MOJOK.CO – Dalam pendemi ini, kita disuguhi dagelan para pemimpin yang abai atas suatu ancaman. Cenderung ndagel yang tidak pada tempatnya.
Dalam pelajaran tentang kepemimpinan, ada semacam rumus: “Jika ingin tahu kualitas kepemimpinan seseorang, lihat caranya dalam mengatasi masalah. Dari situ kita tahu apa yang ada di dalam otaknya.”
Selama ini, pola perekrutan kepemimpinan kita hanya melalui demokrasi prosedural belaka. Utamanya tentu saja lewat sistem kepartaian sebagai salah satu motor utama demokrasi di Indonesia. Ada cara lain sebagai daya dukung yaitu pencitraan. Ketemulah di situ dua mesin: mesin nyata dan mesin maya.
Sialnya, mesin nyata di situ bukan berarti lewat ujian kepemimpinan yang sistematis dan bisa dipertanggungjawabkan secara etis. Sebab salah satu watak kepartaian kita masih bersifat dinasti dan oligarki. Tidak tumbuh bersama masalah masyarakat di bawah. Tidak lewat pengorganisasian masyarakat lewat gerakan-gerakan komunitas dan sektoral kemasyarakatan.
Sedangkan mesin maya digerakkan oleh para perias tabiat dan muka. Naik kuda biar terlihat kekuatannya dalam kemegahan kepemimpinan. Masuk ke dalam gorong-gorong biar terlihat mau berkotor ria dalam menyelesaikan masalah masyarakat. Ada yang lewat retorika manis, senyum manis, tapi kita tidak pernah tahu apa sesungguhnya hasil nyata kerjanya. Ada yang sok asyik menyapa warga, naik sepeda, tapi kita tidak pernah mengerti bagaimana keberhasilannya jika dilihat dalam pengentasan kemiskinan dan problem struktural lainnya. Dan lain-lain.
Tapi pandemi ini membuat segalanya berbeda. Dulu kita dipaksa hanya menerima begitu saja polesan pencitraan lewat televisi, media massa, dan media sosial. Dulu, kita dipaksa mengangguk-angguk atas pilihan partai politik karena itulah satu-satunya yang bisa diandalkan dalam menapis kualitas kepemimpinan seseorang. Tapi kini kita tahu, keduanya mempunyai lubang besar. Jika ujian kepemimpinan adalah pandemi, nyaris tidak ada pemimpin kita dari pusat sampai daerah yang lolos menghadapi pandemi ini.
Kalau ada yang bilang bahwa tidak ada satu pemimpin pun yang lolos dalam menghadapi pandemi, maka bukan itu yang sedang kita bicarakan. Melainkan cara memutuskan suatu kebijakan, dapat gamblang memperlihatkan argumen dan etika seorang pemimpin.
Dalam pendemi ini, kita disuguhi dagelan para pemimpin yang abai atas suatu ancaman. Cenderung ndagel yang tidak pada tempatnya. Bisa diputar ulang komentar para pemimpin tentang tidak mungkin ada corona di Indonesia. Lalu mereka keliru. Sialnya, tidak ada satu pun dari mereka yang meminta maaf kepada publik. Padahal brengsek betul dagelan mereka….
Pasugatan politik selanjutnya adalah betapa kebijakan satu sama lain tidak konsisten. Acak-adut dan centang-perenang. Tidak konsisten, dan cenderung mencla-mencle. Esuk dhele, sore tempe, kalau kata orang Jawa. Dan selalu punya perspektif yang keliru: menyalahkan masyarakat.
Ada satu meme bagus untuk menggambarkan hal itu. Dua orang, satu orang berbadan tinggi sedang menuding orang berbadan pendek. Orang berbadan tinggi itu diberi label: Memegang APBN triliunan; mengendalikan polisi dan tentara; punya otoritas mengontrol bandara; punya jutaan pegawai; bisa bikin aturan apa saja. Orang itu menuding sembari berteriak: “Kau tidak taat protokol kesehatan!” Sementara yang dituding adalah orang bertubuh pendek dengan label: Rakyat biasa, cuma punya masker.
Masyarakat diperintahkan tidak mudik, tapi tempat wisata dibuka seluas-luasnya sampai berjubel. Lalu yang disalahkan orang yang mudik. Tempat wisata diperketat ketika publik sudah mulai mengecam kebijaikan biadab itu. Sedikit-sedikit rakyat disalahkan karena tidak disiplin memakai masker dan protokol kesehatan. Padahal negara punya aparat. Negara bisa membuat orang tidak hanya memakai masker, bahkan bisa membuat rakyat tidak keluar rumah. Sungguh kita disodori oleh antologi pejabat yang tidak masuk akal.
Belum lagi mendidih hati kita semua, menyaksikan berita terbaru bahwa di Bali, peningkatan angka Covid-19 dipacu karena kebijakan Work from Bali ketika pandemi. Tapi sampai detik ketika tulisan ini diunggah, tidak ada satu pun pejabat publik kita yang bilang bertanggung jawab dan meminta maaf. Artinya, kemampuan melakukan evaluasi dan refleksi diri para pejabat kita nol puthul. Kosong. Belum lagi kualitas etis dan mental untuk bertanggung jawab lalu meminta maaf… sungguh sangat menyedihkan.
Belum lagi, ketika kebijakan menghadapi pandemi dikorupsi secara brutal, dan di saat yang sama, lembaga antikoriupsi dilemahkan. Negeri ini, sungguh menyedihkan.
Sudah begitu, tetap saja dalam situasi seperti ini, berbagai menuver politik yang tidak etis dikembangkan. Mulai dari usulan dan gerakan presiden tiga periode, dan lain-lain. Timses dibentuk. Baliho dipacak di mana-mana. Dari situ kita tahu, banyak pejabat kita yang sesungguhnya menjadi pejabat karena besutan mesin maya dan otoritas mesin nyata tanpa menilik kemampuan sesungguhnya dan kadar etika di dalam diri mereka.
Sialnya, nanti kita akan dipaksa memilih model pemimpin dengan cara yang sama, maka hasilnya ya bakal begini-begini saja. Tidak terbayang masa depan kita di sana.
BACA JUGA Jokowi Tiga Periode Adalah Program Politik yang Masuk Akal dan tulisan Puthut EA lainnya.