Jadi Ulama Memang Harus Sering Keluyuran

MOJOK.CO – Selain untuk kesehatan jiwa, keluyuran juga untuk nambah keilmuan. Ulama yang sering keluyuran bisa bedakan mana gosip mana fakta daripada yang tak ke mana-mana.

Dalam kesehariannya, menemui Kiai Kholil itu susah-susah gampang. Jika tidak ada jadwal mengajar ngaji atau ada janjian dengan tamu, cukup sulit bisa ketemu dengan Kiai Kholil di kediamannya.

Di luar jadwal mengisi pengajian ke luar kota, sekali pun tidak ada kegiatan, Kiai Kholil sering jalan-jalan ke mana-mana. Entah itu di cuma main ke pesantren-pesantren dalam kota, mau pun ziarah ke makam-makam di luar kota.

Hal ini dikeluhkan Fanshuri ketika bertandang ke Gus Mut suatu pagi. Hendak sowan ke Kiai Kholil, setelah berminggu-minggu Fanshuri tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya karena jarang bisa ketemu Kiai Kholil.

“Kenapa to Gus, abah sampeyan, Kiai Kholil itu sering keluruyan ke mana-mana? Apa nggak sebaiknya di ndalem aja. Yang mau sowan ada banyak lho,” kata Fanshuri sambil bermain catur dengan Gus Mut.

“Sebenarnya aku juga pernah ngomong begitu, Fan, sama Abah. Cuma ya Abah malah ngasih tahu sesuatu yang menarik, bahwa ya kalau mau jadi kiai atau ulama itu ya harus sering keluyuran,” terang Gus Mut.

“Lho kok gitu? Bukannya dengan keluyuran malah ninggalin calon-calon tamunya ya?” tanya Fanshuri.

“Iya, tamu-tamu yang belum janjian. Kalau tamu yang udah kencan dulu sih, biasanya ayah nunda keluyurannya,” kata Gus Mut.

“Memang ada ketentuannya gitu kita harus keluyuran? Kok kayaknya nggak ada tuntunannya tuh di Al-Quran sama Hadis,” tanya Fanshuri.

“Loh, jangan salah Fan. Keluyuran itu juga jadi metode untuk cari ilmu juga, bisa silaturahmi juga. Kamu kira Nabi Muhammad dulu diketahui tanda-tanda kenabiannya sampai menyebar ke mana-mana gara-gara apa?” tanya Gus Mut balik.

“Ya karena Allah to, Gus,” jawab Fanshuri enteng saja sambil menjalankan bentengnya.

Gus Mut cuma tersenyum kecut.

“Ya iyalah karena Allah, masa ya gara-gara mbahmu. Aku itu tanya perantaranya. Kalau semua pertanyaan mah bisa aja dijawab pakai ‘ya karena Allah’, tapi kan nggak ada obrolan ilmunya, adanya cuma obrolan iman. Lagian iman itu buat apa juga diobrolin,” kata Gus Mut.

Fanshuri terkekeh sebentar. “Ya karena ada orang-orang yang melihat, Gus. Melihat tanda-tanda kenabiannya,” jawab Fanshuri.

“Gusti Allah itu kalau bikin risalah selalu nggak luput sama perantara-perantaranya. Nggak ada itu ujug-ujug begitu. Ada sebab-musababnya dulu. Kayak tradisinya orang-orang Quraisy yang suka bepergian ke mana-mana misalnya. Mereka di Mekah pada zaman segitu sebenarnya punya keluasan ilmu yang mumpuni. Tahu banyak hal soal risalah Nabi-Nabi sebelumnya, tahu tradisi Nasrani atau Yahudi. Tahu kisah-kisah azab para umat yang menolak Nabi. Bahkan orang Mekah ini tahu risalah Kaum Sodom yang diazab karena menolak ajarannya Nabi Luth,” terang Gus Mut.

“Jadi pada dasarnya mereka pada saat itu juga tahu kalau Nabi Muhammad itu memang nabi terakhir sebelum akhirnya mereka perangi?” tanya Fanshuri.

“Makanya itu, penyebutan mereka itu kafir sebagai orang yang menutupi kebenaran itu benar. Karena mereka itu sebenarnya tahu kok mana yang benar dan mana yang tidak. Itu kenapa namanya zaman Jahiliyah di Mekah. Bukan jahiliyah ilmunya, tapi jahiliyah moralnya. Cuma maunya menang-menangan gengsi aja,” kata Gus Mut.

“Tapi itu pun akhirnya masih diampuni Gusti Allah ya, Gus? Kaum kafir Quraisy itu. Lha ketika umat Nabi yang lain diazab, mereka malah nggak. Akhirnya masuk Islam lagi,” kata Fanshuri.

“Mereka bisa ‘lebih mudah’ dapat hidayah karena punya landasan ilmunya dulu. Nggak seperti umat sebagian nabi sebelum-sebelumnya. Ya karena sering keluyuran, sering piknik ke berbagai bangsa. Jadi punya pandangan yang luas. Punya kemampuan untuk memastikan mana mitos, mana beneran,” jelas Gus Mut.

Fanshuri manggut-manggut.

“Karena kebiasaan orang Quraisy ini juga, informasi soal kenabian Nabi Muhammad menyebar ke mana-mana. Coba kalau orang Quraisy ini suku terpencil yang nggak dikenali di mana-mana, nggak bakal ada yang tahu lah kalau ada nabi akhir zaman di sana. Jadi Gusti Allah itu memang selalu membikin infrastruktur yang sempurna dulu sebelum menjalankan rencana-Nya,” terang Gus Mut.

“Wah, kalau begitu berarti saya ini kayaknya keluyurannya kurang jauh ya, Gus?” tanya Fanshuri tiba-tiba.

“Ya bisa jadi,” kata Gus Mut.

“Keluyuran itu nggak harus dibatasi ke tempat-tempat yang baik aja kan, Gus? Ke mana aja kan?” tanya Fanshuri.

“Tapi, sebelum kamu sering keluyuran, kamu juga harus punya sesuatu yang nggak bakal gampang digoyang juga. Itulah kenapa ilmu itu landasannya iman dulu. Soalnya keluyuran tanpa iman itu bisa kesasar, iman tanpa keluyuran jadinya kasar, nggak pernah keluyuran dan tanpa iman itu namanya…”

“…ambyaaar,” jawab Fanshuri.


*) Diolah dari ceramah Gus Baha’

Exit mobile version