Repotnya kalau Dikit-dikit Nyunah

kepala suku esensi ibadah puasa esai puthut ea mojok.co

kepala suku esensi ibadah puasa esai puthut ea mojok.co

Sebetulnya, saya paling malas kalau mesti membicarakan sesuatu yang tidak saya kuasai dengan baik. Sebab saya percaya, untuk hal-hal tertentu di hidup ini, kita ikut saja para ahlinya. Demikian juga dalam beragama.

Bagi saya, persoalan yang menjadi perdebatan dalam tema keagamaan, sudah diwakili oleh para alim, para cendekia, yang sudah berpuluh tahun mengkaji dan mendalami hal tersebut.

Kita yang kebanyakan adalah orang awam, tugasnya belajar. Mengaji. Lalu berdasarkan sikap otonom kita sebagai manusia, kita memilih mana yang akan kita jadikan rujukan dalam bertindak. Tidak perlu ikut-ikutan melakukan perdebatan. 

Sama dengan misalnya soal vaksin. Sebagian besar dari kita kan sebetulnya tidak tahu banyak soal vaksin. Perdebatan soal vaksin adalah domain para ahlinya. Tugas kita menyimak. Menelaah. Lalu memutuskan untuk diri kita sendiri bagaimana mestinya bersikap. 

Jangan kemudian kita bertindak seolah-olah ahli vaksin. Persoalan vaksin menjadi agak runyam karena sebagian elite politik kita yang sebetulnya awam juga terkait hal tersebut, latah ikut membahas vaksin seolah-olah merekalah ahlinya.

Balik ke soal kehidupan beragama, praktiknya dalam hidup sehari-hari, kadang saya sebagai manusia merasa jengkel juga kalau dikit-dikit dikasih pesan: nyunah, ya. Ayo, nyunah. Sialnya, biasanya yang mengasih pesan seperti itu, pengetahuan agamanya juga jauh dari pas-pasan.

Saya untuk yang kesekian kali, selalu bersetuju dengan Gus Baha’. Beliau kerap memberi contoh, dan contoh ini ada dalam riwayat yang sangat kuat. 

Suatu saat, Kanjeng Nabi sedang mengajar di teras masjid, lalu lewat seorang pemuda yang sedang akan bekerja di kebun. Salah satu sahabat kemudian berkomentar, alangkah celakanya orang tersebut karena tidak mengikuti kajian yang diajar langsung oleh Kanjeng Nabi.

Mendengar hal itu, Kanjeng Nabi langsung menegur, jangan berpikiran buruk kepada pemuda yang sedang akan bekerja di kebun, karena dia sedang mencari rezeki untuk merawat ibunya yang sedang sakit, dan apa yang dilakukan itu juga termasuk dalam ajaran Kanjeng Nabi.

Pernah suatu kali, Gus Baha’ didatangi orang, yang memberitahu bahwa Ramadan di kampungnya akan dibuat dengan meriah, setiap saat di masjid ada kegiatan sehingga Ramadan menjadi makin bermakna. 

Tapi Gus Baha’ tidak setuju. Alasan beliau sederhana, orang mesti mencari rezeki, dan mencari rezeki adalah juga bagian dari ibadah. Bahkan ibadah penting. Bahkan wajib. Jangan sampai ada orang yang merasa sedang melakukan ibadah, apalagi ibadah sunah, yang justru menjadikan ibadah yang sifatnya wajib malah jadi batal.

Gus Baha’ juga pernah didatangi sesama kiai. Kiai tersebut mengeluh karena majelis pengajiannya sepi. Dengan nada bercanda, Gus Baha’ berseloroh, jangan-jangan majelis sepi itu justru karena orang-orang itu sebetulnya sudah melaksanakan apa yang hendak diajarkan sang kiai tersebut.

“Lho, kok bisa, Gus?” tanya sang kiai tersebut penasaran.

“Lha Sampeyan kan memberikan kajian yang intinya mengajak orang untuk beribadah. Melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk. Sementara orang-orang itu ada yang sedang bekerja mencari nafkah, atau sedang piknik bersama keluarga, atau sedang mencari rumput. Semua itu kan berarti mengerjakan hal yang baik, dan meninggalkan perbuatan buruk. Bukankah itu ibadah?” kira-kira begitu jawaban Gus Baha’.

Kita selama ini sudah terlalu banyak menerima ajakan, bahkan teguran, untuk dikit-dikit nyunah, tapi konteksnya masih hal-hal yang masih sebatas itu-itu saja. Soal cara berpakaian. Soal memelihara jenggot. Dan soal-soal semacam itu. 

Dipikirnya, sunah itu hanya soal begituan belaka. Tanpa melihat mana yang prioritas, dan yang lebih buruk lagi, menebar prasangka bahwa apa yang dilakukan oleh orang lain jika tidak sesuai dengan kacamata dan cara pandangnya yang terbatas itu, dianggap tidak nyunah. Wah, yang seperti ini sesungguhnya yang repot….

Saya jujur saja kadang jengkel sekali dengan ajakan-ajakan seperti itu. Apalagi dinyatakan dengan seolah-olah menyatakan si pengajak sudah lebih baik dari yang diajak. Seolah yang diajak, sedang tidak melaksanakan ibadah dibanding yang ngajak. 

Itu semua terjadi karena sengkarut pikiran si pengajak. Pikirannya masih sempit. Dipikirnya apa yang ada dalam hidup ini seolah hanya urusan sunah dan tidak sunah. 

Orang yang sedang ngarit alias mencari rumput untuk pakan ternaknya, itu juga ibadah. Begitu selalu Gus Baha’ memberi keterangan. Orang yang jadi kuli di pasar, juga sedang beribadah. B

egitu juga jika orang itu sedang bercengkerama dengan keluarga, momong anaknya yang masih kecil, dan bahkan ngopi pun bisa jadi beribadah. Kalau kontesnya sedang meninggalkan yang hal yang tidak baik. 

Dalam konteks itu pula, tidur memang bisa bermakna ibadah. Baik karena sedang beristirahat karena memulihkan stamina, maupun dalam konteks dengan tidur secara otomatis berarti orang tersebut sedang meninggalkan hal yang mungkar.

Dengan begitu, sudahlah. Bagi yang awam, yang masih dalam taraf keilmuan cetek seperti saya ini, tidak usah mata kita ini terlalu melotot melihat kekurangan orang lain. Itu malah sikap yang buruk. Hal yang jelas di orang awam seperti kita ini adalah kekurangan ilmu. 

Makanya fokus ngaji, belajar, tidak usah cerewet mengurusi urusan orang lain, yang bisa jadi orang yang dicereweti itu justru sedang mengerjakan hal yang justru benar secara keagamaan.

Mari kita belajar untuk tidak usah terlalu sibuk mengurus orang lain. Karena mengurus orang lain bisa jadi bagian dari rasa sombong. Maunya dikit-dikit ngajak nyunah, padahal dalam hatinya yang ada adalah rasa sombong. 

Dan Tuhan jelas tidak suka pada orang-orang yang sombong.

BACA JUGA Tuhan Tahu Kita Tidak Suka Lapar dan Haus dan esai Puthut EA lainnya.

Exit mobile version