MOJOK.CO – Kalau memang kamu merasa yakin dengan fatwa bahwa musik tidak haram, kenapa perlu takut dengan mereka yang bilang musik haram?
“Memang faham ISIS dan taliban sudah ada di mana-mana, Gus. Ini saya dengar pondoknya Ustaz Arifin di desa sebelah, mereka sudah bikin fatwa musik haram untuk santri-santrinya,” kata Mas Is ke Gus Mut saat nangkring di teras usai salat asar di masjid.
Gus Mut agak terkejut mendengarnya.
“Emang kenapa musik haram di sana?” tanya Gus Mut.
“Katanya bisa ganggu hafalan Al-Quran santri-santri, makanya Ustaz Arifin bilang musik haram,” kata Mas Is.
“Oh, itu konteksnya Ustaz Arifin mengharamkan untuk santrinya atau maksain untuk ke semua orang?” tanya Gus Mut.
“Lah itu yang saya nggak tahu, Gus. Yang pasti santri-santrinya nggak boleh dengerin musik,” kata Mas Is.
“Ya kalau gitu caranya, Kiai As’ad di desa satunya malah lebih ekstrem lagi. Nggak sekadar fatwa musik haram, bahkan pakai peci putih pun haram buat santrinya kalau mereka belum haji,” kata Gus Mut.
“Hah? Kok malah lebih parah?” tanya Mas Is.
“Kok parah?” tanya Gus Mut balik.
“Ya parah lah, kalau musik haram kan masih ada perdebatan di konteks dalilnya, lah kalau peci putih haram kan nggak ada hukumnya itu?” tanya Mas Is.
“Ya itu kan namanya peraturan pondok. Ada alasannya. Di desa Kiai As’ad, orang-orang yang sudah haji itu ditandai dengan peci putihnya. Nah, rata-rata masyarakat desanya Kiai As’ad itu bukan orang mampu, petani biasa. Jadi ketika mereka bisa berangkat haji, Kiai As’ad ingin memuliakan mereka. Caranya, ya dengan mengharamkan ke santrinya agar tak pakai peci putih biar nggak samaan sama masyarakat desa yang udah bersusah payah bisa haji,” kata Gus Mut.
“Berarti kalau bukan santrinya, kalau pakai peci putih nggak apa-apa dong, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya nggak apa-apa lah,” kata Gus Mut.
“Hooo, saya pikir Kiai As’ad udah radikal juga,” kata Mas Is.
Gus Mut tersenyum.
“Itu juga berlaku sama cara pandangmu tadi, Is. Nggak yang berbeda denganmu lantas bisa kamu labelin radikal dong,” kata Gus Mut.
“Ya gimana ya, Gus. Musik kan juga bisa jadi media dakwah. Kok lucu sampai diharamkan? Bukannya kalau mereka ngaji, pakai nada dan irama juga, itu kan bagian dari musik juga,” kata Mas Is.
“Namanya orang hafalin Al-Quran, itu butuh konsentrasi tinggi, Is. Nggak yang kayak ngafalin nama-nama pemain bola. Ada disiplin tinggi di situ. Tak hanya secara lahir, tapi juga batin. Kadang-kadang cara mendisplinkan diri itu bisa dianggap ekstrem buat orang-orang yang nggak ngalamin langsung kayak kamu,” kata Gus Mut.
“Ah, Gus Mut ini terlalu lunak. Sekarang kita bisa aja mentolerir mereka sekarang. Fatwa musik haram ke internal sendiri. Kalau lama-lama dibiarin, mereka bisa aja maksain ke kita-kita. Kan itu bahaya. Setelah musik haram, nanti darah kita jadi halal buat mereka gimana?” kata Mas Is.
Gus Mut tersenyum lagi.
“Lah, itu baru radikal,” kata Gus Mut.
“Nah, betul kan, Gus. Apa kubilang,” kata Mas Is bangga, merasa Gus Mut satu pemahaman dengan dirinya.
“Bukan, bukan pondoknya Ustaz Arifin yang kumaksud radikal, tapi pola pikirmu itu yang radikal,” kata Gus Mut.
“Lah kok malah saya?” Mas Is bingung.
“Gini, Is. Dasar orang menjadi radikal itu bukan dari rasa benci, tapi justru dari rasa takut dan rasa inferior yang berlebihan, Is. Kayak kamu itu, yang takut dan inferior sama mereka yang yakin kalau musik haram,” kata Gus Mut.
“Takut? Pffft, Gus Mut ini ada-ada aja,” kata Mas Is tertawa meremehkan, “mereka itu cuma pondok kecil, Gus. Saya kompori sama temen-temen satu desa juga ‘habis’ itu pondok. Justru saya ini waspada, Gus. Jangan sampai faham-faham kayak gitu menular ke kita,” kata Mas Is.
Gus Mut kali ini terkekeh.
“Sikapmu itu justru menunjukkan betapa takutnya kamu, Is,” kata Gus Mut.
“Hah? Kok bisa?” tanya Mas Is.
“Kamu pikir gerakan radikal atau gerakan esktrem yang ngebom dan ngelakuin teror itu muncul dari apa?” tanya Gus Mut.
“Ya dari salah tafsir aja,” kata Mas Is.
“Bukan, itu kan caranya mencari legitimasi agar tindakan mereka terkesan benar, maksudku apa motif dasar ide seseorang jadi punya hasrat untuk melakukan teror?” tanya Gus Mut.
“Emang apa, Gus?” tanya Mas Is tak mengerti.
“Ya rasa takut. Terutama rasa takut yang muncul dari kebodohan, ketidaktahuan,” kata Gus Mut.
“Kok, kok gitu?”
“Sebutlah ISIS lah, atau gerakan teroris lain. Mereka itu kan sebenarnya takut Islam terancam. Merasa Islam sedang dalam keadaan bahaya. Merasa kalau orang-orang yang berbeda dengan mereka adalah musuh-musuh yang ingin menghancurkan Islam. Dari sana mereka lalu merasa defensif, inferior, menutup diri. Lantas, mereka jadi nggak mau nerima pandangan dari luar, nggak mau denger tafsir dari luar kelompoknya,” Gus Mut mulai menjelaskan, Mas Is manggut-manggut.
“Bermula dari sikap defensif yang berlebihan itu, lantas mereka jadi serba-curiga sama orang lain. Curiga sama orang yang bukan dari kelompoknya. Dikit-dikit jadi merasa terancam. Dikit-dikit ada yang beda pandangan langsung dianggap musuh. Kecurigaan itu, dalam bentuk ekstrem lalu jadi malah berubah ofensif. Menyerang, persekusi, ngebom tempat yang dianggap musuh oleh kelompoknya, dan macam-macam,” kata Gus Mut.
Mas Is menerewang sebentar, mencoba mencerna penjelasan Gus Mut.
“Berarti termasuk mereka yang bilang musik haram dong, Gus?” tanya Mas Is.
“Termasuk, orang-orang kayak kamu yang takut berlebihan sama mereka yang memfatwa musik haram, Is,” kata Gus Mut meluruskan.
“Lah, kan motif saya bukan agama? Tapi soal sikap kebhinekaan? Soal sikap toleransi?” tanya Mas Is.
“Ya sikap itu sifatnya ideologis sih. Nggak cuma dari doktrin agama saja, tapi juga doktrin-doktrin lain. Lagipula kalau dasarmu adalah soal sikap toleransi, mana contoh toleransimu kalau ada orang menjalankan keyakinannya sendiri dan nggak mengganggu orang lain malah kamu larang-larang?” tanya Gus Mut.
“Kan mereka bisa aja menularkan faham radikal dari hal kayak gitu? Bikin fatwa musik haram misal. Kan bisa aja mereka jadi persekusi ke masjid-masjid yang ada speakernya?” kata Mas Is.
“Nggak boleh gitu dong,” kata Gus Mut.
“Kok nggak boleh?” tanya Mas Is.
“Ya nggak boleh dong kamu menghukumi seseorang atas sesuatu yang tidak mereka lakukan,” kata Gus Mut.
“Ma-maksudnya, Gus?” tanya Mas Is.
“Memangnya kalau kamu sekarang bawa pisau nih, mungkin niatnya mau buat ngupas mangga, terus misalnya kita lagi berdebat gini dan kita gontok-gontokkan. Memangnya kamu mau dituduh dan dihukumi sebagai orang yang mau menusuk perutku? Terus aku sama temen-temen satu warga kampung jadi berhak mukulin kamu, menganiaya kamu, masukin kamu ke penjara gitu?” tanya Gus Mut.
“Wah, wah, ya nggak lah. Enak aja nuduh saya sebagai orang yang mau nusuk perut orang. Kan saya cuma bawa pisau,” kata Mas Is.
“Lah ya makanya itu. Kamu kan cuma bawa pisau, bukan berarti itu pisau buat nusuk orang kan? Sama halnya dengan seseorang bilang musik haram buat dirinya sendiri tanpa maksain ke orang lain, ya nggak bisa dong kamu sama-samain dia kayak teroris atau pembunuh massal kayak ISIS, lah wong mereka juga nggak menganggu kehidupanmu kok,” kata Gus Mut.
Mas Is terdiam, lalu malah cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hehehe,” katanya.
BACA JUGA Penghafal Al-Quran Menutup Telinga saat Mendengar Musik Lebih Baik daripada Jadi Antivaksin atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.