Kereta Cepat Jakarta Bandung: Ketika Jokowi dan Indonesia (Hampir) Tak Punya Daya Tawar

Kereta Cepat Jakarta Bandung: Ketika Jokowi dan Indonesia (Hampir) Tak Punya Daya Tawar MOJOK.CO

Ilustrasi Kereta Cepat Jakarta Bandung. (Mojok.co/Ega Fansuri)

 

MOJOK.COIndonesia hampir tak punya daya tawar di depan Cina yang digdaya untuk urusan proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Lalu, sebaiknya bagaimana? 

Tahun 2002, satu tahun setelah Cina secara resmi bergabung ke WTO (World Trade Organisation), Kementerian Kereta Api Cina mulai menginisiasi proyek kereta cepat.  Namun, sayang sekali, ternyata kereta cepat baru sebatas mimpi bagi Cina sendiri. Teknologi dalam negeri mereka ternyata belum sampai ke sana. Walhasil, proyek tersebut gagal total.  

Kemudian pada 2004, Kementerian Kereta Api Cina menghidupkan kembali mimpi tersebut tapi dengan cara lain. Dua BUMN Cina yang berurusan dengan produksi kereta api didorong oleh Kementerian Perkeretaapian untuk melakukan transfer teknologi dengan menggandeng mitra dari luar negeri. Dua BUMN tersebut adalah China South Locomotive & Rolling Stock Corp (CSR) and China North Locomotive & Rolling Stock Corp (CNR).

Strategi jitu Cina

Cina sendiri berhasil menyusun strategi yang jitu dalam bentuk model perjanjian. Jadi, di awal kerja sama, mitra dari luar akan menjual teknologi kereta cepat kepada Cina. Khususnya menjual teknologi dari unit pertama. 

Namun, seiring berjalannya proyek, perusahaan-perusahaan mitra tersebut harus mendidik dan melatih para pekerja Cina di dua BUMN tadi untuk membangun kereta cepat sendiri. Setelah itu, secara teknis, pembuatan kereta cepat Cina harus menggunakan sekurang-kurangnya 70 persen kandungan lokal. Inilah awal mula kebangkitan proyek kereta cepat Cina, yang ujungnya “menjepit” proyek kereta cepat Jakarta Bandung. 

Dengan pasar domestik Cina yang besar dan menjanjikan, 4 perusahaan teknologi kereta api kelas dunia tertarik untuk mengikat perjanjian kerja sama dengan China.  Mereka adalah Alstom dari Perancis, Bombardier dari Kanada, Siemens dari Jerman, dan Kawasaki Industries dari Jepang, di mana kemudian Kawasaki dan Alstom memainkan peran yang cukup besar. 

Hal tersebut sangat bisa dipahami mengingat Kawasaki Industries sudah lebih dulu 40 tahun mengembangkan kereta cepat di Jepang dibanding Cina dengan lahirnya kereta Shinkansen yang legendaris itu (secara harfiah artinya bullet train atau ‘kereta api berbentuk peluru’) pada tahun 1960an.

Lahirnya China Railway

Tahun 2015, 2 BUMN tersebut tersebut kemudian digabung menjadi satu perusahaan dengan nama China Railway Rolling Stock Corp (China Railway). Proyek menggabungkan 2 BUMN ini membuat China Railway sebagai perusahaan penghasil kereta cepat tercepat di dunia dengan kapasitas produksi 200 kereta cepat per tahun. 

China Railway menjadi pioner yang menjadikan Cina sebagai negara dengan jaringan kereta cepat terpanjang sejagat raya dan berhasil memenangkan proyek-proyek pengadaan kereta cepat di banyak lokasi. Misalnya proyek kereta di dataran Eropa seperti dari Spanyol ke Turki sampai kereta cepat dari Madinah ke Mekah. Dan paling aktual, proyek kereta cepat Jakarta Bandung. 

China Railway bahkan berani mengklaim bahwa kini kereta cepat buatan mereka bukan lagi jiplakan dari teknologi para guru dari 4 negara tadi  tapi benar-benar teknologi hasil anak negeri (indigenous technology). Padahal sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. 

China Railway sendiri masih bergantung kepada pasokan dari 4 perusahaan besar tadi yang menjadi mitra China Railway sedari awal. Terutama untuk teknologi dan bagian-bagian tertentu. Empat perusahaan global itu sendiri enggan menyanggah sesumbar China Railway dan ini menjadi sebuah keuntungan.

Kekuatan besar Cina

Menurut Paul Blustein dalam buku terbarunya, Schism. China, America, and The Fracturing of The Global Trading System (2022), mereka memilih bungkam dan enggan berseteru dengan pemerintahan Cina mengingat besarnya potensi pasar domestik negeri Tirai Bambu yang telah menyumbangkan keuntungan cukup besar kepada mereka.

Artinya, keempat perusahaan tersebut masih menikmati 2 aspek krusial. Yang saya maksud adalah pengadaan sebagian teknologi dan bagian-bagian penting lainya untuk setiap produksi kereta cepat. Padahal, hasil akhirnya sudah bukan lagi membawa merek dagang 4 negara itu. Kondisi yang sama juga “menjepit” Indonesia di proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Daya tawar negara kita terlalu lemah di hadapan Tirai Bambu.

Sebetulnya ada satu faktor penting yang membuat daya tawar Cina sangat tinggi. Faktor yang saya maksud adalah pendanaan proyek. Jadi, baik proyek kereta cepat domestik dan global nyaris tidak bergantung kepada penyandang dana dari luar. Hampir semuanya berasal dari kekuatan sendiri.

Jokowi (hampir) tak punya daya tawar 

Nah, persis di sini letak persoalannya bagi Jokowi dan Indonesia. Pemerintah nyaris tidak punya daya tawar saat bernegosiasi dengan pemerintah Cina dan perusahaan China Railway. Bahkan, pembiayaan kereta cepat Jakarta Bandung di luar porsi Cina malah berasal dari pinjaman. Ironisnya, utang tersebut berasal dari perbankan negara adidaya itu (CBD).

Dengan konstelasi pembiayaan yang demikian, akhirnya proyek kereta cepat Jakarta Bandung tidak berhasil menjadi embrio transfer teknologi kereta cepat. Produsen kereta nasional, sebut saja misalnya BUMN Inka, tidak dilibatkan. Padahal, Inka bisa menjadi perusahaan yang akan menjalankan fungsi alih teknologi kereta cepat Jakarta Bandung.  

Tidak ada puluhan atau ratusan karyawan atau insinyur di BUMN Inka yang belajar ke kantor pusat China Railway tentang cara membuat kereta cepat. Dengan lain perkataan, produsen kereta nasional tidak menuai prospek cerah di masa depan. Padahal, Indonesia bisa memulai dan mengawalinya dengan proyek kereta cepat Jakarta Bandung. 

Masih ada harapan (tapi kalau mau bergerak cepat)

Lantas, apakah Indonesia benar-benar tidak memiliki tenaga dan daya tawar untuk negosiasi ulang? Menurut saya sangat bisa asal lebih cepat bergerak. 

Pertama, pasar domestik Indonesia adalah modal negosiasi penting demi kereta cepat Jakarta Bandung. Indonesia adalah pasar potensial kereta cepat di tahun-tahun mendatang mengingat teknologi kereta cepat masih benar-benar baru di sini. Kedua,  kapasitas dan kemampuan diplomasi para pemimpin nasional. 

Mahathir Muhammad berhasil renegosiasi jalur kereta cepat Kuala Lumpur Singapore  atau East Coast Rail Link (salah satu proyek BRI di Malaysia). Cina akhirnya setuju untuk mengurangi biaya konstruksi dan segala biaya penyelesaiannya, dari $15,81 miliar turun menjadi $10,7 miliar. Malaysia memulai kembali proyek tersebut pada Juli 2019. 

Rasanya memang agak kurang sepadan jika membandingkan Mahathir dengan Jokowi yang belum terlalu teruji dalam urusan diplomasi unilateral. Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Mahathir dengan sangat piawai membingkai narasinya dalam konteks sejarah yang jauh lebih luas dan komparatif. 

“Cina memahami betul bahwa Cina pernah berurusan dengan perjanjian yang tidak setara di masa lalu yang dipaksakan kepada Cina oleh kekuatan Barat (maksudnya pasca perang Candu dan Pemberontakan Beiping yang memojokan Dinasti Qing-pen). Jadi, Cina seharusnya bersimpati kepada kami. Mereka tahu kami tidak mampu membayar,” kata Mahathir.

Renegosiasi dengan Beijing masih mungkin terjadi

Sebagaimana dibahas secara apik oleh David Shambaugh dalam buku terbarunya,  Where Great Powers Meet China and America in Southeast Asia (2021), narasi yang digaungkan Mahathir, menurut sebagian besar analis, berhasil beresonansi di Beijing, yang membuat posisi Cina atas proyek-proyek Belt and Road Initiative di Malaysia menjadi agak fleksibel.  

Hasilnya, Xi Jinping menerima pesan dari narasi Mahathir dengan sangat baik. Walaupun, baik secara prinsipil maupun secara teknis, proyek BRI di Malaysia tak berbeda dengan proyek kereta cepat di Indonesia. Khususnya proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Mulai dari pembiayaan, teknologi, barang modal, dan sebagian tenaga kerjanya berasal dari Cina. 

Artinya, secara geoekonomi dan geopolitik, Cina berpeluang untuk tidak peduli dengan usulan renegosiasi dari Mahathir. Tapi risikonya, Cina akan kehilangan Malaysia dalam proyek-proyek BRI lainya jika menolak renegosiasi. Artinya, Mahathir sukses menghentikan beberapa proyek BRI. Aksi yang berani mengingat beberapa proyek sudah dimulai sejak era Najib Razak. 

Dan Jokowi tidak mesti menjadi presiden 10 tahun lagi untuk bisa menjadi seperti Mahathir. Pemikiran tersebut akan membuat Jokowi melanggar konstitusi alias harus berkuasa lebih dari dua periode. 

Belajar dari pengalaman Malaysia

Pertama-tama, Pak Jokowi wajib menjadikan pengalaman Mahathir sebagai referensi untuk dibawa bernegosiasi ulang dengan Cina. Pak Presiden juga wajib menekankan pentingnya transfer teknologi kepada BUMN-BUMN yang terkait dengan produksi dan pengelolaan kereta cepat Jakarta Bandung. Kita tidak boleh menelan mentah-mentah skema awal yang nyatanya semakin memberatkan Indonesia di hari ini dan di masa-masa mendatang. 

Saya cukup yakin, dengan dukungan penuh dari Luhut Binsar Pandjaitan (yang memang dekat dengan petinggi-petinggi Cina) dan Prabowo Subianto sebagai Menhan, beserta diplomat-diplomat ulung di Kementerian Luar Negeri, Jokowi akan mendapatkan ruang yang cukup untuk mengubah permainan, baik keringanan biaya proyek maupun soal aksentuasi transfer teknologi. 

Sehingga, pada ujungnya, proyek kereta cepat Jakarta Bandung tidak saja menghasilkan kereta tercepat pertama di Indonesia, tapi juga menjadi proyek yang juga dikalkulasi secara cermat dan presisi, baik dalam konteks bisnis-komersial, ekonomi politik, sustainability, pertahanan keamanan, dan geoekonomi-geopolitik, demi kepentingan bangsa di masa mendatang. Semoga

BACA JUGA Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Ronny P. Sasmita

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version