MOJOK.CO – Banyak majelis yang tak memberi tempat kepada muslimah yang tidak pakai jilbab. Padahal mereka juga muslimah kan?
Suatu ketika saya iseng mencari dan mengetik kata “muslimah” di mesin pencari. Saya ingin tahu sejauh mana muslimah didefinisikan oleh algoritma Google.
Hasilnya mudah ditebak, sesuai dengan apa yang ada di benak saya waktu itu. Potret muslimah Indonesia yang beragam digambarkan hanya dengan ilustrasi-ilustrasi seragam dengan ciri khas utama, yaitu jilbab.
Coba tengok saja di beranda-beranda media sosial Anda, atau paling mudah ya googling saja. Ketik kata kunci “muslimah” dan saya yakin Anda akan melihat gambar ratusan bahkan ribuan foto-foto perempuan berjilbab. Dari yang jilbab sedang, agak panjang, semi-syar’i, sampai bercadar.
Di situlah kemudian saya bertanya, lantas di mana tempat muslimah yang tidak berjilbab?
Hampir bisa dipastikan tidak ada, atau kalaupun ada suaranya tidak dominan dan tidak terdengar. Dalam wacana muslimah hari ini, perempuan yang tidak memakai jilbab seakan tidak mendapat tempat aktualisasi baik dalam ekspresi keberagamaan dan spiritualitas.
Ya gimana lagi, karena dalam pengertian banyak orang menjadi muslimah harus berjilbab. Mau sesaleh atau sesantun apapun perilakunya, jika belum berjilbab ya ia belum masuk kategori “muslimah”.
Baik di media atau di ruang ruang publik perbincangan mengenai muslimah selalu saja melibatkan perempuan-perempuan berjilbab dan nyaris melupakan mereka yang tidak berjilbab.
Salah satunya terlihat di beberapa kajian muslimah yang menjamur di masyarakat kita hari ini. Hampir setiap organisasi atau komunitas baik di kampus maupun di luar kampus membuat kajian khusus muslimah.
Di setiap perkumpulan yang melibatkan perempuan baik untuk kalangan siswi sekolah, mahasiswi, mamah-mamah muda sampai ibu-ibu yang sepuh, semua membuat perkumpulan untuk mengaji atau bahasa kerennya bikin kajian. Dan mayoritas anggotanya berjilbab.
“Di komunitas kajian kami memang khusus muslimah, Mbak. Jadi tidak ada yang tidak berhijab. Semua berhijab.”
Yah, jawaban tersebut mewakili sejumlah komunitas pengajian yang pernah saya tanyakan terkait dengan anggota komunitasnya. Pengajian-pengajian muslimah tersebut di antaranya beranggotakan muslimah dengan jilbab panjang nan syar’i, bercadar, sampai yang berbusana kekinian nan chic dan fashionable.
Namun sayang sekali, ragam pengajian tersebut tak memberikan ruang-ruang alternatif bagi muslimah yang kebetulan tidak berhijab. Ya mereka juga muslimah bukan? Memangnya muslimah hanya yang berjilbab?
Saya tidak asal klaim. Teman saya pernah bercerita ingin belajar ngaji tapi tanpa ingin mendapatkan penghakiman sana-sini terhadap sesama muslimah. Menurutnya, ia juga punya hak belajar Islam, berhak untuk bisa mengaji Al-Quran, berhak belajar tafsir hadis, berhak meningkatkan spiritualitas diri, dan juga berhak menyandang identitas muslimah.
Teman saya ini beberapa kali mengikuti pengajian di majelis-majelis ta‘lim yang mayoritas anggotanya memakai jilbab besar, bercadar, dan kerap memakai istilah-istilah Arab yang kurang familiar. Wajar jika akhirnya teman saya ini merasa canggung dan kikuk karena sadar minim ilmu agama.
Di sisi lain, teman saya menyadari kalau seluruh anggota majelis ta’lim yang ia ikuti sudah berilmu dan mumpuni dalam pengetahuan agama Islam. Baju muslimah syar’i itu justru membuatnya makin merasa inferior. Belum dengan celetukan-celetukan jazakillah, tabarakallah, masyaallah, fi amanillah, syafakillah, dan lain sebagainya.
Padahal teman saya ini sama sekali tidak tahu menahu arti kata-kata tersebut. Bahkan kebingungan mau membalas apa jika ada yang berbicara dengannya dengan menggunakan kata-kata tersebut.
Acapkali teman-teman saya yang tidak berjilbab merasa canggung untuk ikut kajian karena merasa terintimidasi oleh busana, bentuk jilbab, dan juga bahasa yang kadang memakai istilah-istilah Arab.
Padahal saya yakin, dan semoga saja demikian, bahwa anggota kajian tersebut tidak pernah secara terang-terangan menghakimi teman-teman saya yang tidak berjilbab.
Harus diakui, sudah terjadi pereduksian makna muslimah di ruang-ruang publik. Sebagaimana media sosial yang semakin mempersempit ruang gerak perempuan muslim yang tidak berjilbab.
Seperti kasus teman saya tadi misalnya. Mau tidak mau akhirnya ia memutuskan untuk berjilbab. Selain karena alasan mudah diterima, hal ini dilakukannya untuk menghindari perasaan terintimidasi di pengajian, komunitas bisnis muslimah, dan rekan sejawat.
“Habisnya ditanyain mulu, kapan pakai jilbab?”
Bahkan dari kasus ini, sebagian lain tak lagi ingin mengikuti kajian muslimah offline. Mereka lebih nyaman mengikuti dan mendengarkan ceramah dari ustaz-ustazah yang dinilai terbuka. Mereka justru menemukan kenyamanan saat mengaji secara online. Salah satunya karena merasa tidak mendapat sindiran untuk berjilbab selama belajar ilmu agama.
Seperti suatu waktu saya coba mengajak teman saya yang tidak berjilbab untuk ikut kajian, dia hanya membalas ajakan saya sambil berkata, “Nggak mau ah. Nanti ujung-ujungnya disuruh pakai jilbab, hahaha. Ngaji online aja bebas, enak. Yang penting ke kiai atau ustaz yang bener aja. Intinya aku bisa belajar tafsir Al-Quran dengan baik langsung ke pakarnya!”
Saya hanya tertawa saja mendengar kelakar teman saya itu sambil berkata, “Aman, saya tak akan bilang semoga kamu segera dapat hidayah kok.”
—000—
Harus diakui, fenomena umat muslim global hari ini tak lepas dari potret kesalehan yang diekspresikan dengan jilbab. Di Indonesia sendiri maraknya tren jilbab semakin berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir, terlebih dengan masuknya ekspresi keagamaan yang muncul di media-media sosial.
Simbol-simbol kesalehan yang diadopsi masyarakat umum menurut beberapa pakar menjadi semacam penanda islamisasi yang mulai masuk ke dalam sistem budaya sosial masyarakat kita.
Bahkan di ruang-ruang publik khususnya sekolah wacana jilbab juga sangat dominan sebagai wujud ketaatan beragama yang dianjurkan untuk para siswi. Pemahaman seperti pemakaian jilbab bahkan untuk anak usia dini menjadi asupan sehari-hari di sekolah.
Sering saya menemukan informasi di depan-depan sekolah atau tempat tertentu yang dikhususkan untuk perempuan berjilbab seperti kawasan berjilbab, hijab-only, kawasan muslimah, dan lain-lain.
Jika sudah demikian, lalu ke mana dong perempuan yang tidak berjilbab bisa ikut belajar agama? Ikut mengaji? Apakah mereka harus berjilbab dulu baru bisa masuk kategori muslimah? Dan bisa secara bebas memasuki kawasan-kawasan khusus muslimah tersebut?
Asumsi-asumsi umum masyarakat kita tentang muslimah adalah mereka yang berbusana muslim dan berjilbab. Busana muslim dianggap sebagai potret kesempurnaan perempuan muslim.
“Inilah busana yang ‘benar dan sesuai anjuran agama‘, dan bagi siapapun yang belum memutuskan untuk mengenakan busana muslim dan jilbab dianggap belum sempurna untuk menjadi muslimah.”
Busana nyatanya juga bekerja cukup signifikan untuk memberikan asumsi atas pemahaman seseorang terhadap pengetahuan agama. Atribut muslimah yang dekat sekali dengan perempuan berjilbab, apapun bentuknya, tidaklah salah tapi tidak sepenuhnya benar.
Lagi pula jika kita kembali kepada makna muslimah, sesuai definisinya, adalah perempuan muslim. Muslimah adalah mereka yang beragama dan menjalankan syarat serta rukun Islam dengan baik. Muslimah adalah mereka yang berikrar untuk menjadi umat Nabi Muhammad, mengikuti kehendak Allah dan beriman sepenuhnya kepada Allah.
Namun hari ini, menjadi muslimah seolah hanya dilihat dari busana dan jilbabnya saja. Makna ini kian direduksi oleh pemahaman keagamaan yang cenderung konservatif dan literal dalam menafsirkan teks-teks keagamaan terkait dengan masalah perempuan.
Toh nyatanya perempuan-perempuan muslim yang tidak berjilbab juga banyak dan tak jarang di antara mereka juga mampu memahami kajian-kajian keislaman. Bisa mengaji, memiliki spiritualitas dan moral yang baik. Jika demikian, tak berarti mereka harus dimarjinalkan dalam diskursus-diskursus muslimah di ruang publik kan?
BACA JUGA Kerudung di Negeri Ini dan Tafsir yang Dilekatkan Pada Kami dan tulisan Maria Fauzi lainnya.