Kafir-Mengkafirkan Sedari Kecil

kafir

Membaca tulisan Mas Khadafi Ahmad perihal kafir-mengkafirkan, saya jadi teringat masa-masa saya ketika masih menjadi anak sekolah, yang saking unyunya memandang keislaman dan kekafiran secara lugu dan jauh lebih hitam putih dibandingkan cara pandang orang-orang kekinian.

Saya masih ingat jelas apa yang terbayangkan di kepala saya ketika mendengarkan kata “kafir”: seorang lelaki dengan wajah oriental, memakai baju hitam lengan panjang dengan garis-garis keemasan pada bagian kancingnya, berkacamata, dan dikelilingi ornamen-ornamen berbagai warna serupa natalan. Entah kenapa itu yang saya bayangkan, wallahu’alam. Dari Ibu saya mengetahui bahwa kata tersebut digunakan untuk menyebutkan orang-orang yang bukan Islam. Ketika itu, surga dan neraka bagi saya hanyalah perkara baik dan jahat, dan saya tidak tahu apakah orang yang bukan Islam itu jahat.

Adalah guru agama saya di SD yang memperkenalkan surga sebagai tempatnya kaum muslimin dan neraka sebagai tempat kaum kafir. Kebetulan, saya menjalani masa-masa SD di sebuah sekolah yang memang cara pengajarannya semi Islam. Maka, ketika guru agama saya mengatakan bahwa orang Kristen itu beribadah dengan cara yang… lain (sengaja tidak saya sebutkan sebab analoginya sangat sensitif dan menyinggung) dan karenanya mereka akan masuk neraka, saya menelan itu bulat-bulat.

Pengalaman mengkafirkan pertama saya adalah ketika di kelas, sebuah isu merebak. Isu tersebut menyangkut salah satu anak perempuan di kelas saya yang disebutkan sebagai orang Kristen. Kontan, saya bersama kawan-kawan lain langsung meledeknya, tentu berbekal pengetahuan kami yang hanya berasal dari ucapan sang guru agama.

Letak lucunya di sini: si anak perempuan yang kami ledek “kafir” ini berhijab dengan sempurna, dan tak sungkan ketika kami menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Satu-satunya yang menjadi alasan kami meledeknya adalah sebuah ucapan dari anak perempuan lain yang mengatakan bahwa ia pernah melihat si anak perempuan ini pergi ke gereja. Hanya dengan berbekal informasi ini, kami terus meledek si anak perempuan hingga menangis dengan menakut-nakutinya pakai kata-kata pak guru agama.

Ketika saya menceritakan perihal ini ke Ibu, beliau lantas memarahi saya lantaran meledek anak perempuan hingga menangis. Dan ketika saya mengatakan bahwa saya dan kawan-kawan tidak mau ikut masuk neraka gara-gara memiliki kawan sekelas yang kafir, Ibu berkata begini, “Apakah dia kafir ataupun tidak, Islam ataupun bukan, mengejek orang sampai menangis, terlebih lagi perempuan, itu tidak baik!”

Masa SMP (awal-awal kelas 7 SMP), saya dimasukkan ke sebuah sekolah semi pesantren yang merupakan kerjasama Indonesia dan salah satu negara Timur Tengah. Di situ, keislaman saya makin digojlok: selain perbedaan kafir dan muslim yang semakin dipertajam, kami juga diperkenalkan dengan konflik Israel-Palestina; sebuah penindasan jangka lama dari kaum zionis kepada umat Islam.

Lalu saya pindah ke Kuala Lumpur pada semester kedua kelas 7 SMP ke sebuah sekolah umum khusus WNI yang ada di sana. Saya cukup terkejut ketika itu karena salah satu anak lelaki yang menyambut kedatangan saya beretnis Tionghoa dan beragama Buddha. Di sampingnya adalah seorang anak lelaki lagi yang beragama Kristen. Selain dua siswa tersebut, yang lainnya beragama Islam. Si anak beragama Buddha rupanya sudah berada di sekolah itu sejak kelas 1 SD dan dianggap oleh siswa lain sebagai “tetua”, mungkin karena jiwa kepemimpinan dan pergaulannya ciamik betul. Sedangkan si anak beragama Kristen adalah salah satu anak terpandai di kelas.

Suasana yang saya hadapi pun jauh berbeda dari apa yang sudah saya alami: teman-teman yang saling bermain tanpa kenal perbedaan, saling buli-membuli atau saling ledek yang sama sekali tak menyangkut agama.

Ketika pelajaran agama Islam, si anak beragama Buddha dan Kristen akan berada di luar dengan urusan masing-masing, atau malah terkadang tetap di kelas. Guru agama Islam saya ketika itu pun nampaknya tidak masalah. Beliau adalah seorang lelaki paruh baya yang sudah memutih rambutnya, dan berkata-kata layaknya seorang guru ngaji zaman-zaman dahulu. Namun beliau selalu berhati-hati dalam memilih kata dalam penyampaian materi sehingga kesannya tidak menyudutkan siapa pun, terutama ketika dua anak non-muslim ini sedang berada di kelas.

Hal yang sama terjadi pula ketika saya berada di jenjang SMA. Berhubung sekolah kami kecil, maka dalam satu angkatan hanya akan ada anak itu-itu saja, selain ditambah sedikit anak baru. Alhasil, saya masih sekelas dengan si anak beragama Buddha, sedangkan yang Kristen balik ke Indonesia ketika kelas 9 SMP. Ketika kelas 11, anak beragama Buddha malah sukses jadi ketua OSIS, padahal mayoritas siswa sekolah adalah Muslim, dan lawannya adalah seorang Muslim pula. Dan asal tahu saja, pacarnya, mulai sejak kelas 9 SMP, adalah perempuan-perempuan beragama Islam yang lengkap berhijab.

Pada masa-masa seperti inilah, saya sesekali menanyakan kepada pendapat Ibu tentang orang-orang seperti kawan saya yang Buddha ini —orang-orang “kafir” yang cenderung baik. Pasalnya, ia sudah begitu menyatu dengan kami, bahkan mengatakan bahwa jika ia adalah seorang Muslim, kedua orang tuanya akan menjadikannya Muslim yang taat. Mendengar pertanyaan saya, Ibu hanya mengutarakan pendapatnya.

“Silakan meyakini bahwa orang-orang kafir akan masuk neraka. Tetapi, apa hak kita menyeru kepada mereka secara langsung bahwa mereka akan masuk neraka, toh kita sendiri belum tentu masuk surga? Surga dan neraka itu dimensinya Allah, bukan dimensi kita.”

Pada akhirnya, rangkaian pengalaman selama SD sampai SMA ini menyadarkan saya akan banyak hal, bahwa kasus kafir-mengkafirkan dalam tahap anak-anak bisa jadi memang sudah ada sejak dulu, hanya saja media sosial dan sensitivitas masyarakat yang semakin tajam pada masa kini membuat kasus seperti itu semakin terekspos. Bahwa fenomena kafir-mengkafirkan ini benarlah lahir dari lingkungan, utamanya keluarga, sekolah, dan pergaulan.

Kalau sudah begini, rasanya ingin sekali saya berdoa, semoga kelak, saya bukan termasuk orangtua yang hobi mengkafirkan orang lain, dan semoga anak saya kelak memanjatkan doa yang sama.

 

Exit mobile version