Kecerdasan Buatan Bisa Nggak Cerdas Lagi kalau Gantikan PNS dan Hadapi Birokrasi Fotokopi

Apakah kecerdasan buatan itu bisa menjadi solusi gantikan PNS? Sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi....

Kecerdasan Buatan Bisa Nggak Cerdas Lagi kalau Gantikan PNS dan Hadapi Birokrasi Fotokopi MOJOK.CO

Kecerdasan Buatan Bisa Nggak Cerdas Lagi kalau Gantikan PNS dan Hadapi Birokrasi Fotokopi MOJOK.CO

MOJOK.COKecerdasan Buatan (AI), konon katanya, akan menggantikan PNS. Menghadapi ribetnya birokrasi fotokopi, bisa jadi kecerdasan buatan bakal menyerah.

Diskursus teknologi Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan (AI) sebagai (((pengganti))) Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejatinya isu yang sangat legit untuk didiskusikan. Rasanya hampir seluruh warga Indonesia pernah mengalami kepedihan saat mencicipi pelayanan publik di negeri ini. Mulai dari level yang dapat diatasi dengan nyengir sendiri sampai tataran yang harus diviralkan biar beres.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah memangkas “eselonisasi” pada level III dan IV. Sekarang, jabatan-jabatan seperti Kepala Bidang atau Kepala Seksi sudah nyaris tidak ada dalam struktur birokrasi negeri ini.

Pemangkasan “eselonisasi” untuk kemudian menuju “fungsionalisasi” adalah ide yang menarik untuk memperlincah birokrasi. Walau demikian, “fungsionalisasi” ini, misalnya ketika digantikan kecerdasan buatan, bukannya tidak memakan korban.

Mari ibaratkan tingkatan PNS seperti level di Mobile Legends. CPNS itu anggap saja Warrior. Begitu lulus diklat fungsional, mereka akan masuk level fungsional Pertama atau setara Elite. Sesudah push angka kredit terus-menerus melalui tugas-tugas, mereka bisa naik jadi level fungsional Muda atau setara Master. Tahap berikutnya, ada yang disebut fungsional Madya atau ya bisa disetarakan dengan Epic dan Legend. Pamungkasnya, ada posisi tertinggi yang jarang bisa dicapai oleh orang-orang biasa. Namanya fungsional Utama atau anggaplah seperti Mythic.

Korban yang saya maksud adalah sejumlah pejabat struktural level eselon IV yang tidak sepenuhnya dapat dikonversi menjadi pejabat fungsional pada level yang kira-kira setara. Sederhananya, ada beberapa pejabat eselon IV levelnya sebenarnya sudah Epic. Akan tetapi, karena mereka eselon IV, lantas terpaksa dikonversi menjadi level Master atau kurang lebih menjadi selevel dengan orang-orang yang masuk PNS empat sampai lima tahun setelah mereka.

Kalau yang jadi “korban” digantikan kecerdasan buatan adalah PNS yang tidak bagus, kita mungkin bisa bilang, “syukurin!”. Hanya, biasanya, eselon IV berisi orang-orang yang terbaik di sekitar situ dan sejatinya sedang dikader menjadi pemimpin.

Ketika kemudian menjadi pejabat fungsional dengan gelar Master tapi dari golongannya sebenarnya sudah Epic, ada potensi mereka akan berada di pangkat dan jabatan yang itu terus sampai lama sekali. Pada titik ini, kita harus mewaspadai adanya demotivasi karena suramnya gambaran pola karier di masa depan sementara pekerjaan terus-menerus ada.

Di sisi lain, sebagai orang yang baru jadi Magister Ilmu Administrasi dengan tesis cuma habis 120 ribu rupiah, saya cukup sepakat dia hal. Pertama, kecerdasan buatan memang menjanjikan, meski akan ribet banget penerapannya. Kedua, memang ada jalur-jalur birokrasi yang harus dipangkas untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Walau demikian, harus dipahami bahwa secara teori, jalur-jalur birokrasi itu timbul sebenarnya juga sebagai wujud pengendalian.

Kalau ke kantor tanah, kita nggak bisa ujug-ujug bisa mengklaim kepemilikan suatu tanah tanpa proses pemastian dulu bahwa tanah itu memang benar-benar layak untuk kita. Ada tahapan-tahapan untuk memastikan sertifikatnya diberikan ke orang yang tepat. Seharusnya kan begitu. Cuma kok yang belakangan kita lihat malah persoalan tentang mafia tanah.

Kita juga pernah dikasih contoh soal pengurusan KTP Djoko Tjandra yang cepat sekali. Kalau pelayanan publik itu cuma dipandang sebagai (((sesuatu yang cepat))), Kelurahan Grogol Selatan itu harusnya dapat penghargaan. Faktanya, terbitnya KTP itu justru menimbulkan permasalahan baru. Jadi, pelayanan publik itu tidak hanya soal cepat, tapi soal tepat.

Lantas, apakah kecerdasan buatan itu bisa menjadi solusi? Sebenarnya bisa-bisa saja. Namun, untuk penerapan di negeri ini, “tapi”-nya terlalu banyak.

Stephen Jeffares dalam bukunya The Virtual Public Servant: Artificial Intelligence and Frontlines Work menyebut bahwa setidaknya ada empat permasalahan yang dapat diatasi dengan penerapan kecerdasan buatan pada pelayanan publik. Konsepnya sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan yang selama ini kita kenal sebagai e-Government.

Mari kita kupas satu demi satu.

Permasalahan pertama adalah pengendalian. Sederhananya, kalau pakai kecerdasan buatan, pengambilan keputusan dilakukan sepenuhnya berdasarkan peraturan yang diintegrasikan dengan algoritma.

Aslinya ini pasti bakal keren sekali. Hanya, ada banyak penelitian yang sudah mengungkap problematika kronis soal peraturan di Indonesia, baik di level Kementerian/Lembaga maupun dalam hubungan pusat-daerah. Rizal Irvan Amin dan Achmad (2020) menyebut bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia itu secara kuantitas obesitas dan secara kualitas mengalami konflik, tumpang tindih, inkonsistensi, multitafsir, dan operasional.

Sekarang bayangkan bagaimana peliknya menyusun algoritma untuk kecerdasan buatan berdasarkan peraturan yang sudahlah banyak, tumpang tindih, mana multitafsir pula?

Permasalahan kedua yang dipandang dapat diatasi oleh penerapan kecerdasan buatan adalah cost. Contoh paling gampang perubahan ini adalah pembayaran langsung PNBP ke bank untuk layanan seperti pajak kendaraan bermotor dan juga paspor sehingga memangkas peran PNS yang menjadi kasir pada pelayanan publik.

Dari sisi itu sih tidak ada masalah. Hanya, yang terbayang soal biaya alias dana a.k.a hepeng justru hal yang berbeda. Bukan apa-apa, proyek e-KTP yang bilangannya triliun itu secara konsep sungguh ciamik luar biasa brilian sundul langit. Hasilnya?

Anggarannya jadi bancakan koruptor dan KTP-nya masih saja difotokopi.

Pengadaan kecerdasan buatan di birokrasi ini sudah pasti tidak akan makan uang sedikit mengingat kompleksitas yang ada. Dan tentu saja, kita patut khawatir kisah seperti e-KTP akan terulang kembali.

Permasalahan ketiga yang bisa diatasi kecerdasan buatan adalah kenyamanan. Sebenarnya tidak perlu panjang-panjang menjelaskan hal ini karena Jeffares sudah menyebut bahwa intinya adalah perihal upaya membuat layanan publik yang saling terhubung satu sama lain dan kalau bisa sepanjang waktu alias 24 jam dan tujuh hari.

Kita semua pasti pernah mengalami harus izin kuliah atau kerja untuk mengurus SIM atau KTP. Malah sebenarnya kita pengin urusan pelayanan publik itu justru di Sabtu atau Minggu mengingat di hari biasa kita sibuk dengan bekerja dan menggerakkan perekonomian. Nah, dengan kecerdasan buatan, diharapkan pelayanan yang ada itu tidak harus semuanya tergantung pada PNS yang harus hadir di jam kerja sebagaimana dimaksud.

Sebenarnya, arah menuju ke situ sudah ada. Ada begitu banyak terobosan e-Government di Indonesia. Saking banyaknya bahkan kita sampai bingung sendiri.

Layanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten Bandung Barat beda nama dan beda sistem dengan yang ada di Kabupaten Sleman serta tentu saja dengan tempat-tempat lainnya. Sekarang kita tinggal masuk ke situs web suatu provinsi atau kabupaten maka hampir pasti kita akan melihat beragam nama aplikasi atau sistem informasi untuk berbagai layanan publik.

Kembali lagi, dengan begitu banyaknya aplikasi yang harus digunakan untuk beragam kebutuhan terkait kepemerintahan, apakah unsur nyaman itu bisa diwujudkan? Inginnya kan kita itu punya aplikasi kayak marketplace atau transportasi daring. Dengan satu aplikasi bisa beli pulsa, beli makan, pesan ojol, kirim sate buat mantan, dan berbagai kepentingan lainnya. Apalagi kalau hapenya kentang dan nggak kuat untuk install banyak aplikasi.

Terakhir, permasalahan yang sejatinya bisa diatasi oleh kecerdasan buatan adalah connection. Sederhananya hal ini akan terkait dengan unsur hubungan antara pengguna dan penyedia layanan. Jeffares menyuguhkan konsep media sosial sebagai upaya menghadirkan hubungan yang baik antara kedua unsur itu.

Permasalahannya tentu mengemuka kembali. Sekarang, kita bisa hitung ada berapa banyak sih akun media sosial pemerintah yang cukup tanggap pada keluhan publik yang hadir lewat komentar maupun DM?

Media sosial pemerintah hanya digunakan satu arah alias sekadar mengunggah informasi dan nggak pernah peduli sama komentar yang diberikan oleh publik. Kadang-kadang malah kontennya satu untuk semua sehingga tidak jarang bahwa di Twitter, kita justru menemukan tautan Instagram karena memang barangnya adalah dari IG tapi di-share juga ke Twitter.

Artinya, instansi pemerintah yang benar-benar mengurus media sosialnya dengan serius belum cukup banyak. Plus, tugas pengelolaan media sosial juga kerap bukan tugas utama. Kalah tanggap dengan admin toko online yang pekerjaannya fokus betul-betul melayani pelanggan.

Sebenarnya para PNS itu siap kok untuk berkolaborasi dengan kecerdasan buatan karena sebagian besar sudah mampu beradaptasi dengan e-Government secara prima. Namun, dengan berbagai kondisi birokrasi yang ada saat ini, jangan-jangan malah kecerdasan buatan yang memilih untuk melambaikan tangan ke arah kamera. Nggak lagi cerdas.

BACA JUGA Semakin Pengin Daftar PNS karena Kerja Budak Korporat Semakin Kayak Kuda Pecut dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version