Mereka janjian di sebuah warung burjo di jalan Kaliurang. Menjelang pukul 20.00 semua sudah bersiap. Delapan orang dengan empat sepeda motor melaju menuju arah atas.
Di sekira kilometer 15, keempat sepeda motor masuk ke arah kiri, lalu mengikuti jalan kecil berkelok. Di sebuah tegalan dengan dua rumpun bambu yang menjulang, keempat sepeda motor itu masuk ke jalan tanah. Tak sampai 500 meter kemudian, mereka sudah sampai di spot pemancingan.
Apa yang disebut spot pemancingan itu adalah sebuah sungai yang tak seberapa besar, berbatu, dan suara airnya gemericik.
Fawaz dan Ikhwan yang tahu spot itu terlebih dulu turun dari sepeda motor. Membawa dua tas besar dan parang. Mereka sejenak membabat dan membersihkan rerumputan. Sementara itu, Nody dan Markaban berjalan hilir-mudik di sungai, melompati batu demi batu, lalu balik lagi ke tempat semula, kemudian mengeluarkan delapan joran.
Ada dua orang terlihat iwut membuka bungkusan besar, mengeluarkan aneka penganan. Semua itu ditata rapi. Peranti memasak pun siap. Ada panci, gelas, sendok.
Sementara itu, Jimmy dan Jimbo menggotong dua bongkok kayu bakar dari tempat sepeda motor menuju pinggir kali. Jam 21.30, semua persiapan selesai. Tikar dan perlak sudah digelar. Api unggun sudah menyala. Air mulai dijerang. Joran-joran pancing sudah terpasang.
Mereka berdelapan lalu minum kopi sambil udud, berbincang ringan. Tak lama kemudian, mereka mengambil jatah joran masing-masing, lalu mencari tempat terbaik untuk memancing ikan.
Kalijagan, nama klub mereka, adalah wadah yang tak jelas. Seminggu sekali, kadang dua kali, mereka mencari spot memancing ikan di sungai. Hanya dilakukan di malam hari. Berangkat bakda Isya’ dan berakhir menjelang subuh.
Kalau dibilang pemancing fanatik, tidak juga. Karena begitu setengah jam mereka memancing, ada yang sudah melamun di atas batu sungai. Ada yang meditasi. Ada yang tiduran di tikar yang sudah disediakan. Tapi tetap ada juga yang terus memancing, utamanya yang pancing mereka disambar ikan terus.
Tapi paling lama menjelang pukul 24.00 mereka sudah meriung kembali di tempat membuat api unggun dan tikar yang tergelar. Api kembali dinyalakan. Bagi yang mendapat ikan segera membersihkan ikan, memberi bumbu alakadarnya yang sudah dipersiapkan, lalu dibakar di api unggun.
Bontot mulai dikeluarkan. Nasi uduk, lele goreng, mendoan, kerupuk, abon, dan dua jenis sambal segera siap disantap. Tak lama kemudian mereka sudah mulai gojlok-gojlokan sambil makan. Tuntas semua, barang-barang dicuci dan dibersihkan. Joran juga dirapikan. Mereka melingkar. Kajian ringan dimulai.
Salah satu dari mereka lalu memulai dengan materi tertentu. Materinya tentu soal jiwa dan spiritualitas. Ngobrol di pinggir sungai, dengan suara gemericik, desah dedaunan, sementara di langit tampak bintang dan bulan, menambah syahdu suasana.
Pikiran jadi bening untuk menerima dan memikirkan materi yang disampaikan. Obrolan makin khusyuk dan mendalam. Tapi sesekali tetap diiringi suara tawa. Tetap terasa hangat.
Menjelang subuh, obrolan diakhiri. Sampah dibersihkan. Unggun dimatikan. Mereka berkemas. Lalu deru keempat motor terdengar membelah jalanan.
Di salah satu masjid terdekat, mereka berhenti untuk ikut salat Subuh berjamaah.
Kalijagan beranggota duabelas orang yang sudah dibilang tidak muda lagi. Usia mereka dari mulai 33 tahun sampai 41 tahun. Mereka dari beragam profesi. Ada yang dosen, penulis, pengusaha, dll. Tapi tidak setiap acara selalu keduabelas orang itu bisa datang semua. Rata-rata delapan orang yang bisa berkumpul.
Kalijagan diambil dari nama seorang wali sohor di tanah Jawa: Kanjeng Sunan Kalijaga. Menurut salah satu riwayat, beliau diminta bertapa bertahun-tahun oleh gurunya, Sunan Bonang, di tepi sungai, sebelum kemudian diangkat menjadi murid. Begitu lulus bertapa bertahun-tahun di pinggir sungai, beliau diberi julukan: Kalijaga. Kali berarti sungai. Jaga adalah berjaga. Orang yang terjaga dan berjaga di tepi sungai. Kemudian kelak punya gelar: Sunan.
Tafsir lain yang lebih filosofis soal nama Kalijaga adalah kemampuan seseorang untuk menjaga aliran kesadarannya. Kali itu mengalir. Simbol atas kesadaran manusia yang terus mengalir, terkontrol, dan teramati.
Sepintas, apa yang dilakukan oleh kelompok mancing Kalijagan memang tak masuk akal. Seperti menyia-nyiakan waktu saja. Padahal mereka bukan kumpulan orang sembarangan. Menembus dingin malam, memancing sebentar, ngobrol, dan makan. Tapi mungkin itu cara yang pas buat mereka untuk meredakan stres. Meringankan beban hidup. Mengolah rasa. Berkomunikasi antar-orang dengan lebih intim di alam terbuka.
Sebuah klub yang tidak bertendensi hura-hura, atau membicarakan pernik dan ribetnya mencari uang serta makin beratnya menjalani kehidupan.
Semua adalah upaya untuk menghadang laju waktu dan berat beban pikiran, dengan cara dan formula yang paling pas buat mereka.
Semua kisah di atas tentu saja fiktif belaka. Tiba-tiba saja saya ingin menulis itu, setelah beberapa hari ini begitu asyik menyimak tayangan Youtube tentang orang-orang yang memancing ikan di sungai. Mereka orang-orang biasa. Hobi memancing di laut, tidak sembarang dimiliki orang. Saya setidaknya pernah beberapa kali memancing di laut. Untuk ukuran biasa, tentu saja itu hobi yang mahal. Untuk memancing di Selayar apalagi Kei, misalnya, kita harus siap mengeluarkan uang belasan hingga puluhan juta. Untuk sekali mancing.
Sementara memancing di sungai jauh lebih murah. Beberapa akun yang saya lihat, hanya bermodal sepeda motor, sebungkus rokok dan sebotol air mineral, lalu mendoan. Itu pun mendoannya selain berfungsi sebagai pengganjal perut juga sebagai umpan.
Mereka semua bahagia. Sekalipun ikan yang ditangkap ‘hanya’ sebatas wader, tawes, nilem, dll. Kalau mereka bisa dapat lele sungai, itu sudah pencapaian yang luar biasa.
Entah kenapa saya sangat ingin punya klub mancing ikan di sungai. Sebab bahagia, bisa kita tempuh dengan cara sederhana.