Alasan Kenapa Manusia Butuh Mempercayai Tuhan

MOJOK.CO – Ada rasa gundah yang besar di pikiran tamu Gus Mut, kenapa zaman serasional sekarang, orang masih bisa percaya dengan hal gaib dan Tuhan?

Tamu Gus Mut tak juga kembali-kembali. Usai berdiskusi panjang lebar, si tamu yang sedari awal mengaku tak lagi percaya dengan konsep-konsep agama masih ingin menggali lebih dalam. Dalam perbincangan sebelumnya, tamu Gus Mut ini mempermasalahkan soal agama yang tak rasional. Kali ini si tamu ingin lebih dalam lagi.

“Jadi kenapa, Gus, kalau mulai banyak orang yang udah berpikiran rasional di dunia kok masih banyak yang percaya sama hal-hal takhayul? Terutama takhayu-takhayul dalam agama?” kata si tamu.

“Maksudnya hal takhayul gimana, Mas?” tanya Gus Mut.

“Ya yang gaib-gaib gitu. Bahkan Tuhan saja diakui sebagai dzat yang gaib kan?” kata si tamu.

Gus Mut terkekeh sambil menyeruput kembali teh yang sudah mulai dingin. Namun itu tak masalah, sebab perbincangan jadi lebih hangat ketimbang sebelum-sebelumnya.

“Gini, dulu, Mas. Sampeyan memahami hal gaib itu sebagai apa dulu nih?” tanya Gus Mut.

Si tamu berpikir sejenak.

“Ya hal-hal yang nggak bisa dinalar. Kayak pocong, kuntilanak, terus malaikat-malaikat, itu kan hal-hal yang gaib, Gus?” kata si tamu.

“Wah, jauh juga ya patokan sampeyan soal gaib itu?” tanya Gus Mut.

“Maksudnya, Gus?” tanya si tamu.

“Ya sampeyan kejauhan kalau pingin tahu apa itu gaib kalau sasarannya cuma ke alam jin. Gaib itu kan secara bahasa cuma ‘sesuatu yang tak tampak’, padahal hal yang nggak tampak itu nggak cuma alam jin, Mas,” kata Gus Mut.

“Memangnya ada, Gus, hal gaib selain alam jin?” tanya si tamu.

“Ya buanyak to, Mas. Cinta misalnya, tampak nggak?” tanya Gus Mut.

Si tamu diam saja. Cuma menggeleng.

“Gini aja deh, sampeyan tahu nggak apa yang ada di pikiran saya sekarang?” tanya Gus Mut lagi.

“Ya nggak tahu lah Gus, gimana sih?” kata si tamu.

“Ya itulah gaib. Sesuatu yang tak tampak. Tapi ketika tampak, manusia akan cenderung terkejut dan terkaget-kaget. Kayak tiba-tiba saya mengeluarkan otak saya di hadapan sampeyan. Ya pasti sampeyan kaget.”

“Ya iyalah,” jawab si tamu.

“Sebab pengalaman sampeyan sebelumnya tak punya tempat untuk menjelaskan apa yang sedang dilihat oleh mata sampeyan kalau saya keluarkan isi otak saya. Padahal tanpa saya keluarkan isi kepala saya secara harfiah, sampeyan mengimani to hal gaib bahwa di dalam batok kepala saya ini ada otak?” tanya Gus Mut.

Si tamu cuma tersenyum kecil.

“Ya kayak sampeyan lihat kuntilanak pertama kali, karena sampeyan tidak paham apa yang sampeyan lihat, ya sampeyan takut. Lalu karena itu bukan pengalaman yang bisa terjadi berulang kali sampeyan bilang itu gaib untuk menutupi ketakutan sampeyan,” kata Gus Mut.

“Ah, masa sih? Bukannya kalau kita nggak paham pada sesuatu, manusia itu cenderung penasaran ya? Bukan takut?” tanya si tamu.

“Lho sampeyan pikir orang zaman dulu, waktu belum tahu api pertama kali ada, lalu ketemu api pertama kali reaksinya gimana?”

Si tamu diam sebentar.

“Ya bisa aja terkejut, takut—mungkin,” kata si tamu.

“Lalu perasaan kayak gitu bikin apa?” tanya Gus Mut lagi.

“Ya pasti inferior, merasa rendah diri, merasa bukan siapa-siapa,” kata si tamu.

“Orang yang pertama ketemu api lalu takut itu karena dia nggak tahu sebelumnya api itu apa. Dia nggak punya pengalaman sebelumnya menghadapi api, jadi ya takut. Manusia itu gitu, Mas. Suka takut sama hal-hal yang nggak dimengerti, yang nggak bisa dipahami, waspada, dianggap sesuatu yang berbahaya. Baru di tahap berikutnya muncul rasa penasaran,” kata Gus Mut.

“Kok jadi kayak pengalaman orang mengenal Tuhan gitu, Gus?” tanya si tamu.

“Lah iya to. Kan diawali dari takut dulu. Nabi Muhammad waktu ditemui Malaikat Jibril di Goa Hiro’ kan awalnya juga ketakutan, Mas. Nabi Musa waktu mau ditemui Tuhan lalu melihat ada gunung meledak sampai pingsan karena takutnya.”

“Hal kayak gini muncul karena manusia merasa tidak berdaya, tidak berdaya karena tidak paham sedang menghadapi apa. Lalu sesudahnya, kita mencerna, berpikir, berpikir, tadi saya lihat apa ya. Lalu kita belajar, belajar, terus jadi pengetahuan baru. Artinya semua pengetahuan itu memang diawali dari rasa takut dulu pada mulanya,” kata Gus Mut.

“Kalau mau dikaitin sama api, ya kan nyatanya ada agama penyembah api. Majusi yang kalau dalam bahasa ilmiah sampeyan itu namanya….”

“Zoroaster, Gus,” sambung si tamu.

“Nah, itu.”

“Lalu kenapa manusia bisa percaya Tuhan? Kenapa kita percaya pada sesuatu yang tidak dipahami padahal belum tentu kita punya pengalaman ketemu Tuhan kayak manusia-manusia sebelum-sebelumya?” tanya si tamu.

“Sebenarnya alasannya sederhana sih, Mas,” kata Gus Mut.

“Apa Gus memang alasannya?” tanya si tamu.

“Ya karena ada kematian,” jawab Gus Mut.

Si tamu kaget. Kaget bukan karena takjub, tapi kaget karena kecewa. Jawaban macam apa itu? Anak kecil juga tahu kalau alasan manusia mau mempercayai Tuhan itu karena ada mati.

“Kalau cuma gitu jawabannya, anak saya juga tahu, Gus,” kata si tamu.

“Iya, tapi—sama halnya seperti anak sampeyan—kita berdua juga nggak tahu rasanya mati itu apa,” kata Gus Mut tiba-tiba.

“Ya iyalah, mati kan bukan pengalaman berulang kali yang bikin kita bisa cerita ke orang lain setelah menjalaninya,” kata si tamu.

“Tepat,” potong Gus Mut cepat.

Si tamu bingung.

“Mati bukan lah pengalaman berulang, Mas, jadi manusia nggak punya tempat untuk merasionalisasi apa terjadi pada saat seseorang mengalami kematian. Kalau proses kematiannya sih bisa dipahami, tapi pengalaman mati? Ya nggak bisa, karena itu pengalaman masing-masing. Iya to?” kata Gus Mut.

“Tapi kan ada mati suri, Gus?” tanya si tamu cepat.

“Iya betul, tapi mati suri itu anomali. Bisa satu banding sejuta. Dan dalam nalar sampeyan yang sampeyan agung-agungkan itu nggak akan menerima kasus-kasus kecil gitu karena dianggap nggak bisa mewakili rasionalitas sampeyan sendiri kan? Mati suri itu pengetahuan yang didasarkan pengalaman orang per orang, tapi mana bisa jadi ilmu karena nggak bisa diuji coba berkali-kali. Iya kalau mati suri lagi, lha kalau jadi mati beneran? Kan berisiko?”

Si tamu terdiam.

“Gini deh, Mas, biar kita mudah membayangkannya. Kayak bayi yang menangis saat dilahirkan, Mas. Bayi yang dilahirkan itu bisa jadi ketakutan setengah mati saat keluar dari rahim ibunya. Sebab pengalaman 9 bulan di dalam kandungan ibunya tidak memberi gambaran nyata apa yang akan dihadapi si bayi saat keluar. Jadi ya si bayi menangis karena nggak mengerti sedang mengalami apa. Manusia mati pun begitu, nggak mengerti mau menghadapi apa. Nah, kalau nggak mengerti ia akan merasakan ia bakalan…” kata Gus Mut.

“…takut, Gus,” potong si tamu.

“Takut, tak berdaya, tapi nggak bakal penasaran. Karena setelahnya ia sudah nggak sempat lagi bisa berpikir, yang ada bakalan cuma menghadapi pengalaman-pengalaman baru secara terus-menerus. Pengalaman-pengalaman yang tak pernah ditemuinya saat masih hidup,” kata Gus Mut.

“Oh, karena itulah manusia membutuhkan agama, membutuhkan percaya kepada Tuhan, semata-mata untuk menghadapi pengalaman kematian ya, Gus,” kata si tamu menyimpulkan.

“Betul. Untuk menghadapi hal gaib kayak kematian itu, manusia membutuhkan hal gaib lain yang harus bisa mengalihkan rasa takutnya. Karena memang ada yang lebih layak ditakutkan manusia ketimbang kematian itu sendiri. Ya Yang Maha Pencipta itu. Lalu benar-benar berusaha menyembah-Nya, mengikuti segala aturan-aturan-Nya, agar nanti tak merasa takut lagi kehidupannya hilang dan kematiannya pun jadi tenang. Yang dalam Islam kita kenal dengan istilah khusnul khotimah,” kata Gus Mut menutup pembicaraan malam itu.

Exit mobile version