MOJOK.CO – Calon Wakil Gubernur Jawa Barat nomor urut empat, Dedi Mulyadi, harus mengakui kemenangan Ridwan Kamil. Memangnya apa saja sih sebab-sebab Kang Dedi sampai kalah? Nih, ada bocoran dari orang dalam.
Tahun 2012 lalu, sekitar satu setengah tahun lamanya saya rutin ketemu Kang Dedi Mulyadi. Iya, Dedi Mulyadi yang itu, yang kalah di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat (Jabar) kemarin itu. Bisa tiga kali seminggu malah. Bahkan hampir tiap hari ketemu kalau pas bulan puasa.
Ngapain? Ikutan grup band regulernya keliling kampung di Purwakarta hampir sepanjang tahun. Tiap bulan puasa, beliau bikin “Safari Ramadhan” yang padat. Acaranya, tausiah Ustaz Jujun (sahabat beliau), dan lagu-lagu grup kami (Emka9) yang syairnya diambil dari puisi karya beliau.
Duh, begitu banyak kenangan menarik selama itu…
Mondar-mandir di Pendopo Kabupaten, tidur-tiduran di gazebo, bahkan ngeloyor ikut makan di dapur rumah dinasnya. Hanya mengenakan tank top dan celana selutut (sebelum didobel rangkap jubah kostum), sambil haha-hihi dengan ibu dapur yang masakan kampungnya bikin ngiler kebawa mimpi. Barter dengan roti Djie Seng Bandung yang menurut mereka juara enaknya. Pernah juga diajak halal bi halal ke rumah beliau di Subang.
Pada 2013 saya ikut main di acara pelantikan beliau sebagai bupati periode kedua. Ikut beberapa kali “safari budaya” keliling Jabar (aka “Road to Pilgub” setelah beliau menang periode kedua itu), juga ikut main di pelantikan beliau sebagai Ketua DPP Golkar Jabar.
Jalan karier beliau tampak sudah rapi ter-paving block… kalau saja tak ada pendatang baru yang melesat, yakni: Kang Emil, iya Ridwan Kamil. Ketua Umum Golkar saat itu, “si Papa Minta Saham” ujug-ujug menunjuk Kang Emil sebagai cagub dari Golkar. Drama macam apa coba, Ketua Golkar Jabar dilangkahi, begitu saja mengusung orang asing partai? Tapi Kang Dedi tidak bisa apa-apa, saat itu surat resmi sudah keluar. Sah, ditandatangani Ketum.
Eh, dasar drama miniseri. Diawali drama kepala bakpao, tak lama si Papa pakai rompi oranye. Golkar milih ketum baru, surat resmi penunjukkan Kang Emil itu pun dibatalkan. Kursi Kang Dedi Mulyadi ditegakkan kembali. Kang Emil mencari koalisi baru, yakni: PPP, PKB, Nasdem, Hanura.
Terakhir bertemu Kang Dedi Mulyadi, waktu main lagi di deklarasi pasangan cagub 2DM, setelah saya lama resigned dari grup reguler. The battle had begun. Banyak potensi bagus dari Kang Dedi. Sepak terjangnya di Purwakarta, saya akui cukup baik. Kota rapi, jalan mulus, urusan birokrasi jauh lebih baik. Walau ada manuver beliau yang saya nggak setuju, ya itu masih wajar. Tapi dari awal saya sudah yakin, beliau akan kalah di pilgub melawan Kang Emil.
Mungkin banyak yang heran, kenapa mereka nggak koalisi aja? Perfect couple. Papa Setnov pun awalnya mengusulkan demikian. Pasti menang telaklah. Bisa rekor 70% mungkin. Tapi buat yang kenal karakter keduanya, pasti bakal terkejut. Itu semua hampir nggak mungkin. Kalau dipaksakan bersama, malah akan menjadi pasangan yang tidak bahagia.
Pertama, keduanya sangat dominan. Alpha male. Siapa yang mau ngalah jadi wakil? Sini, kita coba analisa.
Dari segi umur, biasanya yang lebih muda jadi wakil. Nah ini dia, dua-duanya sebenarnya seumur lho! Kang Dedi kelahiran April 1971, Kang Emil Oktober 1971.
Dari segi karier, yang lebih junior wajar jadi wakil. Kang Dedi Mulyadi lebih senior, lho. Anggota DPR, Wakil Bupati, Bupati dua periode. Kang Emil? New kid on the block yang kariernya mendadak meroket.
Jadi, harusnya Kang Emil yang mau ngalah jadi wakil?
Eit, tunggu dulu. Walikota “lebih tinggi derajatnya” daripada bupati. Apalagi Bandung, ibukota provinsi. Purwakarta? Kabupaten terkecil Jabar (sebelum Pangandaran misahin diri dari Ciamis, jadi kabupaten baru).
Secara “kasta sosial”, keluarga Kang Emil lebih ningrat. Bapaknya doktor hukum di Unpad, ibunya sarjana. Saudara laki dan perempuan keluarga Kang Emil semua sekolah tinggi. Kang Emil sendiri lulusan ITB dan Berkeley California. Kang Dedi? Bapaknya tentara. Ibunya aktivis Palang Merah. Kang Dedi sendiri lulusan Universitas Purnawarman. Di mana itu? Udah, googling aja sendiri.
Berangkat dari hal-hal itu, siapa yang mau jadi wakilnya coba?
Lha itu buktinya nyalon jadi wakil sama Om Naga Bonar. Kenapa mau? Ya, beda soal kalau itu. Pertama, Deddy Mizwar memang eks-wagub. Jadi secara “hierarki karier”, wajar. Usia beliau pun jauh senior. Ditambah lagi, mereka cukup kompak. Gampang ada “kontrak siapa Raja, siapa Perdana Menteri”. Beres.
Poin terakhir, Deddy Mizwar cukup ampuh buat nangkis serangan “musyrik” yang sering dilempar ke Kang Dedi. Deddy Mizwar dianggap musyrik ya enggak mungkinlah, “Pak Haji” gitu lho. Jadi itu pilihan tandem paling cerdas, sudah.
Lalu kenapa Kang Dedi nekat ikut cagub dengan lawan seberat Kang Emil? Ya, beliau sudah dua periode bupati. Sudah direncanakan dari waktu itu, bahwa langkah selanjutnya adalah kancah cagub. Dulu saya optimis beliau bakal menang. Tapi itu dulu…
Lha memang kenapa Kang Emil nggak nunggu pilkada tahun berikutnya saja? Habiskan dulu masa jabatan Walikota Bandung dua periode gitu? Ya kan sayang kalau Kang Emil dan Kang Dedi harus diadu. Harusnya dua-duanya bisa berkarya di lain arena.
Nggak bisa. Kang Emil lagi top-topnya. Ini momentum dia. Dengan tagline Bandung Juara yang ngehits, nggak lucu lah kalau dia pindah nyalon jadi Cagub Sulawesi Selatan, misalnya. Kang Dedi apalagi, Ketua Golkar Jabar. Ya memang sudah takdirnya, mereka harus tanding di grup neraka.
Itu baru hitung-hitungan politik. Secara gaya, lebih absurd lagi kalau disatukan mereka berdua ini.
Kang Dedi Mulyadi? Dangiang Ki Sunda. Budak angon (anak gembala). Kembali ke desa. Pecinta wayang. Se-Purwakarta dihias patung tokoh wayang. Hobi banget pake iket Sunda. Bahasa Sunda halusnya jero. Ngoleksi kereta kencana. Sering bawa-bawa “Kebangkitan Pajajaran”. Kalau pidato, berapi-api kayak Bung Karno.
Kang Emil? Urban planning. Tata kota. Ultra modern. Kadang diserang “kurang Nyunda” karena kurang fasih bahasa Sunda halus. Fashion-nya kadang kayak meneer Belanda, kadang kayak bintang film Korea. Pidatonya, halus pisan kayak priyayi.
Bukannya justru bagus kalau bersatu, saling melengkapi?
Itu kan fantasimu. Kenyataannya, bakal kayak lagunya Numata. “Aku maunya begini. Kamu maunya begitu. Kita… tak pernah bertemuuu.” Terus-terusan saling curiga bakalan ada yang nikung dan musuh dalam selimut. Dekat di mata, jauh di hati.
Lagian, nggak kebayang dah kalau taman-taman baru di Jabar isinya patung Wisnu naik T-rex, bukannya garuda.
Oke, sudah paham ya kenapa mereka nggak nyatok bareng, eh nyalon bareng? Terus kenapa Kang Dedi kalah, padahal karya beliau lebih tampak setelah 15 tahun jadi wabup dan bupati?
Menurut analisa hamba:
1. Biar gimana juga, mayoritas orang desa nggak bangga jadi anak gembala, ngurus sawah dan ladang. Mereka memandang kota dan modernitas dengan berbinar.
2. Kebangkitan Pajajaran hanya kena untuk Jabar Selatan. Untuk orang Pantura, daerah sekitar Jakarta, dan suku non-Sunda, kurang makjleb.
3. Bahasa medsos Kang Dedi terlalu serius, formal birokrat.
4. Falsafah wayang, juga karakter Cepot yang melekat pada beliau, walau sangat menarik dan perlu diajarkan, roaming untuk kids jaman now.
5. Kang Dedi sangat suka warna hitam putih (warna dominan dalam perwayangan), sampai-sampai se-Purwakarta dihias patung hitam putih. Ini aura yang kurang cocok untuk umat muda. Bandingkan dengan misalnya, Bus Bandros yang cerah gonjreng, asik untuk selfie.
Tak dapat dipungkiri, Kang Emil adalah sosok suami, mantu, dan mertua idola mamah muda serta ABG urban. Putih, ganteng, kalem, sekolah di kampus idaman sejagat. Joke receh macam “bahagia itu sederhana” walau rada garing, kena buat barudak ngora. Coba lihat contoh tweet sweet beliau:
Para jejaka Bekasi siapa yang mau ganteng keren besok ditunggu potong rambut gratis di GOR Basket Bekasi Jln Ahmad Yani. GRATIS. Kita pecahkan rekor MURI membuat 2500 lelaki kumel lusuh jabrik menjadi keren. Beberapa booth perjodohan dg mojang BDG disediakan sebagai bonus. pic.twitter.com/vWSd8UqMdY
— ridwan kamil (@ridwankamil) 17 Februari 2018
Jadi, selisih sekitar 7% (lebih dari 2 juta suara) itu saya kira lahir dari para fans mahmud dan ABG urban: Laskar Maharindu.
Udah sih, segitu aja analisa sederhana dari saya. Meski kecewa Kang Dedi kalah, tapi saya tetap sampaikan selamat buat kemenangan Kang Emil. Di sisi lain, semoga Kang Dedi masih panjang karier politiknya di arena lain sehingga masih akan ngasih job kemari.