allah ke Mekah pada era di mana daerah tersebut peradabannya cukup maju, cuma satu yang kurang dari orang-orang jahiliyah itu, yakni akhlak.”

Exit mobile version