Apakah Kerusuhan Sosial Bisa Terjadi (Lagi) di Indonesia?

kepala suku

Beberapa hari ini, di sebuah grup Whatsapp, ada pertanyaan yang menggelitik, dicampur waswas. Pertanyaannya sudah saya pampang sebagai judul.

Saya kemudian menjawab dengan tegas: bisa.

Sebelum saya lanjutkan dengan deret argumennya, tolong dibaca dengan hikmat. Pernyataan saya yang mengatakan ‘bisa’ bukan berarti mendukung atau menginginkan hal tersebut. Kalau sedang musim penghujan, mendung sudah tebal dengan didahului gerah, angin tak banyak bertiup kencang, maka sangat rasional orang mengatakan sebentar lagi bakal turun hujan lebat. Tapi orang yang mengatakan hujan bakal lebat, belum tentu menginginkan hujan, dan bukan orang yang membuat hari menjadi mendung.

Sekarang mari kita mulai dari alasan pertama. Secara historis kita punya jejak konflik maupun kerusuhan sosial. Terlalu banyak untuk disebutkan. Termasuk misalnya Gestok, kerusuhan Kalimantan, kerusuhan Ambon, dan banyak lagi yang lain. Artinya, kalau suatu kejadian pernah terjadi beberapa kali, maka secara teoritis, hal yang sama bisa terjadi lagi. Tinggal syaratnya ada atau tidak.

Kedua, bibit konflik sosial itu sudah ada dan terus tumbuh. Pertikaian politik, mengerasnya dua atau lebih kubu yang saling berhadapan, dukungan kelembagaan dan komunitas politik, semua mengarah pada kemungkinan tersebut. Denyut permusuhan itu bisa kita rasakan bersama. Di kehidupan sehari-hari, di media, apalagi media sosial.

Ketiga, aparatus kekerasan sudah dilibatkan. Dalam hal ini lembaga paramiliter dari berbagai organisasi besar sudah saling bersiaga. Semua melakukan konsolidasi dan aroma kekerasan ditebarkan.

Keempat, elit politik sudah terbelah bahkan sudah ikut menjadi sponsor utama atas potensi konflik yang ada.

Kelima, ada gejolak ekonomi. Jika dibedah lagi: guncangan ekonomi faktor luar, disparitas antara yang kaya dan yang miskin terlalu menganga, dan perebutan sumber daya alam yang mengakibatkan konflik terjadi di banyak tempat.

Keenam, durasi konflik sudah cukup panjang dan makin mengeras. Tidak mungkin ada masyarakat yang tak berkonflik. Tapi masyarakat yang sehat, selalu punya cara untuk menyelesaikannya dengan baik dan dalam waktu yang nisbi cepat. Kalau sebuah bibit konflik sosial tumbuh terus tanpa ada yang memotong dan mencabutinya, inilah yang mengkhawatirkan. Apalagi jika durasinya cukup panjang, sebagaimana yang sekarang kita alami dan rasakan.

Tentu kita semua sebagai anak bangsa tidak mau ini terjadi. Harganya terlalu mahal. Nyawa satu orang pun terlalu mahal untuk apapun. Bangsa ini bakal surut jauh ke belakang.

Seruan banyak orang yang khawatir hal ini bakal terjadi adalah agar semua pihak menahan diri. Tapi menurut saya, itu tidak cukup. Menahan diri hanya akan tetap meninggalkan bara dendam di dada, dengan mata yang makin awas karena marah. Menurut saya, semua pihak harus proaktif mencari solusi.

Saya masih punya keyakinan kuat, hampir semua orang sebetulnya tidak ingin hal ini terjadi. Tapi setiap tindakan politik yang dilakukan justru makin membuat situasi makin panas. Dalam hal ini, elit politik dan tokoh masyarakat perlu banyak bertemu, menyusun agenda sosial bersama untuk membuat situasi dingin dan menyingkirkan sekam sosial supaya tak ada bara yang tersimpan di sana.

Harus ada kelompok tengah yang kuat, yang bisa mengakomodir, menjadi bemper yang liat agar benturan keras tidak terjadi. Kelompok tengah ini harus terus membesar, membuat gradasi dari kedua kubu menjadi banyak warna. Dengan begitu, benturan besar bisa lebih diminimalisir.

Kita semua tidak ingin api menyala di negeri ini. Anak-anak kecil ketakutan dan meninggalkan jejak trauma mendalam. Kita tidak ingin hidup dalam suasana penuh teror dan horor.

Tapi ketidakinginan kita tidak akan pernah cukup. Sebab di saat seperti ini juga butuh tindakan dan kerjasama orang-orang biasa, yakni orang-orang yang takut dan khawatir. Perlu banyak sekali orang yang  berdiri di tengah dengan senyum dan pelukan hangat. Terus berusaha agar tak ada api yang menyala, darah yang tumpah, dan cucuran air mata.

Exit mobile version