Tribun vs Remotivi: Kita Berdiri di Mana?

laut

MOJOKTidak ada yang salah atas kritik Remotivi kepada Tribunnews (selanjutnya cukup ditulis: Tribun). Jelas dan jernih. Tapi, rasanya, ada yang kurang dalam perbincangan ini.

Analisis yang dipaparkan oleh peneliti Remotivi kepada Tribun seakan bisa menunjukkan ada jamur di kulit kita. Tapi tidak sampai memaparkan kenapa kulit kita jamuran?

Media massa, termasuk media digital, tumbuh dalam banyak tegangan. Mereka hidup dalam sebuah ekosistem digital yang serbacepat, kompetisi yang keras, usaha memindai hasrat terpendam netizen, dll., dll.

Itu semua sebetulnya bukan barang baru dalam wacana media online. Sudah terlalu sering dibicarakan dan didiskusikan. Tapi jamaknya persoalan pelik, makin sering dibicarakan bukan berarti makin tuntas.

Semua pemain media online tahu dan sangat sadar bahwa mereka berdiri di atas dua kaki: kaki “moral” jurnalistik dan kaki bisnis. Dua itu hal lama, bukan? Sejak sebelum media online tumbuh, media massa juga hidup dalam tegangan seperti itu. Bedanya, kalau dulu, nilai ekonomi sebuah media diukur dengan oplah, kini diukur dengan sekian alat ukur: pageviews, users, rangking Alexa, dll.

Saya kira, kita tak perlu membohongi diri sendiri, kalau semua media online membutuhkan hal di atas. Tanpa itu, iklan tak masuk. Tanpa itu, pengiklan tak tertarik. Tanpa itu, investor bermuka masam.

Tuduhan “tuyul” bagi Tribun memang tidak enak dirasakan. Tapi, siapa sebetulnya media online yang tidak mirip tuyul? Bukankah kata kunci, SEO, dan Google trend, itu semacam kembang setaman, kemenyan, dan lilin untuk menghidupi tuyul yang bernama “pengunjung”? Apakah jika Tribun dianggap tuyulnya Kompas, kita juga bisa menyebut Tempo.co sebagai tuyulnya Tempo, Radar sebagai tuyulnya Jawapos, dan lain sebagainya?

Seakan ada dualisme moralitas jurnalistik: ada bagian yang dianggap dan diperkenankan menimba uang haram dan ada yang bagian halal serta suci. Halal dan haram hanya soal bagi-bagi tugas semata.

Setiap media online membutuhkan uang. Mereka butuh menggaji karyawan, membesarkan perusahaan, dan menaikkan valuasi media itu. Setiap investor membutuhkan medianya tumbuh. Kadang memang tak peduli dengan caranya.

Kalau tema soal terorisme yang digoreng oleh Tribun kita pindahkan ke tema lain, tampaknya akan banyak media yang memang mirip tuyul. Ada yang sengaja menggoreng isu ekonomi, agama, politik, dan lain-lain. Kecenderungan melebarkan tafsir, kesan sok politis, dan berlebihan dalam hal intelektual untuk suatu tema, pun niatnya juga mirip. Supaya ramai. Supaya banyak yang meng-klik tautan yang disebar. Supaya banyak yang berkunjung.

Maka, kita disuguhi pesta-pora dan perayaan hal yang menjijikkan di berbagai media. Kasus Habib Rizieq-Firza Husein dan kasus perceraian Ahok, misalnya. Keduanya punya derajat yang sama.  Media yang mengunggah berulang kasus Rizieq-Firza sama sampahnya dengan yang mengunggah berkali-kali kasus perceraian Ahok. Kalau bukan atas nama klik, terus atas nama apa? Apa pentingnya mengunggah hal begituan?

Itu sama saja gegeran di media sosial tentang Jokowi yang dibilang anak Cina plus PKI, dan yang bilang anak Prabowo adalah gay. Keduanya sama-sama sinting dan keji. Ini bukan soal Cina, PKI, atau gay. Tapi, apa urusannya hal itu dengan Jokowi dan Prabowo? Apa urusannya dengan dunia politik kita.

Balik lagi ke soal kritik Remotivi kepada Tribun. Kita butuh lembaga seperti Remotivi yang terus bersikap kritis pada berbagai media di Indonesia. Memang harus ada yang terus mengingatkan kita semua bahwa banyak media online yang melampaui batas ketika membuat konten. Media, juga kita semua, butuh diingatkan dan dikritik. Karena kalau tidak, semua bisa kebablasan.

Namun, di atas semua itu, perlu kesadaran dari semua pihak untuk terus mengevaluasi diri. Bukan hanya Tribun. Jangan hanya karena hal yang keliru dilakukan oleh banyak media, lalu berubah menjadi lazim, bahkan benar.

Perlu ada dinamika dan penyegaran kesadaran atas semua pihak. Baik investor, pekerja media, maupun pengiklan, harus terus-menerus mau menerima kritikan meskipun memang terasa tidak adil karena berangkat dari pemikiran, “Kalau yang lain boleh, kenapa kami tidak?”

Kita butuh ekosistem media yang lebih sehat, apalagi di tengah arus kebencian dan logika serampangan yang membombardir setiap saat di dunia medsos. Mungkin harus ada kesadaran bersama para media online yang berlaku sebaliknya: tidak ikut menyiram bensin dalam unggun kebencian yang makin marak.

Jika tidak, kritik Remotivi atas Tribun, hanya berumur sesaat. Selebihnya, kita tetap bergerak atas apa yang sedang ramai dibicarakan, ramai dipertengkarkan, ramai diperdebatkan. Bukan untuk memberi kejernihan dan perspektif kritis, melainkan supaya netizen menyerbu laman media kita.

Bagi awak media yang merasa lebih suci dari Tribun, mungkin kalian perlu membeli cermin. Kalau perlu dua: satu cermin di muka, satu di belakang untuk mengaca tengkuk kalian. Karena, sering kali, banyak hal buruk disembunyikan di tengkuk.

Exit mobile version