Sidang Jumat yang berbahagia, berpancasila, bidah, dan berstatus manusia fana…
Pada kesempatan kali ini saya akan mendongeng.
Oleh sebab waktu kalian baca cerita ini setingnya adalah khotbah jumat, saya harus pake sebagian rukunnya juga. Artinya, walaupun nakal, tapi tetep harus berpijak pada aturan. Seperti kru Mojok sekarang. Sebagian berhijab, sebagian binal. Syariah plus liberal. Mngrkn skl mmng.
Jadi… Semoga dengan cerita ini kalian bisa tambah bertaqwa, ya. Plus, menghindari larangan-larangan-Nya. Semacam larangan yang didengungkan oleh Ustadz Anti-Bidah di cerita saya.
Begini ceritanya.
Pada suatu ceramahnya, Cak Nun, sedang mengomentari soal pelarangan-pelarangan bidah yang belakangan mulai masif lagi. “Kalau memang bidah tidak dibolehkan, besok kipas angin di masjid copot semua!” kata Cak Nun, disambut ketawa jamaahnya.
“Tahlil kok haram. Lha memang larangannya mana?”
Ceramah Cak Nun ini sudah tentu mudah sekali ditemui di yutup, media kafir yang tidak konsisten karena jebul ada petuah-petuah keislamannya juga.
Tanpa disangka, video tersebut sampai ke laptop Ustad Anti-Bidah. Melihat video ceramah Cak Nun, Ustadz terkemuka dengan gelar Syaikh ini mengomentari di hadapan para jamaahnya.
“Lho dia yang bikin ibadahnya kok tanya larangannya sama saya,” kata si Ustad heran, “Ya jelas enggak ada.”
“Kalau mau cari larangan itu perkara dunia. Tapi kalau ibadah, yang dicari itu dalilnya,” kata Ustadz ini, yang diamini para jamaahnya.
“Tuntunannya harus dicari kalau soal ibadah. Sekarang mana dalilnya tahlil? Apa pernah Nabi Muhammad membacakan tahlil untuk Siti Khadijah?” kata Ustadz ini disambut tawa jamaahnya.
“Kayak begitu itu pandangan sesat. Perihal larangan itu hanya berlaku untuk perkara dunia saja. Misalnya hukum makan tempe. Di situ ada larangannya, tidak? Ada ketentuan haram atau tidak? Kalau tidak ada, berarti boleh dong makan tempe. Berangkat kerja naik kereta, ada atau tidak larangannya? Kalau tidak ada ya boleh, dong, naik kereta. Disuruh Pemred Mojok menulis rubrik Khotbah Jumat meskipun sebenarnya sedang banyak kerjaan, ada tidak larangannya? Kalau tidak ya boleh saja, dong,” kata Ustadz ini lagi.
“Lha kok tahlil ditanya larangannya? Ya jelas enggak ada. Ini pertanyaan salah sejak dari pikiran. Misalnya begini. Salat subuh tiga rakaat. Terus kita ditanya; larangannya mana? Ya enggak ada. Ini kan pertanyaan goblok namanya.
“Gimana? Fahimtum?”
“Fahimnaaaa,” jawab jamaah sambil tertawa.
Eh ternyata, tanpa diduga-duga, dalam pengajian tersebut ada salah seorang ahli-bidah yang ikut hadir. Seseorang yang suka sekali ikutan tahlil, acara-acara Maulid Nabi, bahkan sampai pernah bikin buku Yasin waktu mati surinya Mojok di hari ke-7. Karena kupingnya panas luar biasa mendengar ceramah Pak Ustadz, orang ini memberanikan diri untuk maju mendekat ke meja podium.
“Ustadz?” sapa orang ini, mengacungkan tangan. Sebut saja Mulyadi.
“Iya, kenapa? Ente mau tanya?” kata Ustadz.
Belum sempat menjawab, tanpa ba-bi-bu, Mulyadi langsung menyerobot kitab Alquran di meja Ustad ini.
“Lho, lho, ngapain ente?” teriak si Ustadz.
Para jamaah berdiri. Ini siapa, orang kok tiba-tiba menyerobot kitab Alquran milik panutan mereka.
Mulyadi menenangkan jamaah, “Tenang, Saudara-saudara, tenang. Saya cuma sedang mempraktikkan wejangan Pak Ustad barusan.”
“Bocah gendheng. Mau kamu apain Alquran saya?” tanya Ustadz, para jamaah tidak kalah emosi.
“Mau saya musnahkan, Tadz. Sampai sehuruf-huruf tidak lagi tersisa,” jawab Mulyadi.
“Na’udzu billah. Setan kamu. Kamu sesat!” jamaah mulai tidak sabar dan hampir mengeroyok Mulyadi.
“Tunggu dulu, tunggu dulu. Saya cuma mau mempraktekkan ceramah dari Pak Ustadz kok,” kata Mulyadi sambil mengusap umbelnya.
“Memangnya wejangan yang mana? Kamu pasti salah menerima penjelasannya. Sekarang kembalikan Quran saya! Kamu mau menistakan agama Islam, ya?”
Dengan tenang Mulyadi menjelaskan.
“Lha, tadi itu, katanya kalau yang berkaitan dengan ibadah itu harus ada dalilnya. Sekarang Alquran dikumpulkan jadi kitab itu mana dalilnya? Ada, ‘Tadz?” tanya Mulyadi.
Ustadz ini cuma diem. Jamaah celingak-celinguk.
“Enggak ada, lho, ‘Tadz. Apalagi ini jelas untuk ibadah. Jelas sekali. Karena tidak ada dalilnya. Berarti Quran dalam bentuk kitab ini sesat, ‘Tadz. Sampeyan sesat kalau baca. Emangnya pernah Nabi Muhammad baca Alquran bentuk kitab begini? Lha wong Nabi hafal. Semua sahabat hafal. Mereka enggak baca karena memang sudah hafal.
“Kalau pake nalar begitu, harusnya Ustadz juga gak boleh baca Alquran, tapi harus ngafalin. Lewat apa? Ya dari mulut ke mulut. Coba deh bayangin susahnya kalau mau nyebarin Islam. Tapi mau gimana lagi, aturannya kan begitu. Tidak boleh kita menambah-nambahi apa yang sudah ada, karena bakalan sesat kita.”
Jamaah bengong.
“Lagipula dulu Alquran enggak begini lho, ‘Tadz. Dulu itu arab gundul. Jangankan harakat, lha wong tanda baca untuk titik aja belum ada. Cuma coret-coretan garis tulisan cacing. Lha kitab apa ini, kok beda banget dengan yang di zaman Nabi. Wah, bidah ini, ‘Tadz. Enggak bisa dibiarkan, nih. Harus segera diluruskan. Tidak bisa dibiarkan.
“Iya kan, Tad?”
Ustadz tadi cuma menelan ludah.
Saya pun menelan ludah juga, karena saya sendiri enggak nyangka tulisannya bakal jadi begini endingnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.