MOJOK.CO – Saya tak akan bilang novel Kura-Kura Berjanggut ini novel kelas dunia, tapi ia adalah novel yang paling ambisius yang pernah saya baca.
Secara pribadi, saya tak terlalu yakin Azhari merampungkan novel Kura-Kura Berjanggut, novel yang selalu disebutnya setiap kali kami berjumpa. Novel yang terlalu lama ditulis, menurut saya, hanya punya dua kemungkinan: bagus sekali atau hanya sebatas khayalan penulisnya saja. Saya kira, Kura-Kura Berjanggut bakal menjadi yang kedua.
Hingga kemudian, saya dapati novel itu masuk ke meja penyuntingan salah satu penyunting dan penulis hebat, Yusi Pareanom. Wah, jadi juga, batin saya. Tentu, saya menunggu hingga terbit.
Saya termasuk telat mendapatkan buku ini. Saya memesan di salah satu toko buku online dan hanya butuh sehari untuk sampai di tangan saya. Masalahnya, saya punya pekerjaan yang harus dituntaskan. Dalam menyelesaikan tugas, saya terbiasa menyambi proses membaca buku. Mungkin semacam dokter yang mengoperasi sambil mendengarkan musik, atau seorang ibu yang memasak sambil menyetel TV berisi acara infotainment.
Mula-mula, saya membaca Disruption, Tomorrow is Today, dan Petang Panjang di Central Park. Dua buku pertama adalah tulisan Rhenald Khasali, sedangkan Petang Panjang di Central Park adalah kumcer almarhum Bondan Winarno. Tiga buku itu saya beli di bandara. Tomorrow is Today dan Petang Panjang di Central Park saya beli di Bandara Hasanuddin, sedangkan Disruption saya beli di Bandara Juanda. Tiga hari setelah saya tuntaskan penulisan dua buku bersama tim penulis, ketiga buku itu rampung saya baca. Kalau dijumlahkan, halaman ketiga buku itu lebih dari 1.000 halaman.
Novel Azhari sepertinya adalah hidangan penutup yang lezat. Pekerjaan tuntas. Sebentar lagi Lebaran. Saya ikut menjaga kantor Mojok, dengan Kali dan ibunya yang juga menemani saya di Yogya. Baru hari ini, saya mulai membaca novel dengan ketebalan 950-an halaman karya Azhari.
Sejak halaman pertama, saya langsung takjub. Azhari memakai teknik penceritaan orang-pertama-tunggal untuk sebuah novel yang sangat tebal dan ber-setting sejarah. Ini perjudian yang sangat gegabah. Kecuali, penulisnya sangat menguasai tema dan rasa sehingga berani mengambil jarak terdekat dalam penceritaan. Berbelas lembar cepat saya tuntaskan. Awal yang nyaris sempurna. Saya takjub. Ini kepiawaian yang nyaris paripurna….
Sebelum membaca novel itu, seperti membaca buku lain, saya selalu membaca dulu bagian kolofon, daftar isi, glosarium, ucapan terima kasih, dan pengantar. Tentu saja, jika semua itu ada.
Sewaktu saya membaca bagian terima kasih pada novel ini, saya baru tahu kalau penulisan Kura-Kura Berjanggut dimulai pada tahun 2006. Tiga belas tahun dibuat. Halaman glosarinya saja 17 halaman. Dan jika kita baca, kita akan langsung menyadari bahwa ini memang bukan sembarang novel.
Kalaulah novel ini belum banyak dibahas di media, tentu bukan karena kualitasnya, melainkan para apresiator dan kritikus yang pasti sedang tenggelam dalam keterpukauan atas novel ini.
Secara materi, teknik penceritaan dan penyusunan narasinya nyaris sempurna. Ini novel tebal yang tak berantakan. Bahkan, ia terlalu rapi sebagaimana kalau kita membaca novel Raden Mandasia dan Pencuri Daging Sapi. Mungkin karena Yusi si penulis Raden Mandasia adalah penyunting Kura-Kura.
Tidak semua orang suka kerapian penulisan. Saya termasuk salah satunya. Novel yang saya sukai adalah novel yang agak berantakan. Novel yang di beberapa sisi meninggalkan lubang dan kekacauan. Mungkin itu sebabnya, saya tidak terlalu tertarik lukisan realis yang kaya akan detail dan tampak lebih nyata, bahkan dibandingkan foto. Saya suka lukisan yang—dalam bahasa mudahnya—njlebret-njlebret. Jiwa ketok-nya, dalam istilah Sudjojono, bisa dirasakan oleh apresiator. Semua yang rapi dan terisi, dia membawa deskripsi dan fantasi, bukan penjelajahan rohani. Itu dua hal yang berbeda, dan tentu itu soal selera.
Saya juga lebih suka tulisan yang bahkan dari sisi komposisi tak patuh benar dalam teori penulisan. Ada pelanggaran aturan dan kaidah. Namun, pelanggaran yang terjadi bukan karena tidak tahu aturan, melainkan memang sengaja dilanggar. Walaupun secara pribadi pula, saya tidak suka pelanggaran yang berlebihan. Secukupnya saja. Demi memenuhi hasrat kekanak-kanakan dan jiwa kenakalan.
Makanya, saya lebih suka membaca Mojok dibanding membaca esai di media yang sudah mapan. Lho, kok sampai sini….
Balik ke novel Kura-Kura Berjanggut. Ini novel yang memikat dan menjulurkan fantasi kita ke masa yang jauh sekali dengan ragam yang bahkan tak pernah kita pikirkan. Kalimat-kalimat memikat di sampul belakang, bukan semata gimik. Anda akan dapati kelezatan yang ditawarkan, sebagaimana foto menu makanan yang meneteskan air liur di sebuah kedai makan yang terpercaya. Foto menunya tidak menipu. Bahkan, kelezatan makanannya sesungguhnya tak bisa diwakilkan dalam foto di buku menu.
Dan saya tak akan bilang, “Ini buku kelas dunia,” seakan karya sastra Indonesia mesti inferior dibanding karya lain. Sastra dan karya seni sebuah masyarakat adalah representasi dari masyarakat itu, potret dinamika yang terjadi di dalamnya. Tak perlu juga dibanding-bandingkan, kecuali dalam konteks studi keilmuan sastra karena ilmu harus ada ukurannya. Salah satu cara membuat ukuran adalah dengan membandingkan.
Sedangkan, orang seperti saya, kan, melihat sastra bukan semata dari ilmunya. Saya penulis dan penikmat sastra sehingga melihat sastra selalu pada sisi yang lebih dalam lagi. Lebih personal. Mungkin juga lebih rumit.
Saya belum menuntaskan novel tebal ini, tapi bukan berarti tidak boleh menuliskannya. Saya mempromosikannya. Kalau yang menulis dengan tuntas membaca, itu tugas para penulis resensi buku dan para kritikus sastra. Saya bukan keduanya.
Novel Azhari ini adalah novel yang paling ambisius yang pernah saya baca. Dari likuran halaman yang saya baca, ambisi itu tampaknya tergapai.
Kalau Anda pencinta sastra, apalagi yang bergagrak semi-klasik, sudah semestinya Anda bakal menikmati novel ini.
Selamat kepada Azhari, ini buku sebagaimana proses pembuatannya, memang hadir untuk melawan waktu. Salut.