Kesaksian ASN Muda Tentang Kelakuan Pejabat: Kerja Bercanda, Gajinya Serius

Sebuah angan dari ASN muda yang sebetulnya naif. Tolong... tolong kami.

Kesaksian ASN Muda Tentang Kelakuan Pejabat MOJOK.CO

Ilustrasi kesaksian ASN muda. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKesaksian ini tidak lebih dari sekadar luapan kekesalan saya sebagai seorang ASN muda. Usaha saya mencari role model, contoh pemimpin yang baik, tak kunjung berhasil. Ujungnya, saya kesal sendiri.

Saya mencoba berkelana dari status sebagai ASN Pemda menjadi ASN Pusat. Di antara maksud “hijrah” ini, saya sendiri ingin mencari pengalaman baru dan mendapatkan lingkungan kerja yang lebih baik.

Namun, apa yang saya peroleh dan rasakan di Pusat ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang saya jalani di Pemda. Kelakuan pejabat pimpinan tinggi itu ternyata sama saja. Kerja bercanda, eh gajinya serius.

Berikut kesaksian saya.

Kesaksian ASN muda di Pemda: Kerja bercanda, gaji serius bagian 1 

Sebagai ASN muda, saya ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas (perdin) ke ibu kota provinsi. Saat menyiapkan berkas, seorang pejabat Eselon II menghampiri, kemudian berpesan:

“Isa, titip SPPD, ya. Maklum, anak-anak masih sekolah.”

Tanpa mendengar jawaban saya, beliau ngeloyor begitu saja. Oya, SPPD itu Surat Perintah Perjalanan Dinas. Yah, ujungnya, ada semacam “uang saku” dari surat tersebut. Kamu pasti sudah paham, lah.

Terus terang, saya tidak rela. Tapi jujur, sebagai ASN muda, saya juga tidak mau ambil risiko.

Kalau saya tidak memenuhi permintaannya, risiko yang saya terima adalah kesempatan perdin itu akan menjadi yang pertama dan terakhir selama beliau menjabat di posisi itu. Persis seperti kesaksian beberapa orang sebelum saya.

Realitis saja, perdin adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh semua pegawai. Karena selain gaji dan tunjangan, tak ada lagi sumber pemasukan lain kecuali perjalanan dinas. Kalau mau lebih jahat ya korupsi saja.

Maka tentu saja, perdin adalah pilihan tunggal bagi seorang pegawai yang tak mau korupsi. Sayangnya, perdin itu didapat berdasarkan “kebijakan” pimpinan. Bukan karena si ASN dianggap cakap untuk melakukan tugas inti dan substansif dari yang namanya perdin.

Pegawai terpilih untuk melakukan perdin adalah yang “cakap” dalam mengondisikan SPPD pimpinan, punya kemampuan negosiasi lobi biaya hotel dan transportasi untuk di SPJ-kan.

Akhirnya, tugas untuk mengondisikan SPPD sang pimpinan itu dengan berat hati saya penuhi. Begitu nikmatnya menjadi pejabat, tinggal ongkang-ongkang kaki duit  masuk. Seperti pengusaha saja, yang usahanya sudah sistematis.

Kesaksian ASN di Pusat: Kerja bercanda, gajinya serius part 2

Setelah bekerja selama tujuh tahun di daerah, saya memutuskan untuk mengadu nasib pindah ke instansi pusat.

Saya berharap akhirnya bisa mendapatkan banyak role model. Yah, paling tidak, di masa depan, saya menjadi ASN yang bisa menjaga integritas. Ah, saya kira inilah tempatnya bekerja dengan profesional di mana gajinya serius, kerjaannya juga.

Tapi tak dinyana. Selang beberapa bulan menjadi ASN pusat, hal serupa juga saya alami dari seorang pimpinan setara Eselon II.

Begini ceritanya.

Pimpinan itu tiba-tiba menelepon saya untuk minta didampingi dalam rangka kunjungan kerja ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di sebuah daerah.

“Isa, kamu siap-siap ya. Kita berangkat. Koordinasi sama dosen-dosen di sana. Eh, saya mau pulang kampung sebenarnya. Jadi, siapin semua berkas ya.”

Kampung si pejabat ini berjarak satu jam perjalanan dari tujuan kami.

Mulanya saya mencoba menebak. Saya menebak kalau tujuan beliau pasti untuk kepentingan pribadi. Yah, ini tebakan yang paling mudah saya lakukan sepanjang hidup. Tebakan saya memang tepat. Tujuan beliau memang ingin pulang kampung, tapi tetap dapat cuan.

Seperti biasa, saya tak kuasa menolak. Yah, setidaknya saya sadar kalau usaha mencari role model dengan pindah tempat kerja itu naif.

Sesampainya di daerah tujuan dan selesai acara, beliau masih sempat berkelakar. “Kamu pasti tahu kan sebenarnya tujuan kegiatan ini?”

Saya cuma mengangguk saja. Beliau seperti sedang berusaha mendapatkan legitimasi dari saya. Biar saya maklum gitu dan dia nggak merasa terlalu berdosa.

“Toh yang penting duitnya gak haram kan?”

Beliau bilang gitu sambil tertawa lepas. Saya cuma tersenyum saja.

Sekembali ke kantor, saya yang baru beberapa bulan menjadi ASN di sini kemudian bertanya kepada teman-teman. Dari kesaksian mereka, si pejabat memang suka begitu.

Kesaksian yang naif

Kisah pertama menggambarkan kondisi karakter pejabat di daerah yang cukup parah. Sekali lagi, kelakuan pejabat yang suka titip SPPD itu sejatinya bukan hanya segelintir. Namun, banyak yang begitu. Tentu dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan “kebijakan” setelah uang hasil SPPD itu terkumpul akan dibagi rata untuk semua pegawai, sampai dengan jujur mengungkapkan alasan kebutuhan pribadi.

Kisah kedua semakin membuat saya yakin bahwa persepsi terhadap pejabat yang terbentuk di masyarakat itu tidak terjadi begitu saja. Yah, “ditraktir” negara untuk pulang kampung memang enak.

Saya kemudian merenung. Katanya, lembaga penegak hukum sekarang “lebih bagus”, tapi penyelewengan kewenangan atas jabatan sangat eksis. Para oknum ini tetap bisa melakukan apa saja semaunya. Renungan ASN yang saya yakin nggak ada gunanya.

Jangan-jangan, karakter hobi menyelipkan kepentingan pribadi itu adalah warisan dari generasi sebelumnya. Lantas, akankah mereka itu bermaksud mewarisi karakter itu lagi kepada saya dan generasi penerus saat ini?

Memang, kalau mau dinalar, ini tergantung saya dan teman-teman ASN satu generasi. Namun, masalahnya, risiko yang akan kami tanggung nggak kalah besar. Kalau sudah gini, kesaksian saya nggak akan ada gunanya. Hanya jadi gerundelan.

Bisa saja, saat berada di posisi seperti saya, mereka juga menyaksikan kelakuan buruk para pejabat di masa lalu. Mereka kemudian merenungi kelakuan pimpinannya sebagaimana saya merenungi kelakuan mereka saat ini. Bisa saja mereka dulu juga berkata dalam hati “Tapi ini kan uang rakyat? Kok seenaknya digunakan untuk kepentingan pribadi?”

Tapi, ketika roda itu berputar, ternyata apa yang mereka perbuat kini tak jauh berbeda dengan pendahulunya. Maka, pertanyaannya kemudian adalah apakah saya dan generasi penerus juga akan mewarisi perilaku mereka saat tiba masanya kami yang berada di posisi mereka kini?

Sidang pembaca, sebenarnya bagi kami, ASN muda, kesaksian ini cerita basi. Baik internal maupun masyarakat sudah tidak asing. Cuma, terkadang, kami butuh sebuah “tanda” untuk menegaskan bahwa sebetulnya kami sedang mengirim SOS. Kami sedang minta tolong.

Ada sebuah masalah yang mengakar sangat dalam. Masalah yang sulit sekali dicarikan solusinya selain memangkas satu generasi. Sulit, banget, kan. Memang begitu masalah pelik yang sedang dihadapi ASN sebuah negara di planet Uranus sisi barat. Kasihan ya mereka….

BACA JUGA ASN yang Rajin Itu Bukan Prestasi, tapi Bunuh Diri dan kesaksian menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Fauzan Hidayat

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version