MOJOK.CO – Ketika kamu menyamakan mahar nikah dengan kasus Vanessa Angel atau membenarkan perniagaan diri perempuan sebagai hak asasi, maka komen saya: modarcocote!
Di sebuah tautan qureta.com, saya membaca sebuah tulisan dengan judul dan isi yang sungguh inspiratif: Vanessa Angel Berhak Jual Diri.
Spontan saya mbatin, mdrcct (baca: modarcocote)!
Tak lama berselang, saya baca postingan seorang kawan fesbuk yang memaki para abegeh koplak yang menertawakan buibu yang “kalah harga” dibanding Vanessa. Hal yang jadi titik didihnya ialah penyamaan mahar pernikahan—lazimnya seperangkat alat salat seharga ratusan ribu—dengan upeti yang harus dibayarkan untuk bisa kencan dengan Vanessa.
Ketika mahar entengan dianggap setara saja dengan tarif, spontan saya mbatin, mdrcct!
Dua kali saya menggunakan diksi mdrcct, jasa pisuhan khas Gus Lord Rio Tedjo Cahaya Asia, untuk mengekspresikan kesalnya saya di satu sisi dan lucunya kenyataan itu di sisi lain. Ngana tahu? Tatkala kekesalan bersekutu dengan kelucuan, tiada ungkapan pisuhan yang lebih mewakili guruh perasaan selain MDRCCT.
Untunglah kemudian saya menemukan komen Yu Limbuk—beliau ini, bersama Gus Lord Rio, adalah sejoli idola saya—pada sebuah akun yang berkata, “Dol awak ae po yo aku lagi miskin iki. Tapi lek 80 jt yo jelas gak payu aku ki lah lah L.”
Jual diri saja apa ya aku lagi miskin ini. Tapi kalau 80 juta ya jelas nggak laku lah aku ini L.
Tahu apa komenan idola saya Yu Limbuk yang bikin saya terkekeh sumringah meski tetap saja dalam hati ndermilil “mdrcct”?
Ini: “Ojo langsung 80 jt, Sel. Rodo murah sek, ngko lagi diundakne mboko sithik.”
Jangan langsung 80 juta, Sel. Agak murah dulu, nanti baru dinaikan sedikit-sedikit.
Sungguh nasihat ndagel khas Jogja yang paripurna.
FYI, sorge saya ketika menguarkan “mdrcct” di dua kenyataan pertama jelas beda marwah kebahagiaannya dibanding mbatinan saya pada Yu Limbuk. Yang pertama perasaan kesal tapi koplak ngehek, yang kedua perasaan ndagel ngekek atas sebuah parodi.
Saya lalu menulis sebuah status begini di fesbuk: “Cobalah kau beli kopi di kedai manapun. Begitu sudah dihidangkan, tuanglah kopi itu ke mejamu. Ya, itu kopimu. Hakmu. Suka-suka kamu sebagai pemilik sahnya. Jika pemilik kafe mempermasalahkannya, katain saja dia kolokan, goblok, sebab hanya kamu yang jeniyes sesuog-suognya.”
Tanpa perlu mengudar pandangan ndakik-ndakik John Locke yang dicocoklogikan dengan Aristoteles sedemikian raciknya agar nampak mulia-jeniyes-bahagia (ya, ya, ya, ini memang khas hawa nafsu penulis abegeh) di hadapan pembaca kelas Tsanawiyah.
Kedua kenyataan yang menganggap sah-sah saja perempuan untuk melacurkan diri atas nama hak individu dan meledek mahar pernikahan seperangkat alat salat sebagai bentuk hegemoni perempuan yang—kita tahu—sama-sama ra mutune (nggak mutu).
Sesuatu yang ra mutu niscaya hanya lahir dari dua kemungkinan: pertama, pikiran yang ra mutu karena sesak oleh tendensi personal/komunalnya namun hatinya tetap menyinarkan perlawanan, dan kedua, pikiran dan hatinya bersekutu untuk menyembah kepentingannya sehingga bablas segalanya.
Ini, dalam pelbagai bentuknya, amat sangat kerap terjadi di lingkungan kita, bahkan diri kita sendiri.
Jadi, dua kenyataan mdrcct di atas bukan satu-satunya belaka. Dengan kata lain, kita pun amat potensial menjelma kelompok ora mutu tersebut, dan tentu saja kita berhak menyandang predikat mdrcct pula.
Ambil saja contoh nyata begini.
Ada begitu banyak perempuan muda yang belum menikah berteriak-teriak kencang tentang diskiriminasi perempuan di ruang privat rumah tangga. Perempuan yang melakoni hidup sebagai ibu rumah tangga murni dikhutbahi sedemikian heroiknya dan didorong dengan teori-teori kritis meyakinkan untuk membebaskan diri dari belenggu rumah tangga tersebut.
Ada pula begitu banyak ibu muda yang bayinya baru seumuran jagung bule mengkhutbahi buibu ginuk-tangguh-banyak-anak perihal cara menyuapi anak. Jangan sambil main, tak boleh sambil lari-larian, harus fokus, harus berpendekatan begini-begitu, seolah pengkhutbah adalah kaum beradab dan yang dikhutbahi kaum niradab.
Pun makin berjubel saja perempuan (juga lelaki) yang menikah muda mengkhutbahi orang-orang berumur matang-pohon untuk bersegera menikah seperti dirinya, seolah menikah merupakan jalan penyelamatan satu-satunya bagi kemaslahatan thythyd dan bahkan kekaffahan umat Rasulullah Saw.
Seorang aparat hukum cum polisi bahkan begitu viral gara-gara mengunggah tips menakjubkannya agar kaum perempuan terhindar dari pelecehan seksual dan pemerkosaan. Yakni, pakai pakaian rapat serapatnya dan menikahlah sebab dengan menikah akan terkawal dan terjaga ke mana-mana.
Kaum usia Tsanawiyah yang memekik-mekik khutbah sedemikian rupa kepada orang lain itu dapat dipastikan sejajar belaka dengan seseorang yang begitu bersemangat berbicara bisnis di saat ia baru kemarin sore mulai berbisnis atau malah belum terjun sama sekali.
Ibaratnya, mereka berkata, “Mau bisnis apaan, ndak ada modal gini?” di saat mereka tak punya modal. Lalu mereka berkata, “Betapa sulitnya mulai berbisnis hari ini, mau bisnis apa ya?” ketika modal telah tersedia.
Dan, mereka berkata lagi, “Bagaimana cara menjualnya ya?” manakala produk sudah ada di genggaman. Tak ada ujungnya! Maklumilah, sebab cocot lidah memang tak bertulang dan kepentingan cum dalih serta argumen dan teori memang tiada batasnya.
Di hadapan yang demikian-demikian itu memang tiada ekspresi lain yang paling mewakili kecuali, “mdrcct!”
Ini karakter kita banget, dapat dikatakan semua kita. Ihwal lantas sebagian kita ternyata tak benar-benar akut dalam membelanjakan mdrcct-nya, di titik itulah letak signifikansi “hati nurani”. Baiklah, dalam bahasa filosofis, kita mengerti benar perbedaan kebenaran dan pembenaran.
Tatkala Syekh Siti Jenar yang juga bergelar Syekh Abdul Jalil yang masih keturunan Syekh Maulana Ishak dieksekusi oleh dewan wali karena ajaran Manunggaling Kawula Gusti, tidak berarti para wali tak benar-benar menyepakati adanya tasawuf, ittihad, dan wahdlatul wujud dalam tradisi Islam. Apa yang digaungkan Siti Jenar memiliki silsilah keilmuan yang kuat dan otoritatif.
Hanya lantas jalan hidup menisbatkan suatu kondisi yang tak berpihak padanya, dan di dalamnya jelas sarat perkara tendensi-tendensi sosial-politik. Sebagian orang bisa saja kecewa dengan keputusan dewan wali tersebut, namun sebagian lain mengiyakannya. Tergantung pada positioning.
Ini persis dengan positioning kamu ketika kini menertawakan mahar seperangkat alat salat di hadapan “mahar” Vanessa dan pula sederajat belaka dengan pekikan penulis Tsanawiyah yang menasbih John Locke untuk membenarkan aktivitas perniagaan Vanessa.
Di mana posisimu, di situlah kamu akan berdiri, berpikir, berkata, dan bertindak.
Hanya saja, orang Jawa manasihatkan begini kan, “Ngunu yo ngunu ning ojo ngono.” Begitu ya begitu tapi ya janganlah begitu. Tendensi ya tendensi tapi ya jangan begitu. Social Justice Warrior ya SJW tapi ya jangan begitu. Mdrcct ya mdrcct tapi ya jangan begitu.
Cara meneguhkan diri di hadapan begitu-begituan aslinya sederhana tapi ya juga tak sederhana. Sederhana bila kamu meyakini bahwa kebenaran itu selalu ada, selalu kita tahu, selalu insight di dalam sanubari kita; tak sederhana bila kamu menumpas kebenaran nurani dan menukarnya dengan pembenaran-pembenaran positioning apa pun.
Dikarenakan jangkarnya adalah KEYAKINAN, ia ranahnya adalah hati, rohani, nurani. Siapa yang bisa menakar isi hati?
Tak ada, kecuali diri sendiri dan Tuhan.
Jadi, lantas, buat kita semua di luar pelaku suatu kenyataan atau komenan yang begitu rupa, tiada hak dan otoritas kita selain membatin atau nyekikik, “MDRCCT!” sembari ngolesin balpirik atau kayu putih atau minyak tawon ke pinggang, pundak, dan leher yang makin gampangan linu-linu.
Atas dasar hal tersebut, tulisan ini jan-jane ndak penting blas untuk ditulis, apalagi dibaca. Jika kamu membacanya juga, saya ucapkan, “MDRCCT!” bersama saya yang menulisnya.