Setahun sudah pemerintahan saya dan Pak JK. Saya ingin berbagi pengalaman dengan pembaca Mojok.co. Bukan apa-apa, saya tahu pembaca situs ini adalah generasi kritis dan cerdas. Tiap ada kebijakan baru dari pemerintah, selalu saja dikritisi dengan pandangan yang out of the box. Saya senang membaca Mojok.co, karena ide dan gagasan para penulisnya sangat orisinal. Selain itu, tentu saja, saya selalu tertawa membaca tulisan yang sedikit nakal banyak akal. Karena itulah, jika boleh (dimuat) saya ingin menulis untuk para pembaca situs ini.
Siapa tahu saya jadi presiden pertama yang menulis di Mojok.co. Kita semua tahu untuk dimuat di situs ini sangat sulit.
Jangan dikira saya tak punya waktu membaca, apalagi membaca Mojok.co. Staf saya di Kantor Kepresidenan, di bawah komando Kang Teten Masduki, banyak dari kalangan wartawan dan aktivis. Mereka sering menyodorkan ke saya artikel baru dari Mojok.co. Juga tulisan yang telah dibukukan, Surat Terbuka kepada Pemilih Jokowi Sedunia. Kata mereka, Mojok.co itu bukan Jokower bukan pula hater, tapi orang pinter (bukan semacam dukun, lho). Kalau Soekarno bilang, berilah sepuluh pemuda maka akan aku guncang dunia, Saya berani berkata, berilah sepuluh penulis Mojok.co maka akan aku goyang dunia!
Pada awal saya jadi presiden, banyak yang mengkritik penampilan saya. Maklum memang belum banyak kebijakan yang keluar. Penampilan saya memakai jas dikritik, gaya saya berbahasa Inggris di luar negeri dibuli, juga saat saya mendownload mantu (ngunduh mantu) di Solo. Tapi tak mengapa. Jika hal remeh-temeh yang dikritik, ini bukti si pengkritik tak punya bahan untuk mengkritisi substansi kebijakan saya.
Ada yang mengkritik setahun pertama pemerintahan, dalam pernyataan dan pidato saya terlalu banyak memakai kata “akan”. Saya ingin sampaikan itu memang betul. Semua harus dimulai dengan “akan” atau will. Bukankah ada peribahasa where there is will there is way, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Bukan where there is wave, there is whale! Kalau tukang parkir, di mana ada jalan di situ ada pekerjaan.
Saya dikritik karena negara tak minta maaf kepada korban peristiwa 1965. Apa susahnya minta maaf kepada korban? Mohon maaf, saya kasih tahu ya, saya ini presiden untuk seluruh rakyat. Saya menyadari, masih banyak warga bangsa ini yang tiap tahun selalu minta maaf namun terhadap korban 1965 tak sudi minta maaf. Ini sungguh aneh.
Maaf ya, jangan samakan saya dengan Gus Dur. Beliau adalah negarawan hebat, saya mengagumi beliau. Soal minta maaf beliau lakukan, meski banyak kalangan NU tidak suka. Bagi Gus Dur, gitu aja kok repot? Tapi sekali lagi, jangan samakan saya dengan Gus Dur.
Mengenai perang melawan korupsi, saya dianggap lemah. Jangan salah, saya selalu tegaskan bahwa KPK harus diperkuat bukan dilemahkan. Bahwa di parlemen ada upaya merevisi UU tentang KPK ya bisa saja, termasuk usulan dari partai yang mendukung saya. Jangan sampai terjadi koruptor dimaafkan tapi kepada korban 1965 tidak minta maaf.
Membela negara bukan dengan cara membela koruptor. Selama korupsi itu merupakan kejahatan luar biasa semacam terorisme dan narkoba, maka penanganannya ya harus luar biasa. Terorisme ada Densus 88, Narkoba ada BNN, karena itu untuk korupsi harus ada KPK yang kuat.
Soal penanganan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan, saya dikritik habis oleh penulis di Mojok.co. Asal tahu saja ya, Bro and Sis, saya blusukan ke beberapa titik api. Antara jumlah titik api dengan jumlah armada pesawat pemadam kebakaran sangat tak sebanding. Ada ahli dari Australia yang sering menangani kebakaran di benua kanguru yang mengakui tak mudah memadamkan api, karena area yang sangat luas. Tapi jangan khawatir, pihak Polri telah mulai memproses perusahaan yang membakar hutan. Jadi soal asap kami bukan ASAP, as slow as possible…
Nah, ini dia yang sedang ramai dibahas, soal bela negara. Saya paham, membela negara itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Dulu saya pengusaha mebel, selain membuka lapangan kerja juga mendatangkan devisa. Membela negara itu tak hanya memanggul senjata. Memanggul cangkul, memegang pena, mengayun raket, dan menendang bola, juga membela negara. Membela negara tak bisa hanya dengan baris-berbaris seperti Menwa.
Coba nanti saya cek lagi rencana bela negara dari Kemenhan. Anggarannya ada atau ndak, diambil dari mana, APBN atau bukan. Harap maklum, Bro, banyak menteri saya masih produk orde baru. Setahu saya, upaya mengimplementasikan Revolusi Mental dikoordinasi di kantor Menko Puan. Kita tunggu saja adakah kaitan antara Bela Negara dengan Revolusi Mental?
Akhirnya, Bro and Sis, bahwa sesungguhnya menjadi presiden adalah hak semua anak bangsa, baik yang suka mandi atau jarang mandi. Saya sebagai presiden yang disukai wanita setengah berjilbab, setengah liberal, setengah konservatif, setengah komunis, hingga yang tidak setengah-setengah, akan terus membaca Mojok.co dalam suasana apapun di manapun. Betul kan saya suka membaca Mojok.co? He he he.
Oh iya, hampir lupa, akhir bulan ini saya akan ke Amerika Serikat. Ayo, siapa kru Mojok.co yang mau ikut, Bro Puthut EA, Dik Arlian Buana, penulis handal Iqbal Aji Daryono, atau wartawan freelance Mas Rusdi Mathari? Jangan khawatir, di atas pesawat kepresidenan saya tak akan menawari sampeyan jadi komisaris! Sampeyan kan bukan relawan semacam Fadjroel Rachman, ya tak perlu ngarep.com. Relawan itu bisa Rela-wan (yang tanpa pamrih), bisa juga Re-Lawan (kalau tak kebagian jadi lawan). Kalau wartawan atau penulis, termasuk penulis Mojok.co, biasanya juga relawan sih, lare tangine awan (bangun tidurnya siang).
*Tulisan ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan memang ada unsur kesengajaan.