MOJOK.CO – Bagaimana cara kiai tanggapi beda pendapat di antara mereka? Apalagi jika hal ini menyangkut pada beda pandangan soal penggunaan kentongan di masjid.
“Gus, sudah baca koran lokal hari ini?” tanya Fanshuri tiba-tiba ke Gus Mut yang sedang nguras kolam ikannya.
“Belum. Emang ada apa, Fan?” tanya Gus Mut.
“Wah, ada yang seru, Gus,” kata Fanshuri.
“Seru gimana?” Gus Mut bingung.
“Hari ini ada tulisannya Kiai Kholil, Abah sampeyan,” kata Fanshuri.
“Oh iya? Mana? Aku kok belum baca. Emang apanya yang seru? Abah kan juga udah biasa nulis, cuma ya belakangan ini jarang aja nulis soalnya sibuk pengajian sama ngajar ngaji,” kata Gus Mut.
“Waduh, saya nggak bawa korannya, Gus. Intinya Abah sampeyan agak mengritik tulisan hari kemarin,” kata Fanshuri.
“Mengritik katamu?” tanya Gus Mut.
Fanshuri diam sejenak.
“Hm, kayaknya lebih tepatnya ngasih pandangan lain paling,” kata Fanshuri.
“Memang soal apa sih isi tulisan yang kemarin?” tanya Gus Mut.
“Soal ini Gus,” Fanshuri coba mengingat-ingat, “kemarin ada tulisan yang menyebut kalau bedug digunakan sebagai alat untuk manggil orang salat itu memang bisa digunakan. Soalnya kalau saya tak salah ingat, itu diqiyaskan dari duff, semacam alat musik Arab zaman dulu yang dari kulit binatang. Nah, masalahnya, di tulisan itu menyebut kalau kentongan itu beda. Karena nggak bisa diqiyaskan dengan duff, jadi ya sebaiknya jangan digunakan di masjid-masjid,” jelas Fanshuri.
“Oh iya?” tanya Gus Mut.
“Iya, Gus. Kiai juga kok yang nulis,” kata Fanshuri.
“Kiai siapa?” tanya Gus Mut lagi, kali ini sambil keluar dari kolam ikannya.
“Kiai Nawawi,” jawab Fanshuri.
“Oalah Kiai Nawawi. Iya beliau emang terkenal sangat hati-hati kalau soal fikih,” kata Gus Mut, “Emang abahku nulis apa yang hari ini?”
“Anu, Gus, nulis kebalikannya. Kiai Kholil menulis kalau beliau agak berbeda pendapat dengan Kiai Nawawi soal kentongan masjid. Menurut abah sampeyan, kentongan masjid itu qiyasnya ya dari orang manggil salat itu. Seru, Gus,” kata Fanshuri semangat.
Gus Mut cuma tertawa mendengarnya.
“Padahal kalau Kiai Nawawi sampai tahu masjid kita ada kentongannya, bisa-bisa beliau nggak mau datang ke masjid kita ya, Gus?” kata Fanshuri.
“Ah, nggak juga, Fan. Sekali pun begitu, Kiai Nawawi itu juga nggak terus keras kok. Aku kenal lama sama beliau. Lagian Abah sama Kiai Nawawi kan dulu waktu nyantri pernah satu pondok meski nggak satu angkatan. Jadi ya mereka akrab-akrab aja,” kata Gus Mut.
Sambil berleha-leha di samping kolam, Gus Mut menyulut rokoknya. Fanshuri pun ikut duduk di samping Gus Mut. Melanjutkan obrolan yang mulai tambah asyik. Tak sampai beberapa menit, tiba-tiba Kiai Kholil datang ke rumah Gus Mut.
“Mut, Mut…” panggil Kiai Kholil begitu masuk halaman rumah Gus Mut.
“Eh, suara Kiai Kholil itu, Gus,” kata Fanshuri.
Gus Mut agak kaget. “Wah, panjang umur betul abahku ini. Baru dirasani orangnya datang,” kata Gus Mut.
“Lho? Ada Fanshuri juga di sini. Kebetulan sekali,” kata Kiai Kholil terkejut ada Fanshuri di rumah Gus Mut.
“Iya, Pak Kiai. Ini lagi mau bantuin Gus Mut nguras kolam ikan,” kata Fanshuri bercanda.
“Halah, bantuin apa. Malah duduk-duduk ngajak ngobral doang ding, Bah,” kata Gus Mut.
“Nah, karena ada Fanshuri. Jadi sekalian aja, aku butuh bantuan kalian berdua. Tapi kayaknya juga santri-santri yang lain perlu dikasih tahu juga agar turun tangan ini,” kata Kiai Kholil.
“Emang ada apa, Pak Kiai?” tanya Fanshuri.
“Kita perlu bersih-bersih masjid ini. Aku pengen masjid kita dibersihkan seluruhnya,” kata Kiai Kholil.
“Ada tamu yang mau datang ya, Bah?” tanya Gus Mut.
“Iya. Tamu penting,” kata Kiai Kholil.
Gus Mut dan Fanshuri segera menghubungi beberapa santri untuk bersih-bersih masjid. Tidak ada yang aneh ketika kegiatan bersih-bersih ini sedang dilakukan, sampai kemudian ada permintaan aneh dari Kiai Kholil.
“Mut, sini,” panggil Kiai Kholil meminta putranya mendekat.
“Iya, Bah, kenapa?” Gus Mut mendekat.
“Tolong itu kentongan masjidnya dipindah ya,” kata Kiai Kholil.
“Hah? Kentongan masjid dipindah? Wah, berat banget lho itu kentongannya, Bah. Kayunya kayu tua itu, gede banget lagi,” kata Gus Mut.
“Ya makanya itu, aku minta kamu minta bantuan santri-santri juga, Mut. Biar bareng-bareng ngangkatnya,” kata Kiai Kholil.
“Dipindah ke mana, Bah? Posisi kentongan itu udah pas, Bah,” protes Gus Mut.
“Udah lah, kamu panggil aja dulu Fanshuri sama santri yang lain ke sini buat mindahin itu kentongan,” kata Kiai Kholil.
Gus Mut pun menurut, lalu meminta semua santri yang sedang bersih-bersih untuk berkumpul ke kentongan masjid.
“Hah? Dipindah, Gus? Ini berat banget lho, Gus,” kata Fanshuri.
“Ini yang minta Abah,” kata Gus Mut.
“Oalah,” tidak ada yang berani membantah kalau Kiai Kholil yang meminta.
“Ayo, yang nggak lagi selo ke sini, bantuin ngangkat kentongan masjid,” teriak Fanshuri.
“Dipindah ke mana, Bah?” tanya Gus Mut ke Kiai Kholil.
“Tolong dipindah di garasi belakang rumahku ya,” kata Kiai Kholil.
Tentu saja Gus Mut kaget mendengarnya. Awalnya dipikir Gus Mut, memindahkan kentongan ini cuma digeser sedikit ke sisi lain masjid, bukan digotong ramai-ramai sampai rumah abahnya.
“Wah, jauh, Bah,” kata Gus Mut. Merasa ada yang tak beres, Gus Mut pun mendekat ke Kiai Kholil.
“Ini kenapa sih, Bah, kok sampai mindahin sampai rumah segala? Lagian nggak ada yang rusak sama kentongan ini. Apanya yang mau dibenerin?” kata Gus Mut lagi.
Kiai Kholil cuma tersenyum mendengarnya.
“Jadi gini, Mut. Besok ini, Kiai Nawawi mau sowan ke rumah,” kata Kiai Kholil.
“Lha terus hubungannya apa?” tanya Gus Mut.
“Ya Abahmu ini nggak mau kalau Kiai Nawawi lihat masjid kita ada kentongannya. Kamu kan tahu sendiri Kiai Nawawi itu kalau soal kentongan masjid gitu rada-rada anti. Biar dia nggak merasa aneh aja kalau tiba-tiba harus salat jamaah ke masjid kita,” kata Kiai Kholil.
Tiba-tiba Gus Mut tertawa keras sekali mendengar pengakuan abahnya itu.
“Oalah, jadi bersih-bersih masjid ini cuma modus aja to,” kata Gus Mut.
“Iya lah, mau kamu sebut modus atau apa, pokoknya aku minta tolong ya, Mut?” pinta Kiai Kholil.
“Siap, Bah. Beres pokoknya,” kata Gus Mut pergi menuju Fanshuri dan santri-santri yang sudah siap mengangkat kentongan yang berat itu. Tentu dengan wajah bungah karena merasa sangat bangga kepada abahnya.
Begitu mendekat ke Fanshuri, Gus Mut tidak mengatakan apa-apa. Fanshuri tentu penasaran.
“Gus, Kiai Kholil bicara apa? Kok dipindah segala sampai sejauh itu buat apa sih?” tanya Fanshuri.
“Rahasia dong,” kata Gus Mut sambil tersenyum nakal ke Fanshuri dan santri-santri yang lain.
Fanshuri cuma mbesengut mendengarnya.
*) Diolah dari kisah antara Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari dengan Kiai Faqih Maskumambang, seperti yang pernah disampaikan oleh Gus Dur.