Cara Kiai Kholil Menjaga Aib Santri yang Dikerjai

MOJOK.COSeorang santri di hadapan pengasuhnya memang selalu takzim. Dipanggil dalam situasi apapun bakal langsung beranjak. Mau sesulit apapun posisinya.

Di pesantren yang diasuh Kiai Kholil, terdapat dua santri Rizki dan Ahmad yang sering tidur rebutan bantal. Maklum, di kamar mereka, bantal tidak tersedia banyak. Sebagian besar hilang. Kebetulan yang tersisa hanya ada satu siang itu.

Cuaca begitu terik dan panas, Rizki kebetulan sudah memakai bantal sambil tiduran leyeh-leyeh di kamar. Ahmad yang baru masuk kamar, tak kaget melihat Rizki sudah memakai bantal tersebut. Siang itu, padahal Ahmad sudah ngempet ingin tidur siang. Ngantuk sekali rasanya.

Namun Ahmad sadar, tak mungkin langsung merebut bantal yang sudah dipakai Rizki itu. Tak kurang akal, Ahmad pun berniat mengerjai temannya.

“Ki, Rizki. Kamu ditimbali (dipanggil) Mbah Yai Kholil,” kata Ahmad.

Merasa kaget dipanggil Kiai-nya, Rizki melotot kaget.

“Serius?” tanya Rizki.

“Iya, betulan. Dicariin kamu tadi. Tuh, Mbah Yai Kholil lagi bandongan di serambi masjid,” kata Ahmad.

“Kok manggil saya? Memang ada urusan apa?” tanya Rizki.

Rizki patut bertanya. Seorang santri biasa dipanggil kiai pengasuh pesantrennya adalah hal yang langka. Tak mungkin jika tidak apa-apa kalau sampai Rizki dipanggil langsung begini. Rizki lebih khawatir lagi kalau dirinya dipanggil untuk kena takzir. Kan, seram juga.

“Ya nggak tahu. Coba aja tanya sendiri sama Mbah Yai Kholil,” kata Ahmad santai. Sambil sesekali melirik bantal yang sudah mulai lepas dari kepala Rizki.

Rizki lalu bangun dari tidurnya sambil buru-buru mengambil pakaian yang pantas. Meninggalkan bantal yang sudah diidam-idamkan Ahmad sedari tadi. Rizki sudah tidak peduli lagi dengan bantalnya. Dirinya dipanggil Kiai Kholil, tak ada urusan yang lebih penting lagi selain itu.

Tentu saja bantal yang tak terpakai itu langsung dipakai Ahmad untuk tidur siang di kamarnya. Sambil cekikan sendiri karena merasa sudah berhasil mengerjai Rizki.

Rizki setengah berlari menuju serambi masjid dari kamarnya. Khawatir kalau Kiai Kholil menunggu terlalu lama.

Di serambi masjid sudah terlihat beberapa santri yang sedang ngaji bandongan. Kiai Kholil sebenarnya sudah melihat Rizki dari kejauhan. Tapi tak tahu kalau Rizki sedang menuju ke tempat duduknya sekarang.

Tanpa basa-basi, Rizki mendekat melewati beberapa santri yang sedang ngaji, lalu nyelonong langsung ke depan. Tentu saja semua santri yang sedang ngaji bandongan merasa heran. Ini bocah sombong amat, langsung lewat-lewat gitu aja. Langsung menuju tempat duduk Kiai Kholil lagi.

Sedangkan bagi Rizki, itu bukan masalah. Baginya, yang penting sekarang adalah segera menghadap secepat mungkin ke Kiai Kholil. Apapun risikonya, biar itu jadi urusan belakangan.

Dalem, Pak Kiai,” kata Rizki begitu mendekat ke Kiai Kholil lalu langsung mengecup tangannya.

Kiai Kholil bingung.

“Iya, kenapa?” tanya Kiai Kholil. Masih dengan pikiran bertanya-tanya.

“Maaf, ada apa njih? Kok saya tiba-tiba ditimbali?” tanya Rizki masih dengan takzim.

Kiai Kholil sadar. Ada yang tidak beres.

Kiai Kholil merasa sudah dari tadi mengajar ngaji santri-santrinya. Tidak pernah ada intruksi untuk memanggil Rizki. Di sisi lain, pandangan santri-santri lain yang sedang ngaji melihat dengan mata tak nyaman ke arah Rizki.

“Apaan sih itu Rizki? Ganggu orang lagi ngaji aja,” celetukan-celetukan santri lain mulai terdengar.

Sedangkan ada juga santri yang nyeletuk, “Lha wong Pak Kiai dari tadi nggak manggil kok. Geer aja sih si Rizki ini.”

Apalagi Rizki melewati para santri yang sedang ngaji dengan agak terburu-buru. Tentu jadi pemandangan yang ganjil.

Kiai Kholil bisa saja menjawab, “Ah, tidak. Saya tidak manggil kamu kok,” tapi sadar kalau kalimat itu keluar, Rizki bisa malu bukan kepalang. Oleh karena itu, Kiai Kholil memilih kalimat ini…

“Oh, iya. Saya lupa. Rizki. Sini-sini,” kata Kiai Kholil berdiri.

“Injih Pak Kiai,” kata Rizki.

Kiai Kholil lalu melepas jam tangannya.

“Tolong jam tangan saya ini disesuaikan sama jam istiwa’ di masjid ya?” kata Kiai Kholil.

“Oh, baik Pak Kiai.”

Semua santri yang tadi ngedumel jadi berubah pikiran. Oh, ternyata memang si Rizki itu ditimbali. Mereka semua mendadak jadi maklum. Padahal Kiai Kholil cuma pura-pura memberi perintah. Toh, soal jam itu pun bukan perkara penting bagi Kiai Kholil.


*) Diolah dari kisah Kiai Umar Abdul Manan, pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Solo. Santri yang dikerjai dalam cerita tersebut, sekarang menjadi pengasuh sebuah pesantren besar di Kabupaten Semarang.

BACA JUGA Pondok Pesantren Memang Tempatnya Santri Nakal atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.

Exit mobile version