MOJOK.CO – Di dalam etika advokasi, seorang pembela tidak boleh menyuarakan hal yang bukan berasal dari korban. Hal yang kerap dilupakan kubu antirokok.
Saat sedang menjalankan uji kelayakan di DPR untuk menjadi salah satu anggota Komnas HAM, almarhum Dr. Mansour Fakih ditanya oleh salah satu anggota legislator: “Menurut Anda, apakah poligami itu sesuai dengan HAM atau tidak?”
Pertanyaan itu tentu tidak diperkirakan oleh Pak Mansour. Sebagai salah satu intelektual publik yang sangat ternama, melakukan berbagai kerja advokasi selama puluhan tahun, menghasilkan beberapa buku babon tentang gerakan sosial di Indonesia, dan termasuk ikut serta mendorong isu keadilan gender—pertanyaan legislator itu menjadi bukan perkara sepele. Di situ ada dimensi politik, agama, dan kultural, tapi tentu saja ada juga dimensi HAM.
Setelah berpikir sekian detik, Pak Mansour menjawab kurang-lebih begini. “Untuk kasus seperti itu, pertanyaan yang diajukan Bapak, mestinya diajukan oleh para istri, baik yang dipoligami maupun yang menjadi ‘korban’ poligami. Bukan kepada saya.”
Jawaban itu sepintas memang seperti sebuah “siasat”untuk keluar dari jebakan pertanyaan. Tapi Pak Mansour memberikan sinyal yang sangat kuat, bahwa jika terjadi sebuah sengketa atau persoalan yang menyangkut HAM, salah satu yang mesti ditanya dan didengarkan suaranya adalah para korban.
Maka itu, sudah menjadi semacam etika advokasi, bahkan seorang pembela HAM pun tidak boleh menyuarakan apa yang tidak disuarakan oleh para korban. Mereka harus tahu diri meletakkan posisi di mana.
Di dalam dunia advokasi, ada istilah “memberi suara kepada orang yang tidak bersuara”, sebuah proses untuk membuka dan mengungkap kebisuan korban. Kaum pembela boleh ikut melantangkannya, tapi membuat berani korban untuk bersuara, adalah agenda yang paling utama. Dan itu semua harus dilakukan dengan proses yang hati-hati, supaya tidak ada bias.
Apa bias itu? Bisa saja “bias kelas”. Sebab yang membela kemungkinan adalah para terpelajar sehingga menyuarakan sesuatu yang bisa jadi bukan itu sesungguhnya suara korban. Dalam hal ini, ada metodologinya. Cukup ketat. Untuk meminimalisir bias tadi, sehingga suara korban bisa terdengar lebih jelas dan jernih.
Sengaja saya sedikit memberikan hal teoritis untuk masuk ke dalam soal pro dan antirokok yang tengah ramai diperbincangkan dan bahkan dipertengkarkan akhir-akhir ini.
Dalam konteks isu merokok, siapakah “korban” atau potensial menjadi “korban” itu? Ada beberapa lapis tentu saja.
Pertama adalah perokok. Merokok adalah aktivitas yang dilakukan banyak orang, dan pasti tidak seragam. Merokok merugikan kesehatan, misalnya, bisa saja bagi perokok lain itu benar, bagi yang lain tidak.
Ada yang menganggap rokok adalah hak mereka untuk menikmati komoditas yang bisa diperdagangkan dengan legal. Ada juga yang misalnya beranggapan bahwa harga rokok terlalu mahal, dan lain sebagainya.
Sementara untuk usia dan cara serta ruang mereka mengonsumsi, sudah ada aturan hukumnya. Ada aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), ada juga di berbagai ruang publik tempat untuk mereka yang merokok, yang sengaja dipisahkan. Supaya aktivitas itu tidak mengganggu orang yang tidak merokok.
Lalu potensi “korban” lain adalah mereka yang terkait dalam industri rokok itu sendiri. Siapa saja mereka? Banyak sekali.
Ada petani tembakau, petani cengkeh, pengusaha, buruh pabrik, pekerja lain yang terkait langsung dengan industri ini. Harap diingat, hak untuk mendapatkan penghidupan, hak mencari rezeki, hak mendapatkan pekerjaan, juga masuk dalam kategori hak asasi manusia.
Oleh karena itu, setelah Orde Baru tumbang, berbagai kebijakan pemerintah selalu melalui mekanisme multi-stakeholders. Mempertimbangkan semua pemangku kepentingan. Apakah prosesnya sudah benar atau belum, itu hal lain.
Kalau pemerintah mau membuat jalan tol, misalnya. Harus mendengar suara para warga yang kelak dilewati jalan tol itu. Kalau kemudian ada hak ganti rugi, harus dimusyawarahkan dan harga itu harus bisa diterima oleh warga terdampak. Begitu juga di berbagai kasus lain.
Maka kalau Anda saksikan berbagai demonstrasi menyangkut pendirian pabrik atau industri ekstraktif, hampir semua terjadi karena ada korban dan calon korban terdampak yang tidak atau belum menemukan kesepakatan, atau bahkan menolak.
Kalau ada pihak yang ingin mendirikan pabrik semen misalnya, bukan hanya Amdal saja yang dibutuhkan. Tapi suara orang di sekitar pabrik.
Apakah berdirinya pabrik itu akan mengancam hak hidup orang? Apakah akan merusak sumber air, apakah ada polutan yang keluar dari proses produksi sehingga membahayakan warga sekitar, dan lain sebagainya. Dan banyak lagi yang lain, termasuk potensi misalnya alih profesi, dari yang semula menjadi petani lalu menjadi buruh atau bahkan tidak punya pekerjaan sama sekali. Semua harus diperhitungkan dengan cermat dan diproses dengan demokratis.
Nah, hal seperti ini yang absen dilakukan oleh penggiat antirokok. Anggaplah mereka sedang melakukan kerja advokasi, mereka mestinya bicara dengan para petani tembakau, petani cengkeh, buruh pabrik, pekerja lain yang juga ada dalam alur industri hasil tembakau (IHT), termasuk para pengusaha baik kecil maupun besar. Sebab industri ini sah dan legal hidup di Indonesia. Rokok bukan barang ilegal.
Oke, anggaplah penggiat antirokok ini tidak percaya dengan pengusaha besar. Karena mereka dianggap punya power. Tidak ada masalah. Tapi apakah mereka sudah bicara baik-baik kepada para petani tembakau, petani cengkeh, buruh pabrik, dan pekerja lain? Kenapa suara mereka tidak didengarkan?
Padahal mereka punya hak hidup dan hak atas penghidupan yang layak. Dan kebanyakan dari mereka sudah punya organisasi sektoral mereka sendiri.
Organisasi sektoral adalah salah satu modal masyarakat sipil untuk mewadahi aspirasi mereka terutama saat menghadapi ancaman, yang berpotensi mengancam hajat hidup mereka. Serta memajukan sektor yang mereka geluti. Termasuk harga dan sistem budidaya yang lebih baik.
Kalau suara klub antirokok adalah suara mereka sendiri, berdasarkan preferensi ego dan pikiran mereka sendiri, maka mereka berarti tidak sedang melakukan kerja advokasi, dan punya kecenderungan menutup telinga atas suara-suara yang seharusnya mereka dengar.
Kalau seperti itu yang terjadi, berarti mereka sedang memperjuangkan aspirasi yang bukan dari aspirasi korban dan calon korban. Kecenderungan menjadi pahlawan dengan isu tertentu tanpa melibatkan berbagai pihak yang secara langsung berada dalam lingkungan isu tersebut, jelas punya potensi bias kepentingan dan bias kelas. Dan itu bukan hanya tidak baik, tapi bisa berbahaya.
Sebab industri kretek ini secara faktual memang telah menghidupi sekian juta orang. Kalau mau dibubarkan atau ditekan, dengarkan suara mereka. Jangan main otak-atik angka dan asumsi belaka. Kecuali kalau memang sekadar sebagai kampanye penyadaran. Ya boleh-boleh saja. Karena di alam demokrasi, hak bicara dan mengeluarkan pendapat itu diperkenankan, dan menjadi hak dasar pula.
Semoga ini menjadi bahan permenungan bersama….
BACA JUGA Benarkah Saya Membela Perokok? dan tulisan lainnya dari Puthut EA di kolom KEPALA SUKU.