Kesuraman The Batman dan Teman yang Tidak Pernah Lucu

Lewat pemerian "identitas" yang penuh teror, Reeves telah berhasil menjelaskan teori ortodoks bahwa Batman bisa jadi jahat, keji, atau manipulatif.

Kesuraman The Batman MOJOK.CO

Ilustrasi kesuraman The Batman. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COThe Batman, pada akhirnya, menjanjikan sensasi yang berbeda dari film Batman selama ini. Ia hadir tegak dengan identitasnya sendiri.

Seorang teman mengulas The Batman di Facebook-nya. Selama ini tulisannya dikenal selalu berpretensi lucu tapi kerap gagal secara konsisten. Ulasannya tadi juga tak kurang cringe: dia menyamakan Batman seperti satgas parpol, petugas SAR, dan apalah saya lupa lainnya. Ya Allah, saya membatin, kok bisa ada orang sedahsyat ini garingnya….

Tapi mari lupakan ulasan tersebut. Saya memahami kekecewaan dia dan orang lain yang menganggap durasi The Batman terlalu lama, alurnya kelewat lambat, atau tidak memenuhi syarat selayaknya film superhero yang penuh laga.

Batman, dalam semesta Matt Reeves, memang ditampilkan lewat kesuraman total dengan intensitas yang tak menggebu. Tapi, buat saya, imaji tentang bagaimana sosok Batman semestinya ditampilkan, baik sebagai superhero atau manusia biasa, serta seperti apa formula yang tepat untuk memvisualisasikannya, justru hadir lewat upaya Reeves tersebut.

Selain muram, Reeves juga mengolah Batman sebagai sosok pemarah yang cemas. Pikirannya acap bertautan dengan dendam masa silamnya saban dia berlaga. Dia seperti tak tahu mana yang harus dituntaskan. Kemarahannya yang personal atau utopianya tentang dunia yang bersih dari mala.

Batman versi Reeves adalah Bruce Wayne yang tak bisa bangkit dari bayang-bayang kematian orang tuanya. Dia marah dengan keadaan, bahkan juga ketus kepada Alfred, pelayan setianya. Satu-satunya penyalur emosi Bruce Wayne hanyalah ketika dia berubah jadi Batman dan menghajar para bromocorah.

Hal itu tampak ketika dia menghabisi rombongan gengster di terowongan subway yang gelap. Tetap menang meski dikeroyok, dia lantas menyebut dirinya sebagai “vengeance“. Dia kembali menegaskan hal itu di adegan lain lewat ucapan: “Fear is a tool. When that light hits the sky. It’s not just a call. It’s a warning.”

Lewat pemerian “identitas” yang penuh teror seperti itu, sesungguhnya Reeves telah berhasil menjelaskan teori ortodoks bahwa Batman bisa jadi jahat, keji, atau manipulatif justru saat menegakkan keadilan. Persis seperti vigilante. Dan karena dia dipahami sebagai sosok yang suka main hakim sendiri, maka kepolisian di Gotham pun antipati terhadapnya.

Robert Pattinson, saya kira, juga sukses melakoni Batman yang demikian. Sorot matanya yang kuyu dan suaranya yang parau seperti memperlihatkan orang yang kalah karena terlalu lama, mengutip salah satu ucapan Pram yang terkenal: “Terbakar amarah sendirian.”

Namun, terlalu kuatnya sisi emosional Batman di film ini menyebabkannya beberapa kali gagap membaca situasi. Apalagi dia juga tidak mengeksplorasi lebih jauh kecanggihannya dalam menggunakan teknologi. Senjatanya yang paling keren hanyalah kamera yang tertanam di lensa kontak. Batmobile-nya saja muscle car.

Saya sampai menduga, jangan-jangan Bruce Wayne adalah Dom Toretto yang menyamar….

Dosis kesuraman The Batman kian terasa lewat music scoring-nya. “Something in The Way” milik Nirvana, “Ave Maria” karya Franz Schubert, hingga nada-nada pemakaman gubahan komposer Michael Giacchino, jelas jauh dari aura keceriaan jingle orisinal Batman yang dirangkai Neal Hefti.

Pendekatan sinematik Reeves dalam menghadirkan lanskap Gotham City pun juga noir. Tidak seperti versi Tim Burton yang gothick, Christoper Nolan yang canggih, atau Zack Synder yang apokaliptik, Gotham City dalam versi Reeves adalah realitas alternatif dari kota metropolis yang gagal.

Langit yang selalu gelap, lampu-lampu yang kelewat temaram, hujan dan becek di mana-mana. Warna yang dominan pun hitam dan abu-abu. Semua kesuraman Gotham tambah sempurna ketika kejahatan juga menjalar dari geng kelas teri sampai parade birokrat lancung dan korup.

Tidak bisa tidak, buat saya, inilah Gotham terbaik dan paling atmosferik yang pernah dihadirkan dalam produk sinema. Kota yang dikerangkeng malapetaka memang semestinya dipertontonkan dengan cara sesuram-suramnya.

Hal lain yang menggugah dari The Batman adalah bagaimana Reeves merombak total sosok para supervillain-nya. The Riddler (Paul Dano), misalnya, diubah 180 derajat dari versi Jim Carey yang konyol dan komikal di Batman Forever.

Riddler, dalam The Batman, adalah sosok psikopatik penuh dendam kesumat yang sembunyi di balik topeng tempur musim dingin Angkatan Darat AS, parka hijau, sarung tangan, dan boots tebal.

Dia juga punya dua alat membunuh yang brutal: knee kicker streak (alat pembuka karpet yang terbuat dari besi dan berbentuk mirip barbel) dan sebuah lakban untuk menutup wajah korbannya.

Berbagai sumber menyebutkan, penampilan Riddler tersebut terinspirasi dari sosok pembunuh berantai di AS era 60-70an, Zodiac Killer, yang hingga kini tak pernah berhasil ditangkap.

Sementara dari cara Riddler “memainkan” teka-teki pembunuhannya, serta bagaimana teka-teki tersebut dihadirkan kepada penonton, Reeves nyaris pasti berutang inspirasi besar kepada Se7en. Kalau boleh jujur, The Batman memang didominasi cita rasa Se7en. Mulai dari sinematik kota yang kolaps, hujan yang tak selesai, kemuraman yang penuh, teka-teki yang cukup suspense, sampai musuh yang cenderung demonik.

Hanya, dan ini jadi satu poin penting bagi saya, sekalipun Riddler di The Batman cenderung keji, dia sama sekali tidak membuat takut. Tanpa atribut khasnya, dia malah tampak seperti seorang culun yang kalut. Reeves seharusnya masih bisa mengeksplorasi opsi lain untuk karakter Riddler.

Apa boleh bikin, interpretasi Reeves dalam menampilkan Riddler sebagai sosok sadis yang gemar ketawa sudah terlalu biasa dan sama sekali tidak mengesankan. Ditambah sangat jarangnya kutipan yang memorable, dia sepertinya akan mudah terlupakan. Maaf, lho, Paul Dano. Kamu tetap keren, kok, di There Will Be Blood.

Sementara Penguin (diperankan Colin Farrell yang dipermak total dengan riasan prostetik), lebih mirip seperti karakter mob di film gengster klasik: bertubuh gempal dan cerewet.

Jika identitas visual Oswald Coblepott (nama asli Penguin) biasanya memakai kacamata monokel, topi kerucut, dan menenteng payung, Penguin versi Reeves punya setelan fashion khas mafioso. Secara fisik, sulit untuk tidak membandingkannya dengan Al Capone.

Meski demikian, buat saya, justru Penguin yang paling mencuri perhatian di The Batman. Colin Farrel secara genial sukses membawakan karakter Penguin yang urakan, maruk, juga culas. Jika saja dia yang jadi tokoh antagonis utama dan porsi adegannya jauh diperbanyak, The Batman pastilah tambah memukau.

Sedangkan Catwoman (diperankan secara seduktif oleh Zoë Kravitz), adalah seorang pelayan bar jago kelahi dengan pekerjaan sampingan sebagai perampok. Sesekali dia tampil menggoda, tapi dibanding Michelle Pfeiffer dan Anne Hathaway, Catwoman versi Zoe lebih mirip seorang lesbian yang judes sekaligus lembut.

Pertanyaannya kini, apakah dengan memadukan berbagai elemen populer dalam The Batman, Reeves sedang “bermain aman”?

(Jangan lupakan voiceover mirip Rorschach yang mengingatkan penonton kepada Watchmen!)

Jawabannya: bisa iya, bisa tidak. Satu yang pasti: pendekatan noir Reeves dalam menghadirkan kesuraman total di The Batman sungguh, sungguh mengesankan. Sebuah tour de force nan epik. Sekalipun, ya, jujur saja, The Batman memang tidak cukup pas masuk kategori film superhero ala Hollywood. Banyak pengamat film menyebut genre The Batman adalah crime thriller dengan pendekatan noir dan personal. Saya sepakat 100 persen.

Saya kira, Reeves sepertinya memang berupaya menghadirkan Batman sebagai manusia tapi bukan Bruce Wayne. Lihat saja misi Batman di film itu.

Dia bukan menumpas alien demi menyelamatkan bumi. Kejahatan yang dihadapinya dengan duet bersama Gordon malah terhitung sepele: membongkar kongkalikong mafia dan birokrat yang melibatkan bos bernama Carmine Falcone (John Turturro), serta memecahkan teka-teki Riddler.

Ketika kelak kemudian semua masalah justru membuatnya rapuh dan kian traumatik, saya meyakini itu memang formula Reeves untuk menghadirkan tesis Batman yang personal.

The Batman, pada akhirnya, menjanjikan sensasi yang berbeda dari film Batman selama ini. Ia hadir tegak dengan identitasnya sendiri dan itu, saya kira, adalah usaha yang patut dapat tempat terhormat.

Dan untuk teman saya yang menyebut Batman versi sekarang sebagai satgas parpol atau petugas SAR, sesungguhnya kamu adalah orang yang merugi. Mana ada, sih, satgas parpol yang mengenakan jubah atau petugas SAR memakai topeng? Kalau penari striptis, sih, banyak. Atau jangan-jangan Batman memang begitu?

Lho, lho, jadi sesungguhnya Batman itu adalah Don Toretto yang menyamar jadi Bruce Wayne dan profesi sesungguhnya adalah penari striptis? Ya Allah, kenapa saya jadi ikutan garing begini???!!!

BACA JUGA Wonder Women, Anomali Film Superhero dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Moddie Alvianto W.

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version