Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ketika Mohammad Hatta Sukses Dibobol Hacker Konstitusi

Muhidin M. Dahlan oleh Muhidin M. Dahlan
18 Agustus 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Mohammad Hatta ternyata salah satu aktor dari berubahnya Pembukaan UUD yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Dari mana spermatozoa pertengkaran soal “politik Islam” yang belakangan santer lagi ini dimulai? Dari hari pertama saat bangsa Indonesia menjadi negara, yakni 18 Agustus 1945.

Lho, 17 Agustus sehari sebelumnya? Sebut saja itu “hari tirakatan”, hari renungan dengan tiang bendera bambu Anies Baswedan sehingga sahih statusmu menjadi warga negara.

Tirakatan, ‘kan, tanggal 16. Iya, itu tirakatan kebangsaan jelang peresmian “jembatan”. Sukarno bilang, kemerdekaan itu, political independence itu, politicke onafhankelijkheid itu adalah suatu jembatan emas. Nah, kamu bisa mengganti dengan nama infrastruktur apa saja frasa “jembatan emas” itu. Yang pasti, dari bangsa ke negara itu di antarai sebuah jembatan. Nama jembatan emas itu proklamasi.

Drama yang menjadi jantung tulisan ini dimulai sore di Hari Jembatan Proklamasi. Jika urusan jembatan berfokus pada Sukarno, drama ini berpusat pada Mohammad Hatta. Kisah yang menjadi drama itu terpacak di buku Memoir Hatta.

Alkisah, demikian memoar terbitan Tintamas (1979) di halaman 458-59 itu bercerita, sore itu Hatta menerima telepon. Boleh jadi, Hatta terkantuk-kantuk pada sore itu setelah sesiangan tidur-mati lantaran dari subuh hingga pagi naik sepenggalah mengurus “jembatan”. Telepon Whatsapp itu datang dari pembantu Admiral Maeda bernama Nishijama. Isi kabar: seorang opsir Angkatan Laut (Kaigun) ingin mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijama bersedia jadi penerjemah.

Betul, opsir yang mewakili Kaigun itu datang membisikkan kabar “penting” pada sore 17 Agustus: wakil-wakil dari Protestan dan Katolik yang dikuasai Angkatan Laut Jepang berkeberatan dengan kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Terjadi debat kecil. Hatta meyakinkan tamunya bahwa sila pertama itu sama sekali bukan diskriminasi terhadap kalangan minoritas. Apalagi, Panitia Sembilan yang merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu terdapat ahli hukum asal Minahasa beragama Kristen, Mr. A.A. Maramis. Sampai Pembukaan itu ditandatangani pada 22 Juni, tak ada kata keberatan sama sekali. Akur-akur saja. Hatta berpikir, Maramis bisa akur tanpa riak karena sila yang dikenal dengan “Tujuh Kata” dalam teks yang dikenal Piagam Jakarta itu berlaku untuk 90 persen rakyat Islam dan tak mengikat bagi agama lain.

Si opsir menerima penjelasan itu, namun tetap keberatan karena itu dicantumkan dalam pokok Undang-Undang Dasar. Jika tetap dipaksakan, kata si opsir pembawa kabar, mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia.

Setelah opsir menutup pintu halaman rumah Hatta di Jl. Syowa Dori (sekarang Jl. Diponegoro) itu, si empunya rumah diserang kegundahan tiada tara. Hatta sangat tercekat dengan ancaman bubarnya “Bhineka Tunggal Ika” dan segala mantera persatuan yang sudah diselesaikan BPUPKI dan PPKI selama ratusan hari dalam teks konstitusi lewat debat filosofis terbuka. Saking tercekatnya, Hatta sampai lupa menanyakan nama si opsir itu. Selain lupa mengorek dari mana sumber itu berasal, Hatta lalai pula memeriksa secara akurat bobot-bibit-bebet berita itu.

Tanpa mesti didahului tabayun atau pengecekan yang akurat atas informasi dari si anonimus, Hatta langsung menggelar lobi-lobi yang kelak mengubah dan meletakkan bibit perkelahian sepanjang zaman.

Pagi sebelum sidang Panitia Persiapan dimulai pada 18 Agustus, Hatta menjadi motor turbo lobi untuk menghapus “Tujuh Kata” itu. Pagi itu, seyogyanya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin Sukarno tinggal ketuk palu bahwa 18 Agustus konstitusi negara lahir dan kita semua bisa berlayar bersama Republik dengan kompas pelayaran yang jelas.

Lantaran bisikan si anonimus yang mengguncang Hatta semalaman itu, ia segera mendekati kampiun-kampiun podium dari pihak Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan. Tak ada perdebatan yang panas. Bahkan, lobi Hatta berakhir sukses tak lebih dari 15 menit.

Barangkali, singa-singa podium itu menerima secara cepat tanpa saringan lantaran kadung percaya kepada Hatta atas informasi yang dibawanya akurat. Maklum, Hatta dikenal sebagai benteng rasionalitas, ekonom didaktik, pribadi tenang tanpa riak yang pasti tak suka dengan kasak-kusuk dan desas-desus. Rak bukunya saja nyaris suci dari buku-buku roman yang dianggap melalaikan rasionalitas.

Iklan

Hari di tanggal 18 Agustus, revisi Pembukaan sukses. Bagian asas negara dari yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewjiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” direvisi secara kilat menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hari itu juga, konstitusi dari negara bernama Republik Indonesia lahir.

Semuanya legawa. Tapi, semua yang lahir dari kasak-kusuk menyimpan amis. Anggota BPUPKI hingga PPKI menggelar sidang terbuka dan berdebat mengeluarkan semua pengetahuan yang dipunyai untuk mendapatkan hasil paling maksimal.

Tapi, sumber dari si anonimous sukses membobol salah satu ikon besar peletak dasar konstitusi kita. Hatta yang dalam sidang-sidang panjang selalu menjadi rem bagi dua singa podium lain yang kelewat ultranasionalis, yakni Yamin dan Karno, dibobol pembisik justru di waktu-waktu yang sangat krusial. Si anonimus berhasil ngehack Hatta beberapa jam sebelum konstitusi disahkan.

Bau amis itu memang tak tampak di tahun-tahun awal karena semuanya disibukkan oleh perang revolusi yang melelahkan dan berdarah. Namun, tokoh-tokoh yang dilobi Hatta pada 18 Agustus itu menagih kembali “Tujuh Kata” yang diserobot dan dibuang oleh si pembisik awamnama dalam sebuah perdebatan akbar yang sangat melelahkan energi negara.

Debat konstituante yang paling alot untuk merevisi kembali konstitusi pada 1956-1957 di Bandung itu berakhir tragis dan memilukan bagi proses berdemokrasi yang disebut Hatta dengan “Demokrasi Kita”. Dekrit Presiden 5 Juli bukan hanya menyetop perdebatan, tapi juga membubarkan Dewan Konstituante yang dihasilkan oleh eksperimen berdemokrasi dalam pemilu 1955.

Mulai saat itu, pembelahan dan kanker ganas mulai merayapi dalam setiap sel nalar warga negara. Mereka yang dalam kognisinya muncul imajinasi “Syariat Islam” langsung dipojokkan sebagai pembikin onar, sementara di sisi lain yang menerima konstitusi yang disahkan 18 Agustus sebagai pemanggul utama Republik Indonesia. Kelompok dengan zirah macam-macam ini disponsori label besar dan agung: tentara.

Pertengkaran ini laten. Tak ada satu pun yang bisa mengurainya. Ratusan jurusan ketatagegaraan di kampus-kampus mungkin bisa mendapatkan nilai A+ di mata kuliah sejarah konstitusi, tapi pastilah kelenger ketika masuk dalam uraian kasak-kusuk beraroma amis sore hari 17 Agustus. Terutama mengurai siapa sesungguhnya si pembisik yang melumpuhkan Hatta itu sehingga di awal kelahiran negara kita sudah mewarisi spermatozoa pertengkaran ideologis yang tak terpermanai.

Jangan dikira pertengkaran itu sekadar twitwar atau saling sambar di kolom komentar medsos dan berita daring, namun melahirkan pembantaian massal, serangkaian penembakan dan pemenjaraan. Bahkan, pertengkaran itu membuka palagan perang saudara dalam drama pemberontakan.

Mas/mbak dan akhi/ukhti, sarapan bangkai pertengkaran apa lagi hari ini?

Terakhir diperbarui pada 17 Agustus 2018 oleh

Tags: 17 agustuskemerdekaanMemoirMohammad HattaPembukaan Undang-Undang DasarPembukaan UUDpolitical independencepoliticke onafhankelijkheidProklamasiProtestanSukarnoTintamas
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku.

Artikel Terkait

anggota karang taruna lebih baik daripada mahasiswa KKN saat 17 Agustus. MOJOK.CO
Ragam

Warga Desa Sebetulnya Miris dengan Mahasiswa KKN: Nggak Menghargai Waktu dan Kerja Asal-asalan, Cuma Merugikan

19 Agustus 2025
kupon doorprize nggak guna saat karnaval. MOJOK.CO
Catatan

Kesal dengan Karnaval 17 Agustus, Doorprize-nya “Beri Kesialan Seumur Hidup”

5 Agustus 2025
Mohammad Hatta : Mudur dari Kursi Wapres Bukan Karena Kalah
Video

Sebab-Sebab Mohammad Hatta Mundur dari Kursi Wapres, Bukan Karena Kalah

28 Juni 2025
Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah MOJOK.CO
Esai

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah

30 September 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.