MOJOK.CO – Keberanian Via Vallen mengungkapkan kasus pelecehan seksual yang dialami harus diapresiasi. Meski ada beberapa pihak malah menuduh hal ini merupakan pencitraan, penyanyi dangdut koplo fenomal ini harus tahu, bahwa dia tak perlu malu karena dia tidak pernah sendiri.
“Jika semua wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual atau serangan seksual menulis “me too” pada status (media sosial), kita bisa menyebarkan kepada orang banyak tentang besarnya masalah ini.”
Kalimat di atas adalah tweet artis Amerika, Alyssa Milano yang diposting pada bulan Oktober 2017. Tweet ini merupakan tanggapan dari banyaknya selebriti yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang diduga keras dilakukan oleh salah seorang produser Hollywood bernama Harvey Weinstein.
Lewat tagar #MeToo di media sosial, Milano mengajak masyarakat untuk mengungkapkan pelecehan yang juga mereka alami. Dan hasilnya? Tidak berselang lama, kisah-kisah pribadi mulai berdatangan dari netizen di semua industri seluruh dunia, dan hashtag #MeToo menjadi seruan menentang pelecehan seksual.
Hanya dalam jangka waktu beberapa hari, jutaan wanita—beberapa ada yang pria juga—menggunakan Twitter, Facebook, dan Instagram untuk mengungkapkan pelecehan seksual yang pernah mereka alami. Bahkan termasuk di dalamnya ada selebriti dan tokoh masyarakat seperti Björk dan pesenam Olimpiade, McKayla Maroney.
Jika di luar negeri sana ajakan Milano untuk melawan pelecehan seksual—bisa dikatakan—cukup berhasil, tidak demikian dengan penyanyi dangdut koplo yang sedang naik daun Via Vallen.
Miris tentu saja mendapati adanya kasus pelecehan seksual yang menimpa Via Vallen. Merunut pengakuan sang korban, pelecehan ini dilakukan oleh seorang pemain sepakbola terkenal. Tidak disebutkan memang siapa pelaku yang dimaksud, namun banyak spekulasi yang muncul bahwa yang bersangkutan bermain di Liga Indonesia.
Meski sosok yang melakukannya sudah muncul di ragam informasi dunia maya, tapi saya rasa belum saatnya juga kalau kita ramai-ramai sebutkan nama terduga pelaku di tulisan ini. Toh, sampai tulisan ini saya buat, belum terbukti secara hukum bahwa nama yang diduga kuat bermain di Persija Jakarta itu benar-benar melakukannya.
Hanya saja sayang seribu sayang, seperti pepatah bilang; lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Lain Milano lain Via Vallen. Lain netizen Amerika lain pula netizen Indonesia.
Jika di negara yang katanya negara kafir sana, netizennya malah dengan gagah berani membela korban dan ramai-ramai memberi hukuman sosial kepada pelaku, di negara—yang katanya—super religius ini malah tak sedikit yang menyalahkan Via dengan berbagai alasan.
Mulai dari anggapan bahwa Via Vallen sedang cari sensasi, terlalu berani mengumbar hal-hal pribadi, sampai ada juga komentar-komentar yang telak menyalahkan sang korban.
Contoh komentar yang paling menghabiskan amunisi kesabaran pada bulan puasa ini adalah dari Melly Bradley. “Harusnya kamu (via Vallen) bersyukur say bisa di DM dia (pemain sepakbola)” tulis Melly di InstaStory miliknya. Ebuset. Apa ini tidak kurang gila? Sudah dilecehkan begitu rupa kok malah disuruh bersyukur?
Catet ya? Bersyukur.
Hal demikian membuat saya membayangkan ada orang yang ketika melihat buruh bekerja 12 jam, rela untuk dibayar murah, tiba-tiba gajinya tidak jadi diberikan padahal kerjaannya sudah beres. Kemudian datang orang sok bijak memberi nasihat; “Ya harusnya kamu bersyukur karena masih bisa dapat kerjaan.” Bersyukur-bersyukur gundulmu pecah.
Tidak puas sampai di situ, Melly Bradley juga menganggap Via Vallen sedang melakukan pencitraan dengan share screenshot pesan dari terduga pelaku pelecehan. Pencitraan bijimana? Jadi kalau ada orang kecopetan lalu melapor ke Polisi kemudian posting musibah yang menimpanya—berharap orang lain tidak mengalami kejadian serupa—dibilang sebagai sebuah pencintraan?
Puji Tuhan, ternyata tuduhan pencitraan era 2018 begini tidak cuma diperuntukkan untuk Jokowi saja, tapi ke Via Vallen juga. Hm, benar-benar sebuah kejutan baru untuk saya.
Masalahnya, Melly Bradley ternyata bukan satu-satunya artis Indonesia yang justru menyalahkan Via Vallen. Ada nama lain yang saya tahu, misalnya Nikita Mirzani. Jika Bradley meminta Via Vallen untuk bersyukur karena sudah bisa di-DM sosok sekaliber pesepak bola profesional, berbeda dengan Nikita yang menganggap screenshot percakapan Via dan pelaku yang diposting adalah tindakan lebay. Padahal jelas-jelas si korban masih punya iktikad baik dengan menutupi-tutupi siapa sosok pelaku. Kalau memang Via Vallen ingin kasus ini tersebar lebih masif, bisa saja diumbar siapa sosok pelakunya.
Sayang sekali, pandangan masyarakat kita yang menjunjung tinggi tata krama ini malah masih sering menyalahkan korban tindak asusila. Menurut hasil survey yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia dkk. ada 93% penyintas kasus pemerkosaan tidak melaporkan kasus mereka ke Kepolisian, dan hanya 1 % yang kasusnya dituntaskan secara hukum. Kondisi-kondisi yang tak memihak korban ini bisa jadi sebab kenapa pelaku yang me-DM Via Vallen merasa tidak melakukan sebuah kesalahan apa-apa.
Jika dalam kasus ini, kita bisa melihat ada sedikitnya dua orang artis yang menyalahkan Via Vallen, hal itu saja sudah jadi cerminan bagaimana beberapa kelompok masyarakat kita menanggapi kasus semacam ini.
Mulai dari mengatakan korban merupakan perempuan nakal karena keluar malam, menganggap korban sengaja ingin diperkosa karena pakaiannya provokatif, dan yang seperti kita temui di atas menuduh korban hanya mencari perhatian. Alasan kejahatan mau sebrutal apa pun tidak bisa jadi pembenaran bagi tindak kejahatan itu sendiri.
Mungkin bagi mereka, kebiasaan buruk ini tidak apa-apa dan bisa saja dimaklumi jika sudah biasa dilakukan. Tapi, apa mereka tidak berpikir, kalau peristiwa ini terjadi pada orang-orang terdekat? Pada saudari kita? Pada anak putri kita? Coba bayangkan efek berantainya dari pemikiran semacam ini.
Mana bisa sebuah rumah yang ditinggal penghuninya kemudian ada pencuri masuk dan berhasil menggasak barang-barang berharga, lalu kita malah menyalahkan pemilik rumah; “Salah sendiri punya rumah kok ditinggal.” Jika nalar seperti ini terus yang digunakan, pantas saja makin hari tindak kejahatan bukannya makin berkurang, tapi malah semakin menjamur karena pelaku merasa punya legitimasi pembenaran.
Hari ini, ada satu penyanyi dangdut bernama Via Vallen berani bersuara menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya ke ruang publik. Ini jelas bukan sebuah keputusan mudah. Meski harus melawan cibiran dan nyinyiran dari berbagai pihak. Tindakan berani yang dilakukan Via Vallen wajib kita hargai dan dukung.
Tidak semua orang berani mengambil risiko seperti yang dilakukan Via Vallen. Dan sudah seharusnya, peristiwa ini jadi tamparan telak bagi masyarakat untuk tidak lagi menyalahkan korban sekaligus menjadi inspirasi bagi korban pelecehan seksual di luar sana agar juga mau berani bersuara. Karena kalian yang di luar sana harus tahu, bahwa kalian tidak pernah sendirian.