MOJOK.CO – Pelajaran paling penting bagi kampus adalah jangan hanya mewajibkan mahasiswa, tapi tidak dibekali etika dalam publikasi artikel di jurnal ilmiah.
Pernah ada artikel yang masuk ke jurnal ilmiah. Artikelnya sudah di-review, tinggal terbit. Tiba-tiba, penulisnya menghubungi kami.
Dengan ringan, si penulis, melalui aplikasi pesan pendek, membatalkan publikasi. Adalah Faizal Risdianto, managing editor Register Journal Universitas Islam Negeri Salatiga (UIN Salatiga) yang menceritakan kejadian ini saat bertemu saya pada Kamis (20/6/24). Kebetulan, Universitas Islam Negeri Mas Said Surakarta mengundang kami untuk mengisi pelatihan penulisan artikel ilmiah pada jurnal bereputasi nasional.
Sebagai sesama pengelola jurnal ilmiah, cerita di balik meja seperti ini, menjadi keprihatinan kami. Dalam proses publikasi artikel di jurnal ilmiah, ada proses review yang dilakukan oleh reviewer. Yang menghubungi reviewer adalah editor.
Nah, mencari dan menghubungi reviewer tidak sederhana. Editor harus menyesuaikan dengan keahlian akademik dari reviewer. Artikel yang diterima akan berlanjut pada copy editing, selanjutnya production.
Pekerjaan ini dilakukan melalui aplikasi bernama Online Journal System (OJS). Editor membagikan kepada reviewer, selanjutnya melalui OJS pula reviewer bisa melakukan proses review. Keputusannya bisa diterima, revisi mayor, revisi minor, atau ditolak.
Pada cerita yang dibagikan Faizal Risdianto, artikelnya sudah diterima. Tinggal segera menuju terbit, namun penulis menarik artikelnya. Usut punya usut, artikel tersebut ditulis untuk tugas akhir kuliah. Karena sudah lulus, penulisnya merasa tidak butuh lagi meneruskan sampai tahap produksi.
Penulis tidak sadar ada problem etis
Masalahnya adalah penulis tidak menyadari ada problem etis di sana. Bahwa menarik artikel dari jurnal ilmiah ketika sudah siap terbit akan menyakiti berbagai pihak.
Pihak pertama yang tersakiti adalah editor yang menjadi pengelola jurnal. Kerja-kerja editor memproses artikel penulis menjadi menjadi sia-sia.
Pihak kedua yang tersakiti adalah para reviewer. Penilaian reviewer terhadap kelayakan artikel menjadi tiada guna. Pihak terakhir yang tersakiti adalah para penulis lain yang telah mengirimkan artikelnya.
Penerbitan jurnal ilmiah bisa tertunda akibat ada artikel yang tidak jadi terbit. Bisa jadi sebagian penulis jurnal membutuhkan artikelnya terbit tepat waktu untuk kebutuhan kepangkatan akademik, kelulusan studi, atau mendapatkan nilai dari tugas kuliah.
Baca halaman selanjutnya: Mahasiswa harus paham etika publikasi jurnal ilmiah.
Membatalkan proses publikasi di jurnal ilmiah
Tentang membatalkan artikel yang siap terbit bukan hanya cerita dari Faizal Risdianto. Cerita serupa disampaikan Filosa Gita Sukmono, editor in chief Jurnal Komunikator yang diterbitkan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Ada penulis yang marah-marah karena diminta membayar biaya publikasi, atau yang biasa disebut Article Publication Charge (APC). Si penulis menyatakan keberatan.
Padahal, di panduan penulis (author guidelines) Jurnal Komunikator sudah jelas ditulis sebagai berikut: “Article Submission: 0.00 (IDR). Authors are not required to pay an Article Submission Fee as part of the submission process to contribute to review costs. Article Publication: 1500000.00 (IDR). If this paper is accepted for publication, you will be asked to pay an Article Publication Fee to cover publication costs and the translation language of the manuscript.”
Sama dengan cerita pertama, cerita kedua ini secara etika deontologi, membawa konsekuensi pada kacaunya tatanan dalam pengelolaan jurnal ilmiah. Berbagai pihak akan dirugikan oleh pembatalan publikasi artikel di last minutes.
Sudah selesai review, tidak direvisi
Cerita lain yang menarik, dinarasikan oleh Dani Fadillah. Dani adalah sahabat saya, dosen Universitas Ahmad Dahlan, yang juga rajin mengelola jurnal ilmiah. Ceritanya demikian.
Suatu hari, saat masih kuliah doktoral di Nanjing Normal University China, ada profesornya yang menanyakan tentang penulis dari Indonesia, yang tidak melakukan proses revisi. Padahal, artikelnya telah selesai di-review.
Setelah menyeruput kopi di sebuah warung depan kampus, Dani menceritakan betapa jengkelnya sang profesor terhadap perilaku penulis dari Indonesia. Dalam obrolan kami, benang merahnya akhirnya ketemu.
Penulisnya mengirim artikel saat masih berposisi menjadi mahasiswa. Pengiriman artikel didasari kebutuhan untuk studi. Karena sudah lulus, mahasiswa bersangkutan merasa sudah tidak perlu lagi melakukan revisi. Bahkan bisa jadi tidak lagi membuka surat elektronik dan akun OJS dari jurnal yang ditujunya.
Tidak diteruskannya proses revisi mengacaukan proses penerbitan. Menjadi sia-sia kerja akademik reviewer yang telah melakukan proses review.
Belum kirim artikel sudah minta LoA
Publikasi artikel di jurnal ilmiah kini menjadi fenomena yang sedang tren di pendidikan tinggi. Kampus mendorong mahasiswa, bahkan sampai tingkat mewajibkan, publikasi artikel penelitian.
Tingginya publikasi artikel di jurnal akan meningkatkan pemeringkatan kampus. Sayangnya, usaha mengejar publikasi secara masif tidak diiringi etika dalam proses publikasi.
Suatu hari, seorang yang tidak saya kenal mengirim pesan pendek melalui WhatsApp. Dibuka salam dan perkenalan, lalu dilanjutkan dengan pesan sebagai berikut:
“Saya akan mengirim artikel, bisakah mendapat LoA”.
LoA yang dimaksud adalah Letter of Acceptance, surat bukti bahwa artikel diterima dan dinyatakan terbit. Sungguh luar biasa, artikel belum dikirim sudah minta LoA.
Normalnya, LoA diberikan oleh pengelola jurnal ilmiah kepada penulis yang artikelnya sudah dinyatakan terbit. Artinya, artikelnya sudah melalui proses review. Ada juga yang baru kirim, langsung minta LoA.
Ada jurnal yang (mungkin) karena kesal dengan perilaku penulis yang acap minta LoA di awal, membuat pengumuman bahwa pengelola jurnal tidak mengeluarkan LoA. Segala proses dalam publikasi dilakukan melalui OJS, yang serempak terkirim ke surat elektronik yang digunakan penulis saat register sebagai penulis.
Permintaan LoA di atas bermotif untuk kebutuhan kelulusan studi atau laporan penelitian. Ada perguruan tinggi yang mensyaratkan cukup dengan LoA sebagai syarat kelulusan.
Asumsinya, dengan adanya LoA, artikel yang dikirim dipastikan akan terbit. Lamanya proses publikasi di jurnal dituding menjadi sebab. Tentu ini masih bisa diperdebatkan. Proses publikasi di jurnal memerlukan proses review, terutama karena menyangkut dengan kualitas artikel yang terpublikasikan.
Perlunya etika dalam publikasi artikel di jurnal ilmiah
Perguruan tinggi yang mendorong, terutama mewajibkan publikasi di jurnal ilmiah bagi para mahasiswanya, seharusnya bukan sekadar mewajibkan. Sekadar mewajibkan publikasi artikel di jurnal tanpa memberi bekal kepada mahasiswa sama dengan mengirim prajurit ke medan perang tanpa diberi bekal.
Mahasiswa harus mendapat bekal secara hard skill dan soft skill. Yang pertama adalah berkaitan dengan menulis artikel untuk publikasi di jurnal ilmiah yang berkualitas, bagaimana mengirim artikel melalui OJS, dan sejenisnya.
Yang kedua, adalah tentang etika dalam publikasi artikel di jurnal ilmiah. Penarikan artikel yang telah diproses, tidak melanjutkan proses revisi, dan permintaan LoA di awal sebelum selesai proses review adalah hal-hal yang perlu disampaikan ke mahasiswa.
Ini bisa disampaikan kepada mahasiswa melalui pelatihan, seminar, insersi ke mata kuliah, atau bahkan menjadikan penulisan artikel untuk jurnal sebagai mata kuliah. Yang penting, sampaikan kepada mahasiswa. Nir-etika penulis dalam proses publikasi artikel di jurnal justru akan merusak reputasi kampus di mata para pengelola jurnal.
Di beberapa mata kuliah yang saya ampu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mahasiswa saya dorong untuk melakukan publikasi artikel di jurnal ilmiah sebagai luaran kuliah. Mahasiswa melakukan riset dalam proses kuliah yang berujung pada dihasilkannya artikel sesuai template jurnal.
Misalnya, dalam mata kuliah Etika Periklanan, mahasiswa melakukan riset terhadap pelanggaran etika dalam iklan. Pengerjaannya dilakukan dalam kelompok kecil beranggotakan tiga orang.
Mahasiswa mendapat kesempatan untuk konsultasi secara intensif dengan dosen. Di akhir kuliah, mahasiswa melakukan pengiriman artikel ke jurnal melalui OJS. Pengiriman harus dilakukan di depan saya agar tidak ada kesalahan dalam pengisian metadata. Dalam hal etika publikasi, menjadi hal yang selalu saya tekankan.
Pelajaran paling penting bagi kampus adalah jangan hanya mewajibkan mahasiswa, tapi tidak dibekali etika dalam publikasi artikel di jurnal ilmiah.
Penulis: Fajar Junaedi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 7 Kesalahan Mahasiswa Saat Menulis Artikel di Jurnal Ilmiah dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.