MOJOK.CO – Karawang memang menyandang status kawasan industri terbesar di Asia Tenggara. Namun, ia kini rusak dan para pemodal tak mau bertanggung jawab.
Tahun lalu, saya sempat membaca sebuah berita di CNN Indonesia tentang Karawang. Berita tersebut mempunyai judul seperti ini: “Karawang ‘Digoyang’ Polusi, Nomor 1 Kota Udara Terburuk di RI Pagi Ini”. Sebagai anak asli Karawang, saya malu ketika harus mengakui fakta tersebut.
Saya membaca berita tersebut setelah 10 tahun merantau untuk sekolah dan kuliah. Jadi, rasanya nyesek banget di dada. Nyesek karena meski menyandang status kota industri, tetapi kota ini rentan dengan pencemaran lingkungan dan udara buruk.
Ironisnya, kebanyakan masyarakat malah bangga akan predikat “Kawasan Industri terbesar se-Asia Tenggara”. Tidak jarang saya dengar omongan ini dari teman main dan keluarga sendiri. Mereka bilang, “Keren ya Karawang, sekarang jadi kota industri terbesar, bisa setara sama kota-kota besar.”
Biasanya, mereka menambahkan kalimat kayak gini: “Kalau kerja mah mending di sini. Pabriknya banyak, gaji UMR-nya juga gede.” Lalu mereka menutup kalimat dengan tersenyum lebar. Sudah begitu nada bicaranya terdengar riang, semringah, jemawa, tanpa memikirkan efek buruk dari industri.
Kecantikan Karawang dan alasannya pemodal begitu mengidamkannya
Di mata para pemilik modal, Karawang itu secantik primadona. Kota ini sungguh memesona, dengan masih banyak lahan kosong nan luas untuk memuaskan nafsu kapitalis.
Selain itu, letak geografis Karawang yang terhitung strategis. Irvan Maulana, lewat Detik, menulis begini: “Kabupaten Karawang memiliki sejuta pesona. Kabupaten ini juga disebut sebagai center point of industry. Bahkan saat ibu kota negara berpindah ke Kalimantan, Karawang dinilai akan tetap menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.”
Berita itu muncul setelah Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Karawang, Eka Sanatha, berpendapat. Dia bilang gini:
“Karawang ini daerah dengan realisasi investasi tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Karawang kabupaten ramah investasi, dan infrastruktur lengkap untuk menunjang investasi.”
Sudah begitu, Eka Sanatha juga menjelaskan bahwa daerah ini memang strategis. Maklum, dekat dengan daerah metropolitan, Bandara Soekarno-Hatta (berjarak 90 kilometer saja), ada stasiun kereta cepat, dan punya beberapa gerbang tol.
Karawang yang di-PHP-in
Kisah asmara antara pemilik modal dengan Karawang mirip kisah asmara remaja brengsek. Ketika berhasil mendapatkan pujaan hatinya, di awal pacaran pasti bucin dan romantis. Tapi, ujungnya, disia-siakan juga.
Jadi, para pemilik modal, kalau minta izin membuka usaha, misalnya pabrik, ke Pemda dan masyarakat, pasti merayu semanis mungkin. Mereka siap kasih apa saja dan nggak masalah mengeluarkan uang banyak.
Misalnya di desa tempat saya tinggal di mana saat ini sudah banyak pabrik. Dulu, saat mau membeli sawah dan tanah desa untuk pabrik, masyarakat tidak langsung mau melepas. Para pemodal itu lantas mohon-mohon dan minta bantuan pemda buat negosiasi.
Sampai pada akhirnya masyarakat desa mau melepas sawah dan tanah dengan syarat pemodal tidak merugikan masyarakat. Pihak pemodal dan calon pemilik pabrik akhirnya setuju.
Tapi kenyataanya sekarang, jalanan desa sering hancur gara-gara mobil gede mereka. Udara desa semakin terasa kering, tanah semakin tandus dan berdebu, udah kayak di padang pasir.
Lebih parahnya, setiap pukul 1 malam, limbah pabrik yang berkabut dan berbau busuk sering masuk ke desa dan bikin sesak. Pihak pabrik sempat nggak peduli, sebelum masyarakat protes keras. Meskipun setelah itu mereka nggak peduli lagi. Masyarakat sampai capek untuk komplain dan protes.
Izinkan saya curhat
Buat Pemda, buat warga Karawang yang bangga sama predikat kawasan industri terbesar, izinkan saya curhat. Pertama, coba renungkan 2 cerita singkat yang saya kutip khusus untuk para pemilik pabrik beserta anak buahnya.
Cerita #1: Malik adalah teman dekat saya. Rumahnya di Badami. Dalam esainya yang berjudul “Pantura Multiverse: Optimus Prime ke-gap Lewat Badami-Loji” dia bercerita begini:
“Orang-orang asing datang dan Badami turut menjadi letak tumbuh kembang perindustrian Karawang. Mobil-mobil pengangkut besar berlalu-lalang membuat jalanan rusak dan semakin banyak kecelakaan lalu-lintas parah seperti pengguna motor yang terlindas truk proyek.”
Di paragraf lain dia juga bilang:
“Sebenarnya, yang menjadi intinya ialah Jalan Badami-Loji gak boleh dilalui oleh kendaraan dengan berat di atas 8 ton, karena jalannya termasuk dalam pemukiman milik kampung setempat atau gampangnya ya mana ada jalan kampung dipake lewat mobil tronton sih, ah! dan ini valid sama UU No. 22 Tahun 2009, loh. Ruas Jalan Badami-Loji merupakan jalan kelas III yang hanya boleh dilintasi kendaraan berbobot di bawah 8 ton.”
Jalan di daerah rumahnya Malik ini satu dari beberapa jalan menuju pegunungan Karawang, tepatnya daerah Loji. Saat ini, gunung-gunung di sana habis jadi sasaran perusahaan belerang.
Cerita #2: Yuda Febrian Silitonga, lewat esainya yang berjudul “Karawang Undercover: Dalam Kepungan Imperialisme Global” bilang begini:
“Di Cilamaya, jauh dari riuh perayaan (ulang tahun Karawang di pusat kota), bising mesin pengolah gas menggetarkan gendang telinga warga Cilamaya Wetan. Setiap malam bisingnya selalu menghantui tidur para nelayan dan warga sekitar, bergemuruh seperti suara mesin pesawat yang akan take off. Sumber kebisingan itu berwujud raksasa pencipta energi bernama PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) Jawa Satu yang memiliki FSRU (Floating Storage & Regasification Unit) di laut lepas pesisir Utara Karawang.”
Cilamaya punya laut dan pantai. Dan kini, di sana, berdiri PLTGU Jawa Satu. Menurut Yuda, limbah PLTGU menjadi salah satu penyumbang pencemaran udara.
Kami minta ada tanggung jawab
Saya harap, dari 2 cerita di atas, para pemodal, pemilik pabrik, pengusaha, maupun investor, jangan lagi sia-siain Karawang. Kami sudah menerima pabrik-pabrik kalian apa adanya. Jangan cuma bisa “ngerusak” doang dan jangan anggap kami sebagai pelampiasan. Masak habis manis sepah dibuang.
Kalian mesti sadar, kalau Karawang kini sudah “rusak” dan membutuhkan kalian. Perlu ada sikap peduli dan kemauan merawat atau melestarikan lingkungan. Kalau sayang sama Karawang, Karawang akan balik sayang sama kalian, sama pabrik-pabrik kalian.
Kalian seharusnya paham bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dalam hal ini, 2 perusahaan besar di Karawang yaitu, PT HM Sampoerna Tbk dan PT Astra Daihatsu Motor (ADM) bisa jadi contoh. Mereka mendanai pembuatan biopori di desa terdekat dan mulai menggunakan panel surya. Toh, tidak akan rugi kalau harus membantu meningkatkan sektor lingkungan agar bersih kembali.
Membuat sumur biopori dan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau panel surya dapat menjadi motivasi untuk menumbuhkan lagi rasa sayang pada Karawang. Untuk menumbuhkan juga motivasi bagi perusahaan lain agar bersedia dan berinisiatif memperbaiki kondisi lingkungan di Indonesia.
Ada banyak cara atau metode pelestarian lingkungan. Sebanyak apapun pabrik atau industri-industri yang berdiri di Karawang, akan lebih indah bila seluruh perusahaan di sana, memiliki metode untuk melestarikan lingkungan.
Semoga unek-unek saya ini tidak berakhir jadi omong kosong belaka. Saya sekadar mengamalkan kata-kata W. S. Rendra, yaitu “Apalah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan.”
Penulis:
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Karawang Kota Industri, tapi Warganya Terpaksa Jadi TKI dan keluh kesah lainnya di rubrik ESAI.