Kenapa Mahasiswa Tidak Bergerak?

Kalau mahasiswa turun ke jalan sekarang, mereka tahu kalau mereka hanya ‘diperalat’ demi kepentingan elite politik.

Kenapa Mahasiswa Tidak Bergerak?

Kenapa Mahasiswa Tidak Bergerak?

Mungkin hampir setiap hari, ada saja orang yang bertanya seperti itu kepada saya. Tentu jawaban terbaik yang bisa saya berikan: Saya sudah bukan mahasiswa lagi, tanyakan saja kepada para mahasiswa.

Namun saya akan memberikan analisis saya. Kalau analisis sih boleh saja, ya. Bisa benar, bisa salah. Bisa ada benarnya dan banyak salahnya, bisa juga sebaliknya.

Pertama, tidak benar bahwa mahasiswa tidak bergerak. Hanya saja masih kecil jumlahnya dan sporadis. Tidak seperti misalnya pada aksi ‘Reformasi Dikorupsi’ yang mencoba menghadang RUU KPK dan RUU Ciptaker (dulu namanya RUU Cilaka). Saat itu, puluhan ribu orang tumpah di jalan-jalan, di puluhan kota di seluruh Indonesia. Kalau dikalkulasi menyeluruh, jumlahnya bisa ratusan ribu orang.

Tapi saat itu, semua pendukung dan buzzer Presiden Jokowi bergerak massif membuat propaganda bahwa mahasiswa ditunggangi para taliban dan teroris. Padahal, yang bersama mahasiswa waktu itu ya para dosen dan para intelektual. Bahkan bukan hanya mahasiswa, tercatat puluhan ribu anak SMK dan SMA juga turun ke jalan. Di Jakarta, bentrok sudah terjadi beberapa hari.

Saat itu bahkan tidak ada budayawan sepuh yang sampai menangis ketika diwawancara di televisi. Saat itu bahkan tidak sampai ada Maklumat Juanda.

Tuduhan keji itu terus ada di kepala para mahasiswa dan demonstran yang lain. Sialnya, orang-orang yang empat tahun lalu itu menuduh mahasiswa ditunggangi dan disusupi kaum taliban, sekarang ini yang mengharap dan berusaha memanas-manasi mahasiswa untuk turun ke jalan. Memangnya mahasiswa segoblok itu?

Benar bahwa mahasiswa yang sebagian besar turun di jalanan saat itu sudah lulus kuliah. Tapi kita semua tahu, hubungan mahasiswa yang tak terpaut jauh usia dan tingkatannya, sangat erat. Sangat dekat.

Kalau mahasiswa turun ke jalan sekarang, mereka tahu kalau mereka hanya ‘diperalat’ demi kepentingan elite politik. Diminta menyikat satu pasangan untuk keunggulan pasangan yang lain. Dengan berbagai alasan, mulai dari dinasti politiklah, sampai ke soal potensi kecurangan pemilu.

Dukungan dan ajakan mereka adalah palsu. Hipokrit. Bukan tulus. Tapi karena kepentingan politik partai dan pasangan mereka ingin menang atau terancam kalah.

Belum lagi mempertimbangkan efek yang dinyatakan oleh Eep Saefulloh Fatah. Ketika terjadi kegentingan politik, maka penguasa akan punya alasan kuat untuk menunda pemilu. Dan yang diuntungkan adalah orang yang ingin jabatannya diperpanjang. Anda tahu siapa dia, bukan?

Maka kalau memang elite politik mau serius, silakan saja memakai peranti parlemen. Bisa dimulai dari hak angket. Tapi nyatanya sampai sekarang juga tidak terjadi, bukan? Kalau mereka tidak mau melakukan, kenapa meminta dan menagih mahasiswa yang melakukannya? Mau nabok nyilih tangan?

Ada yang menarik dalam peristiwa demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini. Dengan berbagai cara coba dilakukan. Tapi karena jumlahnya nisbi kecil, maka pihak yang didemo bisa mengerahkan massa yang lebih besar. Hal itu terbukti dengan aksi di depan KPK belum lama ini. Aksi kecil ya mudah ditandingi. Tapi kalau sudah setiap kota turun mahasiswa dan teman-teman SMK/SMA sebanyak puluhan ribu di puluhan kota, bagaimana mau menandinginya?

Itulah karma politik! Dulu menyerang dengan propaganda disusupi Taliban, kini ngemeng minta bantuan mahasiswa. Mending mahasiswa makan kuaci di kamar kos, sambil menunggu para elite berantem sendiri. Selain itu bagus buat demokrasi, hal tersebut juga bisa jadi ajang rekreasi. “Rasain lu, kini berantem sana sendiri.” Begitu kira-kira yang dikatakan mahasiswa  sambil mengunyah kuwaci dan ketawa-ketiwi.

Tapi kritik mahasiswa tetap harus dihargai. Namun tulisan ini hanya hendak menjelaskan kenapa aksi mahasiswa tidak sebesar saat ‘Reformasi Dikorupsi’. Sebab mahasiswa dan kakak-kakak mereka, sadar, kini mereka hendak dijadikan komoditas politik para elite yang sedang tidak rukun.

Kalau berantem, berantem saja sendiri. Jangan mengajak kami. Apa tidak malu dulu mengolok, mengejek, memfitnah, kok sekarang mau memanas-manasi.

Itu pula yang bisa sedikit menjelaskan kenapa Gen Milenial justru banyak mendukung Prabowo-Gibran. Dugaan saya, bukan soal sakit hati. Tapi ada agenda lain yang mereka sembunyikan. Apa itu? Rahasia.

Paling tidak,  bagi mereka, yang jadi presiden Prabowo, Ganjar, atau Anies, ya sama saja. Mereka mafhum, perubahan sosial bukan semata perkara siapa yang jadi presiden.

Mereka toh akan berjuang sendiri untuk hidup siapapun presidennya. Mereka tidak silau dan mudah kena ilusi bahwa perubahan atau ganti presiden lalu nasib mereka jadi lebih baik lagi. Kayak baru setahun dua tahun tinggal di negeri ini saja, sehingga tidak paham perilaku elite politik kita…

Selamat menikmati hidup yang berantakan di negeri ini. RUU KPK yang dulu ditolak, kini terbukti betapa kacaunya lembaga itu.

Setelah badai fitnah datang, kini saatnya menikmati dan menonton para elite politik, timses, dan buzzer mereka saling cakar untuk berebut kekuasaan. Itulah yang disebut hiburan politik. Gratis lagi.

BACA JUGA Daftar Serangan-serangan Tajam Anies dan Ganjar ke Prabowo pada Debat Capres dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI

Exit mobile version