Jadi Bahan Ghibah dan Cara Gus Mut Menikmatinya

Jadi Bahan Ghibah dan Cara Gus Mut Menikmatinya

MOJOK.COGus Mut jadi bahan ghibah oleh salah satu kenalannya. Di depan Gus Mut ngomong yang baik-baik, di belakang ternyata ngomongin yang jelek-jelek.

Ketika pagi belum juga beranjak, Fanshuri buru-buru menuju rumah Gus Mut. Ada persoalan penting sepertinya. Sebab, Fanshuri sampai berani mencegat Gus Mut yang hendak pergi keluar rumah

“Gus,” kata Fanshuri.

“Iya. Kenapa, Fan?” tanya Gus Mut.

“Gus Mut tahu Pak Fuad?” tanya Fanshuri.

“Iya, tahu. Kenal baik malah, kenapa?” tanya Gus Mut balik.

“Hah? Gus Mut kenal?” Fanshuri malah kaget.

“Lah, kamu ini gimana? Kamu tanya tahu nggak, aku jawab kenal kok kamu malah kaget. Gimana sih?” Gus Mut bingung.

“Nggak, saya pikir Gus Mut cuma tahu Pak Fuad aja, nggak sampai kenal,” kata Fanshuri.

“Pak Fuad yang punya toko besi di pertigaan kantor kecamatan itu kan?” kata Gus Mut memastikan.

“Iya. Lah Gus Mut kenal?” tanya Fanshuri.

“Iya dong. Masjid kita ini kan beberapa bagiannya dari bahan-bahan yang dicarikan Pak Fuad. Ya kan dia punya toko bangunan. Pengalamannya banyak soal beginian. Mandornya juga dia kok dulu itu waktu renovasi masjid ini. Orangnya juga baik kok, ramah banget,” kata Gus Mut sambil menunjuk masjid yang cuma selemparan batu dari rumahnya.

“Oalah,” kata Fanshuri garuk-garuk kepala.

“Kenapa, Fan?” tanya Gus Mut.

“Nggak jadi, ah, Gus,” kata Fanshuri.

“Ealah, gimana sih? Udah nyegat-nyegat gitu. Kirain ada hal penting. Lah kok tiba-tiba nggak jadi,” kata Gus Mut.

Fanshuri terdiam sejenak.

“Bukan gitu, Gus. Saya ini mau cerita jadi nggak enak. Apalagi setelah tahu Gus Mut kenal deket sama Pak Fuad,” kata Fanshuri.

“Cerita apaan sih? Kok kamu malah bikin penasaran aja,” kata Gus Mut.

Fanshuri seperti memberanikan diri untuk bercerita.

“Gini, Gus. Saya cerita ini biar Gus Mut tahu aja,” kata Fanshuri.

“Tahu apa sih? Kok kamu jadi nggak jelas gitu, Fan? Ada apa memangnya?” tanya Gus Mut.

“Jadi begini, Gus. Pak Fuad itu semalam cerita-cerita sama saya dan teman-teman di angkringan deket kecamatan. Ceritanya nggak jelas gitu. Yah, lebih ke ghibah sih sebenarnya. Awalnya sih kita cerita soal sepak bola. Lalu tiba-tiba obrolan jadi soal Gus Mut,” kata Fanshuri.

Gus Mut agak kaget.

“Maksudnya? Kok tiba-tiba jadi ngobrolin aku?” tanya Gus Mut.

“Nggak tahu kenapa Pak Fuad ini cerita kalau Gus Mut itu bukan putra Kiai Kholil, paling juga nggak bakal bisa apa-apa. Gitu katanya. Pak Fuad tiba-tiba ghibah kalau Gus Mut itu sebenarnya nggak becus ngapa-ngapain. Bisanya cuma ngaji doang. Bahkan kalau bukan karena ketibanan murid-muridnya Kiai Kholil, paling Gus Mut juga nggak punya murid,” kata Fanshuri menirukan omongan Pak Fuad.

Gus Mut cuma memerhatikan. Belum komentar apa-apa.

“Saya awalnya kaget juga dengernya. Malah saya pikir Pak Fuad itu mabuk atau gimana gitu. Saya nggak berani bilang apa-apa waktu Pak Fuad tiba-tiba ghibah soal Gus Mut begitu. Ya dia kan orang tua, nggak sopan dong kalau saya potong. Bahkan saya nggak yakin dengan kuping saya sendiri. Lalu begitu balik dari angkringan saya tanya teman-teman saya yang sering nongkrong di sana,” kata Fanshuri.

“Terus?” tanya Gus Mut.

“Katanya, belakangan ini Pak Fuad memang sering ngomongin jelek-jeleknya Gus Mut terus. Kata mereka sih, ini ada hubungannya karena Gus Mut pernah nggak pakai dia jadi mandor waktu renovasi rumah Gus Mut. Wah, sampai ke mana-mana Gus pokoknya omongannya,” kata Fanshuri.

Gus Mut cuma tersenyum mendengarnya. Lalu berdiri dari duduknya. Seperti tak terjadi apa-apa.

“Oh, ya sudah kalau begitu. Makasih ya, Fan. Kamu udah cerita,” kata Gus Mut.

Fanshuri kaget melihat air muka Gus Mut yang tak berubah sama sekali sejak awal.

“Gus? Sampeyan nggak marah denger Pak Fuad ngomong macem-macem nggak jelas kayak gitu?” tanya Fanshuri.

“Kenapa harus marah?” tanya Gus Mut balik.

“Ya kan ternyata Pak Fuad cuma berlagak baik aja di depan Gus Mut. Sedangkan di belakang Gus Mut, dia malah cerita jelek-jelek Gus Mut terus,” kata Fanshuri.

“Ya bagus dong kalau gitu, Fan,” kata Gus Mut.

Fanshuri terkejut bukan kepalang. Itu jawaban yang benar-benar di luar dugaan Fanshuri.

“Bagus dari Hongkong, Gus. Itu kan namanya cemen banget. Beraninya ngomong jelek di belakang Gus Mut doang,” kata Fanshuri.

“Ya bagus dong. Kalau Pak Fuad cuma berani bicara jelek di belakangku, itu artinya aku masih punya wibawa di hadapan beliau. Paling tidak, Pak Fuad masih segan sama aku. Artinya kan Pak Fuad ini masih mikir-mikir kalau mau ngomongin jelek-jelek di depanku,” kata Gus Mut enteng aja.

“Tap, tapi, tapi kan, Gus. Saya juga nggak terima kalau Gus Mut digituin,” kata Fanshuri mulai emosi.

Gus Mut langsung menepuk pundak Fanshuri.

“Ealah, Fan, Fan. Kamu itu kenapa jadi yang marah? Lah wong Pak Fuad nggak sedang ghibah soal kamu kok malah kamu yang marah,” kata Gus Mut.

“Ya tapi kan Pak Fuad ngomongin jelek-jeleknya Gus Mut. Ya aku marah, tapi aku perlu cerita dulu ini ke Gus Mut. Tadi saya pikir kita bakal bareng-bareng nyatroni rumah Pak Fuad. Bikin perhitungan atau gimana,” kata Fanshuri.

Gus Mut hampir terkekeh mendengar kata-kata Fanshuri.

“Fan, Fan. Masalah-masalah yang ada di dunia ini sebenarnya itu sebabnya ya karena ada banyak orang-orang kayak kamu itu,” kata Gus Mut.

“Lah kok bisa, Gus?’ tanya Fanshuri.

“Ya iyalah. Lah yang punya masalah ini aku sama Pak Fuad kok. Dan aku terima-terima saja. Nggak masalah sama sekali. Lah kok malah kamu mau ngebela aku mati-matian,” kata Gus Mut geleng-geleng.

Fanshuri cuma terdiam.

“Kadang-kadang itu, orang suka lebih galak dalam membela orang lain, padahal orang yang dibela sebenarnya biasa saja. Nggak merasa sedang dibela. Lalu jadi perang deh. Ribut. Dari pihak sana juga gitu. Orang yang punya masalahnya udah beres, orang yang ngebela dari pihak sana merasa nggak beres. Jadi pendukung ribut ketemu sesama pendukung. Padahal yang punya hajat sebenarnya mah santai-santai saja,” kata Gus Mut.

Fanshuri lalu garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Udah lah, Fan. Santai aja. Malah seneng aku kalau bisa kena jadi bahan ghibah gini,” kata Gus Mut.

“Hah? Kok bisa, Gus?” kata Fanshuri.

“Ya karena Pak Fuad sedang memberi ganjaran kebaikan untuk aku. Kalau aku marah, hilang sudah ganjaran kebaikan itu. Kan sayang banget. Ini jelas lebih mudah ketimbang harus salat malam, puasa, atau zakat. Tinggal diam aja, beres. Ganjaran kebaikan mengalir dengan sendirinya. Enak banget kan?”

“Iya juga sih, Gus, tapi…” kata Fanshuri.

“Udah ada fasilitas enak dapat pahala dengan cara cuma kayak gini doang kok mau disia-siain. Fan, ingat. Fabiayyi aala i rabbikuma tukadziban?”

Senyum merekah lalu muncul dari wajah Fanshuri.

 

*) Diolah dari pengajian Gus Baha’

BACA JUGA CARA KIAI KHOLIL MENJAGA AIB SANTRI YANG DIKERJAI atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.

Exit mobile version