Pertama-tama, saya ucapkan selamat buat semua mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, khususon yang diterima di kampus prestis. Kamu membanggakan buat orangtua, bulek, pakdhe, mbahmu, dan seantero keluarga besar yang ketemu cuman pas lebaran, Dik. Juga saya ucapkan selamat pada orangtua yang anaknya diterima di Fakultas Kedokteran, dan turut berduka cita kalau biayanya mahal selangit.
Pola pikir orang Indonesia dimana-mana begitu toh? Bangganya luar biasa kalau diterima di Fakultas Kedokteran. Mahal luar biasa gak apa-apa, bisa direwangi utang-utang. Kampus akreditasi masih ga jelas ya dimasuki saja, wong toh labelnya nanti tetap sama: Mahasiswa Kedokteran a.k.a. Calon Dokter.
Banyak lho di antara kawan-kawan calon dokter ini dipaksa masuk oleh orangtuanya. Aslinya, mereka punya mimpi lain, tapi toh yang mbayari kuliahnya cuma pengen mereka jadi dokter. Ya mau bagaimana lagi, kuliah dijalani, tapi tidak jarang diantara calon dokter ini kehilangan pandangan di tengah jalan. Dokter, yang luhurnya luar biasa itu, bagi mereka sama saja seperti pedagang, mereka tidak bisa “memanusiakan manusia”. Miris ya? Tapi tidak sedikit juga yang justru karena dipaksa, malah bisa menemukan jatidirinya sebagai manusia yang benar-benar manusia. Biasanya sih, mereka kenalan sama Che Guevara yang dokter kulit kelamin itu, atau minimal genk Boedi Oetomo macam dr. Soetomo cs.
Nah, sebagai seorang calon dokter yang ndilalah sudah pernah mengalami pehit-getirnya berkuliah di fakultas kedokteran, ijinkan saya buat sekadar menitipkan kesah. Ga banyak kok, tapi Insha Alloh cukup untuk mewakili perasaan para calon dokter di seluruh Indonesia.
Buat Adik Juniorku di Kedokteran
Jangan lama-lama bulan madu dengan diterimamu sebagai mahasiswa kedokteran, Dik. Rumangsamu enak? Lihatlah kalender kuliahmu, bukan soal padatnya kuliah, tapi panjangnya itu lho. Nanti Dik, pas kamu semua lulus sarjana, kudu jadi dokter muda lagi, dua tahun, jadi keset di Rumah Sakit. Iya, itu lho keset yang dipake bersihin kaki pas mau masuk rumah, lha disuruh “kerja” di RS kadang sampai 36 jam non stop ga dibayar kok! Satu lagi, kamu semua kudu sabar sambil ngelus dada sambil mbrebes mili lihat teman-temanmu pakai baju rapi kerja, lha kamu, masih pake baju putih sedengkul (yang artinya masih dokter muda alias masih sekolah), terus pas bokek di akhir bulan SMS bapak ibu minta sangu. Yang sabar ya.
Nah, setelah kamu dokter muda nanti, masih kudu internship setahun. Kalau jauhnya ga masalah, kalau di pelosok malah mulia, tapi yang ga nguati bantuan hidupnya itu yang nggemesi. Kata kakak-kakak kita yang baru beres internship-nya, bantuan hidup, yang ditanggung Pemerintah Pusat via Kemenkeu, kadang dirapel tiga bulan baru keluar, terus kamu belum boleh buka praktek mandiri. Terus makan darimana? Transferan Bapak Ibu? Gengsi no, kan sudah disumpah dokter. Kuliah di FK ga cuma buat aku dan kamu jadi pinter, tapi juga jadi manusia penyabar.
Buat Bapak Ibunya Mahasiswa Baru Kedokteran
Jadi begini, Pak Bu, saya sejujurnya agak bingung mulai darimana. Karena tentu beda saat saya harus bercerita pada orang tua, soalnya mulai dari yang pengusaha, dokter, sampai tukang becak pun anaknya ada yang kuliah di Kedokteran. Tapi saya mencoba memahami lewat Bapak Ibu saya sekarang, yang keduanya PNS di Kabupaten, menyekolahkan saya dan adik saya yang ndilalah juga maba di Kedokteran Gigi (jadi sebenarnya saya buat tulisan ini khususon hadrotin mereka). Tiap saya pulang, saya selalu mengingatkan pada Bapak Ibu saya, supaya sabar menunggu saya lulus, jangan segera dicarikan jodoh. Nanti susah. Masih mau dokter muda terus internship biaya bantuan hidupnya sering ga jelas. Kasihan istri nantinya.
Bapak Ibu adek maba sekalian, silakan berbulan madu sebab anaknya diterima. Dinikmati saja, mumpung belum masuk kuliah. Nanti, pas masuk kuliah apalagi dekat-dekat ujian, Bapak Ibu musti sabar. Anak Bapak Ibu nanti mulai seperti saya: gampang baper tambah pengen curhat mulu. Apalagi kalau masuk kedokteran karena Bapak Ibu yang suruh, wah, makin dahsyat perasaanya. Biasanya, makin dekat keluarnya indeks prestasi semester itu, galaunya si mahasiswa makin parah. Untung kalau nilainya bagus, kalau jelek, ya siap-siap pindah jurusan. Bukan, bukan karena kurang pintar, cuma karena kurang minat. Mereka sedang berproses, mengganti mimpi-mimpinya yang lama dipupuk dengan realita (demi menyenangkan bapak ibu nih). Sudah, itu saja.
Buat Indonesia Raya
Kalau di bagian ini, saya benar-benar mau berkesah. Saya nulis ini agak merinding juga, sambil membayangkan nasib saya nanti di hadapan masyarakat. Gimana ga merinding, bayangkan, setelah sekolah empat plus dua tahun ditambah magang, masih saja jadi samsak tinju; kalau ada kejadian wagu di bidang kesehatan, fokus kesalahan pasti ditimpakan pada dokter. Padahal, belum tentu demikian. Mulai dari bagian gudang farmasi sampai di bangsal perawatan, bisa saja ikut menanggung tanggung jawab juga. Tapi ya itu, semua salah secara moral selalu ditimpakan ke dokter.
Dokter selalu dijadikan bulan-bulanan, diserapahi, dihinakan, bahkan tak jarang dikata-katai dengan bahasa binatang. Dikiranya kami ini dokter Dolittle apa?
Belum lama juga, borok dunia kedokteran dibuka dua media massa paling wow se-Indonesia, Kompas dan Tempo. Ya makin jadi saja bully-an Indonesia Raya pada para dokter, bukan pelaku, semua dokter mbuh ikut terlibat atau tidak. Saya mengerti benar, ada saja dokter yang kurang benar kelakuannya, tapi toh profesi mana yang sempurna semuanya?
Akhirul kalam, Terpujilah wahai kalian para dokter, dan terpujilah juga kalian yang tak melulu menyalahkan dokter.