Dwifungsi Kancut Gus Rahman

MOJOK.CO – Ketika kuliah di tanah rantau, Gus Mut bergaul dengan banyak putra kiai yang suka usil. Kayak Gus Rahman misalnya, yang menemukan fungsi lain dari kancut.

Ketika masih muda dan masih kuliah di luar kota, Gus Mut begitu dekat dengan Gus Ahmad. Hampir ke mana-mana selalu bersama. Kebetulan juga ayah Gus Mut, Kiai Kholil, merupakan teman dekat ayah Gus Ahmad. Seorang ulama terkenal di daerah Pantura.

Kesamaan hobi nonton sepak bola dan sama-sama penggemar musik membuat keduanya cepat akrab. Sampai kemudian Gus Mut ingin main ke kos-kosan salah satu sahabat Gus Ahmad, namanya Gus Rahman. Seorang senior kampus yang cukup terkenal kepandaiannya. Selain itu Gus Rahman juga putra ulama besar dari Jawa Timur.

Begitu datang ke kos-kosan Gus Rahman dengan diantar Gus Ahmad, Gus Mut munduk-munduk datang dengan sopan. Maklum, selain senior, Gus Rahman juga mahasiswa yang terkenal dengan pikiran-pikiran ajaibnya. Dapat satu atau dua petuah dari Gus Rahman kan ya lumayan, begitu pikir Gus Mut.

“Oh, ini Mad, temenmu yang kamu ceritakan itu,” kata Gus Rahman ke Gus Ahmad sambil menyalami Gus Mut.

Gus Mut merasa tersanjung sudah dikenal—bahkan sebelum sempat memperkenalkan diri.

“Gimana kabar Bapak? Sehat? Wah, Kiai Kholil itu salah satu kiai favorit saya lho,” kata Gus Rahman basa-basi.

“Sehat, Gus. Alhamdulillah. Lagi sibuk apa ini, Gus?” tanya Gus Mut.

“Oh ini. Baru beres-beres kamar aja,” kata Gus Rahman.

“Eh, Ahmad. Tolong siapin gelas dong. Ada tamu kok nggak ada suguhan sama sekali gini. Kopi atau teh?” tanya Gus Rahman.

“Wah, apa aja, Gus,” kata Gus Mut.

Sembari menyiapkan gelas dekat dispenser, Gus Ahmad malah celingak-celinguk kelihatan bingung.

“Ada apa, Mad?” tanya Gus Rahman.

“Ini lho, Mas Rahman. Gelasmu kotor banget. Nggak ada serbet atau tisu gitu?” tanya Gus Ahmad.

“Masa sih?” Gus Rahman sedikit tidak percaya.

Benar saja. Gelas yang mau disiapkan Gus Ahmad memang kotor. Maklum, baru saja Gus Rahman bersih-bersih kamar. Wajar kalau kemudian debu dan kotoran kamar menyebar ke udara dan beberapa menempel ke gelas-gelas Gus Rahman.

“Sebentar, aku carikan serbet dulu di lemari,” kata Gus Rahman berdiri.

Gus Mut cuma celingak-celinguk saja melihat kamar Gus Rahman.

“Kamu ini udah semester berapa, Mut?” tanya Gus Rahman sambil cari-cari serbet di lemarinya.

“Baru semester 4, Gus. Sampeyan bentar lagi lulus kan ya?” kata Gus Mut.

Ditanya begitu Gus Rahman malah tertawa. “Lulus gimana, aku ini masih banyak teori yang belum selesai ya.”

Memang betul. Meski Gus Rahman kecerdasannya ada di atas rata-rata, hampir semua mahasiswa tahu kalau Gus Rahman ini cukup bandel kalau soal urusan masuk kelas. Bahkan kadang Gus Rahman ketahuan sering di perpus kampus ketimbang di kelas. Tapi justru hal itu yang menurut Gus Mut menjadi keistimewaan Gus Rahman.

“Nah, ketemu. Dilap pakai ini aja, Mad,” kata Gus Rahman tiba-tiba sambil melempar sebuah kain ke Gus Ahmad.

Awalnya Gus Mut tidak memperhatikan betul kain lap yang dilempar Gus Rahman. Apalagi Gus Ahmad yang membersihkan gelas dengan lap itu terlihat cuek saja. Gus Mut tahu, ada yang aneh dari selembar kain yang dilemparkan Gus Rahman itu. Itu bukan kain biasa, itu kancut! Iya, k, a, n, c, u, t. Kancut. Segitiga pengaman kayak lambang Illuminati itu.

Tapi karena Gus Mut masih junior, Gus Mut tak berani kalau bertanya macam-macam. Jangankan mengeluarkan suara, bergerak saja Gus Mut penuh kehati-hatian. Hal yang bikin heran sama Gus Mut adalah perilaku Gus Ahmad yang selo-selo saja memakai kancut Gus Rahman untuk membersihkan gelas.

Lalu Gus Rahman kembali mengajak ngobrol Gus Mut. Dalam perbincangan itu, pikiran Gus Mut melayang ke mana-mana membayangkan kancut yang dipakai Gus Ahmad untuk membersihkan gelas.

“Wah, modyar ini aku,” batin Gus Mut panik.

Tak lama, Gus Ahmad menyodorkan teh untuk Gus Mut. Muka Gus Mut sudah mulai tidak nyaman.

“Silakan, Mut. Diminum dulu tehnya,” kata Gus Rahman.

Mampus.

Tak berani bertanya macam-macam, Gus Mut akhirnya meminum betulan teh bikinan Gus Ahmad ini. Tentu saja ada perasaan jijik ketika menyeruput teh tersebut. Gus Rahman bukannya tidak tahu Gus Mut merasa jijik dengan teh tersebut. Namun, Gus Rahman awalnya cuek saja sambil menahan geli.

“Gimana rasanya, Mut? Enak?” tanya Gus Rahman iseng.

“Enak, gundulmu, Gus. Gelas ini kan tadi dilap pakai kancutmu. Enak sih enak tehnya, tapi kan ya jijik. Gimana sih?” tapi itu kata-kata Gus Mut yang dibatin saja. Kata-kata yang keluar dari mulut Gus Mut cuma, “Enak, Gus, enak.”

Tentu saja pikiran Gus Mut masih fokus pada kancut yang dipakai untuk lap tadi, jadi ketika obrolan sudah ke mana-mana, air muka Gus Mut kelihatan kayak orang linglung. Melihat itu Gus Rahman mencoba mencairkan suasana.

“Mut, kamu pasti bingung ya sama kancut yang dipakai lap tadi?” tanya Gus Rahman sambil menahan geli.

Gus Mut cuma tersenyum kecut merasa dikerjai.

“Gini lho, aku pakai kancut itu justru untuk menghormati kamu,” kata Gus Rahman.

“Ma, maksudnya menghormati, Gus?” tanya Gus Mut benar-benar gagal paham.

“Ya itu sebenarnya salah satu caraku menghormatimu, Mut. Di kamarku ini sedang tidak ada kain yang benar-benar bersih. Padahal kalau mau membersihkan gelas itu kan harus pakai kain terbersih yang aku punya, nah masalahnya hanya kancut itu yang aku punya. Lagipula kancut itu masih baru dari toko, belum pernah kupakai sama sekali. Jadi ya belum bisa disebut kancut juga sih, karena usai dipakai sebagai lap ya nggak akan aku pakai lagi,” kata Gus Rahman sambil terkekeh.

Gus Mut cuma garuk-garuk kepala saja mendengarnya. Tak tahu apa yang dikatakan Gus Rahman itu beneran atau cuma upaya agar Gus Mut tidak merasa jijik saja.

“Kalau soal kancut itu masih baru atau tidak, itu betulan masih baru kok, Mut, tenang aja,” kata Gus Ahmad, “tadi aku sendiri yang lepasin banderol harganya.”

“Oalah, makanya tadi aku merasa aneh, Gus,” kata Gus Mut.

“Lha ya itu, kadang itu orang suka konsen sama bungkus. Nggak mau lihat substansi. Padahal kancut ini merupakan kancut penghormatan, tapi kalau orang cuma lihat bungkus ya jadinya kancut penghinaan,” kata Gus Ahmad yang disambut tawa Gus Rahman.


*) Diolah dari cerita Kiai Sukri Zarkasyi dan Gus Mus saat sowan ke kos-kosan Gus Dur di Kairo, Mesir.

Exit mobile version