MOJOK.CO – Ini adalah empat kisah tentang mereka yang peduli tanah. Sebenarnya, sungguh, setiap orang punya batasnya masing-masing.
Seorang kawan saya, penyuka kopi yang kemudian peduli pada petani kopi, baru-baru ini datang mengeluh pada saya. Akhir-akhir ini, hidupnya terasa capek.
Belasan tahun lalu, atas kesukaannya pada kopi, dia berburu berbagai jenis kopi di banyak tempat di Indonesia. Dari situ, dia belajar banyak soal kopi dan petani kopi. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk mendampingi beberapa petani kopi di beberapa wilayah, mulai dari pendampingan cara petik, model pengeringan, sampai cara menjual. Beberapa petani yang didampinginya berhasil.
Karena makin dikenal sebagai orang yang tahu kopi dan dapat mendampingi dengan baik, tiba-tiba ada banyak petani kopi yang mendatanginya, minta didampingi. Bukan sekadar minta didampingi, tapi mereka juga menagih agar dijualkan dengan harga mahal. Di situlah sang kawan mengalami persoalan. Hidupnya jadi nggak asyik.
“Apa urusan saya dengan semua petani kopi itu?” ujarnya dengan agak kesal. “Aku ini cuma suka kopi, peduli dengan petani kopi, punya sedikit waktu dan energi untuk mendampingi. Lha, kok, sekarang orang-orang pada menuntut. Pensiun saja aku.”
Teman saya yang lain, seorang penyanyi, membantu beberapa petani padi di kampungnya untuk mendapatkan harga beras yang baik. Dia mengorganisir petani di kampungnya, dibuatkan pengepakan yang bagus, dipasarkan dengan baik, lalu diserap pasar dengan harga tinggi. Tidak berapa lama, dia didatangi oleh aktivis petani. Dia diminta untuk ‘mengorganikkan’ lahan-lahan pertanian di petani yang telah dibantu menjualkan hasil panen mereka.
Tapi, si penyanyi ini otaknya jalan. Dia bilang, “Bentar, bentar, aku ini punya lahan sendiri. Khusus lahanku, ya, pakai sistem organik. Lha, kalau petani lain, ya, aku nggak bisa maksa. Kalau mengajak, iya. Tapi, kalau maksa-maksa dan ngotot, aku nggak mau. Lha, memang, aku ini siapa? Aku juga tahu apa risiko menolak ajakanmu, pasti kamu anggap aku kontrev kan? Ha, luweh! Aku nggak mau hidupku ruwet. Aku hanya sanggup menjualkan beras bagi petani-petani di sekitarku. Mau organik kek, mau nggak kek, asal masih bisa kulakukan dan aku gembira, nggak ada masalah. Lha kalau kampung lain, ya, masa suruh aku yang ngurus juga? Memangnya aku LSM petani atau pemerintah po? Jinguk!”
Seorang pelopor dan orang yang sangat disegani dalam budidaya tembakau di Lombok, Pak Iskandar, pernah suatu saat saya tanya: bagaimana dengan kecenderungan para petani yang menanam tembakau di luar kuota yang diberikan pabrikan?
Beliau ini luar biasa bijak. Masyarakat pertembakauan Lombok sangat menghormatinya. Sejak tahun 1980, dia ikut mengenalkan dan membuka lahan pertembakuan di sana. Terbukti, tingkat perekonomian di sana ikut meningkat.
“Itu memang problem, Mas. Sebelum musim tanam, pabrikan pasti sudah memberi pengumuman berapa ton atau ribu ton yang akan diserap dari suatu daerah. Lalu, petani tembakau, Pemda, dan pihak lain membagi jatah itu. Banyak yang menanam di luar kuota. Itu terjadi di seluruh daerah pertanian tembakau di Indonesia. Masalahnya, begitu panen, semua hasil panen harus dibeli oleh pabrikan.
“Misal, petani A dapat jatah menanam 2 hektar. Dia menanam 5 hektar. Dia nggak mau tahu, pokoknya pabrikan harus membeli hasil kelima hektar itu. Kalau nggak dibeli, demo,” ujarnya agak terkekeh sambil geleng-geleng kepala. “Tapi, kalau di sini, masalahnya tidak serumit tembakau di Jawa yang campur-tangan pedagangnya sangat besar.”
Salah satu petani, yang juga sangat saya hormati, beberapa hari lalu curhat. Di kampungnya, di Bali Utara yang dikenal menghasilkan cengkeh berkualitas, mulai marak pembelian daun cengkeh kering. “Bli sedih sekali, Thut. Sebagai petani, Bli tahu bahaya menjual daun cengkeh. Bli bisa jelaskan dari A sampai Z. Sudah banyak contohnya…,” ucapnya, terdengar masygul.
Sebagai orang yang beberapa kali melakukan penelitian soal cengkeh, sedikit banyak saya juga tahu bahayanya. Nggak main-main. Investasi menanam cengkeh, kalau ‘diuangkan’, besar sekali. Di beberapa daerah, cengkeh baru belajar berbunga 5 tahun, lalu benar-benar mulai maksimal berbunga di usia 10 tahun ke atas. Kalau sampai satu pohon mati, apalagi yang usianya di atas 20 tahun, berapa kerugian petani cengkeh?
“Masalahnya,” lanjut sahabat yang sudah saya anggap saudara sendiri ini, “Bli juga tahu, para petani ini butuh uang. Dan baru di tahun ini, harga daun cengkeh lebih tinggi dibanding harga tangkai. Bli tahu, bakal percuma menasihati mereka.”
Keempat penggal kisah di atas adalah sedikit dari sekian tumpukan masalah tentang orang-orang yang peduli tanah. Mereka punya batas. Sayangnya, kita sering menuntut setiap orang di luar batas kemampuan mereka.
Tapi, kalau ada motivator bilang “Lewati batasmu!”, nggak usah terlalu dipercaya. Kalau kamu bisa melampaui suatu batas, berarti yang kamu lampaui itu sesungguhnya masih dalam batasmu. Begitu lho…