MOJOK.CO – Bagaimana prinsip memahami dalil, sebuah hukum yang diturunkan demi mempermudah urusan manusia. Bukan sebaliknya.
“Mas, sampean itu paham banyak dalil kan?” tanya Wicaksono, temen lama Fanshuri saat kecil.
“Ya tipis-tipis tahu lah. Emang kenapa? Kok tumben tanya soal dalil?” tanya Fanshuri.
Wicaksono tersenyum sebentar.
“Anu, mau tanya, kalau misal orang mokah puasa Ramadan itu, cara nebusnya gimana ya? Dalil yang gimana ya yang dipakai?” tanya Wicaksono.
“Mokah-nya gimana emang?” tanya Fanshuri.
“Maksudnya?” tanya Wicaksono.
“Ya sengaja atau nggak. Karena alasan kesehatan misal atau ada kondisi khusus nggak? Se-sebentar, sebentar emang yang mokah siapa ini?” tanya Fanshuri.
Wicaksono agak malu-malu menyampaikannya, tapi karena sudah telanjur bertanya, jadi sekalian saja lah.
“Aku, Mas,” kata Wicaksono.
“Howalah. Emang kamu mokah apa?” tanya Fanshuri.
Wicaksono tersenyum.
“Aku jima’ sama istri siang-siang, hehe,” kata Wicaksono cengengesan.
Fanshuri menepuk dahinya.
“Ya kalau itu harus bayar kafarat jima’. Dalil yang dipakai jelas itu,” kata Fanshuri.
“Berat ya, Mas?” tanya Wicaksono.
“Urutannya sih yang pertama harus memerdekakan budak, tapi karena sekarang udah nggak zaman budak ya harus puasa dua bulan berturut-turut,” kata Fanshuri.
Wicaksono langsung lesu.
“Bukan gimana-gimana, Mas. Saya ini sebenarnya punya penyakit lambung. Kalau sebulan sih masih bisa, tapi kalau sampai dua bulan saya benar-benar tidak mampu karena masalah kesehatan itu, Mas,” kata Wicaksono.
“Ya udah kasih makan orang miskin 60 orang,” kata Fanshuri.
Wicaksono lagi-lagi lesu.
“Mas, sampean kan tahu semiskin apa saya ini?” kata Wicaksono.
Fanshuri baru sadar soal betapa miskin temannya itu.
“Wah, nggak bisa. Sampean harus pilih salah satu dari kafarat itu. Kalau nggak ya sampean nanggung dosa itu terus,” kata Fanshuri.
Wicaksono makin lesu mendengarnya, dia kehabisan opsi.
“Apa nggak ada dalil lain?” tanya Wicaksono.
“Kamu itu lho, dalil kok ditawar-tawar… ya nggak bisa gitu dong,” kata Fanshuri.
“Kalau nggak percaya, coba deh tanya ke guru saya, ke Gus Mut. Kebetulan sore ini aku janjian sama beliau,” kata Fanshuri mengajak Wicaksono sowan ke Gus Mut.
Di kediaman Gus Mut, Fanshuri menceritakan problem Wicaksono dari awal sampai akhir. Gus Mut cuma tersenyum mendengar penjelasan Fanshuri.
“Ya sudah, begini, Mas. Saya ada beras satu karung di gudang, sepertinya itu cukup. Ambil saja,” kata Gus Mut ke Wicaksono.
Fanshuri celingak-celinguk bingung mendengar Gus Mut bilang begitu. Wicaksono yang dipersilakan begitu juga ikut-ikutan bingung.
“Ta-tapi, Gus?” kata Wicaksono.
“Sudah ambil saja,” kata Gus Mut.
Karena merasa “diperintah”, Wicaksono pun mengambil sekarung beras yang dimaksud. Begitu keluar dari gudang, Gus Mut langsung berpesan.
“Silakan bagikan beras itu ke orang paling miskin di kampungmu ya, Mas,” kata Gus Mut.
Wicaksono makin bingung.
“Anu, Gus. Bukannya gimana-gimana ya, tapi orang paling miskin di daerah saya ya saya sendiri. Nggak ada orang paling miskin di kampung saya selain saya sendiri itu, Gus?”
Gus Mut tersenyum.
“Ya berarti beras itu untuk keluargamu saja,” kata Gus Mut.
“Hah? Serius, Gus?” tanya Fanshuri makin kebingungan.
Wicaksono bisik-bisik ke Fanshuri, “Ini serius boleh kayak gini, Mas? Ada dalil yang beginian ya emang?”
Fanshuri cuma menggeleng tanda tidak tahu.
“Insya Allah sah kok, Mas. Silakan sampean segera pulang agar kafarat itu bisa terlaksana untuk keluarga sampean ya,” kata Gus Mut.
Wicaksono pun pamit ke Fanshuri dan Gus Mut sambil masih merasa ragu apakah ini bisa dibenarkan oleh agama, benarkah yang beginian ada dalilnya. Tapi karena yang bilang adalah Gus Mut, Wicaksono pun memantapkan hatinya. Mencoba merasa yakin saja.
Begitu Wicaksono pulang, Fanshuri yang masih di rumah Gus Mut segera bertanya. Ada banyak kebingungan di kepalanya.
“Memang boleh ya, Gus?” tanya Fanshuri begitu Wicaksono sudah menjauh.
“Apanya?” tanya Gus Mut sambil berjalan menuju teras rumahnya.
“Ya kayak gitu, masak ada kafarat yang harus dibayar sama pelakunya tapi malah jadi tanggungannya Gus Mut sih? Memang ada dalil begitu?” tanya Fanshuri.
Gus Mut terkekeh.
“Itulah fungsi memahami hukum dari dalil, Fan,” kata Gus Mut.
“Ma-maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Hukum yang berasal dari dalil itu prinsipnya adalah menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah baru. Semua perkara hukum dalam Islam itu hadir untuk mengatur kehidupan manusia supaya mempermudah jalan kehidupan, bukan malah sebaliknya,” kata Gus Mut.
Fanshuri terdiam sejenak.
“Sebentar, sebentar, Gus…” Fanshuri masih bingung.
Gus Mut paham kebingungan muridnya ini.
“Dalil atau hukum atas itu prinsipnya adalah mengatur sesuatu yang bermasalah menjadi beres. Kalau suatu dalil kok dirasa jadi masalah baru dalam kehidupan manusia, maka kemungkinannya ada dua,” kata Gus Mut.
“Apa itu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Yang mendalil belum komplet memaknai sebuah dalil sampai ke prinsip-prinsipnya, atau yang mendalil terlalu berjarak dengan masyarakat yang didakwahinya,” kata Gus Mut.
Giliran Fanshuri yang terkekeh.
“Wah, kayaknya saya termasuk orang yang di kategori itu ya, Gus,” kata Fanshuri cengengesen.
Gus Mut tersenyum.
“Bukan saya lho yang bilang,” kata Gus Mut yang disambut tawa Fanshuri.
*) Diolah dari riwayat Imam Bukhari.
BACA JUGA Ada Qada dan Qadar tapi Kenapa Manusia Masih Diadili di Akhirat? dan kisah-kisah Gus Mut lainnya.