Pada Akhirnya Kita Harus Realistis

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.CO – Tentu kita semua berusaha menebarkan jala penuh harapan dalam menghadapi pandemi corona ini. Tapi harapan, kata Nietzsche, adalah apa yang kita inginkan terjadi hari ini ternyata tak terjadi.

Pada akhirnya kita harus balik kepada realitas sesungguhnya yang kita hadapi. Dan jangkar dari realitas itu adalah sejumlah data, berikut analisis yang masuk akal atasnya. Sampai sekarang, jumlah orang yang kena corona di negeri ini makin meningkat. Yang meninggal juga makin banyak, bahkan juru medis yang berada di garda paling depan dalam menghadapi pandemi ini pun berguguran. Ketika catatan ini dibuat, sudah ada 30 juru medis meninggal dunia.

Makin hari, makin banyak pula orang yang kehilangan pekerjaan. Banyak bisnis yang terpuruk. Ketakutan dan kepanikan makin terlihat di sudut-sudut kehidupan. Tentu, ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia lain, semua bertarung melawan corona, dan mungkin baru sebagian kecil yang mencicil lega. Itu pun harus kembali waswas. Di Korea Selatan, negara yang dianggap cukup tangguh menghadapi corona, mesti mendapatkan fakta baru, yakni orang-orang yang sudah dinyatakan sembuh dari serangan virus itu bisa kembali diserang. Sistem imun pasca-kena corona, dipertanyakan ulang.

Karena semua negara menghadapi corona, seluruh energi dan finansial mereka pun dicurahkan di negara masing-masing. Bisnis di setiap negara surut. Krisis ekonomi sudah terjadi. Tidak tahu bakal menjadi seburuk apa. Tidak ada satu pun ekonom yang bisa memastikan. Tidak ada yang berani memberi konklusi. Setiap analisis lalu direvisi lagi. Akar dari semua itu adalah karena sampai sekarang belum ada antivirus yang sudah terbukti bisa membentengi dan menyembuhkan siapa saja yang terserang corona.

Para pebisnis yang masih bisa menjalankan roda bisnis mereka juga realistis, ini hanya soal waktu saja. Soal giliran kapan masa surut akan tiba saatnya menggilas bisnis mereka. Ketidakpastian seperti kutukan. Tinggal menunggu saatnya tiba.

Harapan-harapan palsu pun mulai berjatuhan seperti daun kering di musim kemarau. Corona membuktikan, hingga saat ini, virus tak kasat mata itu masih menjadi aktor utama yang mendominasi permainan ini. Kita hanya tahu, makin lama ini terjadi, yang bertumbangan makin banyak lagi. Bukan hanya nyawa dan harta, tapi juga merampas tawa kita.

Kita mungkin sudah bosan dengan air mata dan kesedihan, juga rontoknya harapan. Mungkin kita mulai malas memutakhirkan data berapa jumlah korban yang jatuh setiap hari entah di negeri ini atau di luar sana. Tapi mau kita baca atau tidak, fakta-fakta itu terus bicara dengan cara yang khas: kaku tak terbantahkan.

Kerjakan yang terbaik, bersiaplah yang terburuk. Begitu aturan utama orang dalam mengatur strategi di kehidupan ini. Semua yang terbaik sudah kita berikan. Energi, pikiran, uang, dan semua modal sosial yang kita miliki sudah kita taruh di atas meja perjudian. Masalahnya adalah yang terburuk itu udah tidak bisa kita ukur dan bayangkan lagi.

Kita tahu batas modal yang kita miliki. Tapi kita tak pernah tahu seberapa dalam kekalahan akan membuat lubang di hidup ini. Ini jenis perjudian yang bukan hanya akan menyita seluruh modal yang kita punya. Sebab misteri kekalahannya masih begitu misterius dan sunyi.

Sialnya, kita bahkan tak tahu bagaimana cara mengibarkan bendera putih. Kita tidak bisa menyerah agar permainan dihentikan. Corona tak mau berhenti, dan persabungan ini harus terus berlanjut lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.

BACA JUGA Dalam Situasi Seperti Ini, Berbelanjalah! dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version