MOJOK.CO – Diakui atau tidak, pidato Presiden Jokowi yang kurang dari 10 menit tersebut sejatinya memang menyasar menteri Pak Terawan dengan sangat telak.
Selepas menyaksikan tayangan Youtube yang memperlihatkan Presiden Jokowi tengah memarahi para menteri, mau tidak mau kita menjadi kepikiran dengan perasaan sebagian netijen yang selama ini menyuarakan kerja-kerja positif pemerintah.
Selama ini mereka selalu siaga menjadi “pagar betis” ketika ada indikasi kritikan atau kerap juga mereka anggap sebagai media framing. Pertanyaannya, bagaimana kalau tiba-tiba Pak Jokowi sendiri yang mengatakan jajarannya kurang kredibel?
Rasanya banyak orang akan setuju bahwa isi pidato Jokowi yang ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden mengandung nol kesalahan.
Ya ada sih kalau mau dicari kesalahannya, tapi bukan isi pidatonya. Di detik ke-22, hidung Jokowi terlihat nongol tanpa tercover masker. Sangat berbeda dengan penampilan Kiai Ma’ruf yang maskernya terlihat rapet banget di detik-detik sebelumnya.
Cara admin memberikan judul video pun terlihat cukup klikbet. Sayangnya, mereka belum memberikan sentuhan ala Tribun atau media sejenis penyembah berhala trefik seperti judul tulisan yang kamu baca ini.
Seandainya mereka melakukan hal tersebut, sangat mungkin unggahan video pidato yang memperlihatkan sisi galak seorang Jokowi tersebut akan mendapatkan posisi trending melampaui Denny Caknan ketika merilis lagu berjudul “Los Dol” beberapa waktu lalu.
“Arahan tegas nomer tiga membuat dokter Terawan kringetan sampe lupa nama dokter Reisa dan namanya sendiri” misalnya dibikin judul begitu.
Diakui atau tidak, pidato kurang dari 10 menit tersebut sejatinya memang menyasar Pak Terawan dengan sangat telak.
Kalau kita perhatikan benar, isi pidato dan potongan adegannya persis seperti adegan sebuah sinetron di mana tokoh antagonisnya ketangkap basah, tapi masih selamat. Itu terlihat jelas di menit 5:28, ketiga presiden menyinggung bidang kesehatan dan besaran anggarannya.
“Untuk pemulihan ekonomi nasional, misalnya. Saya berikan contoh bidang kesehatan. Itu dianggarkan 75 triliun. Tujuh-puluh-lima-triliun. Baru keluar 1,53 persen, coba! Uang beredar di masyarakat ke-rem di situ semua. Segera itu dikeluarkan dengan penggunaan-penggunaan yang tepat sasaran, sehingga men-trigger ekonomi. Pembayaran tunjangan untuk dokter, dokter spesialis, tenaga medis, segera keluarkan. Belanja-belanja untuk peralatan segera keluarkan….”
Perhatikan lekat-lekat.
Saat disebut angka 75 triliun, Menteri Terawan seperti kesulitan menelan ludah. Blio seperti mau tunjuk tangan melakukan interupsi, tapi tangannya berat, berat sekali, hingga terkulai lemas di pangkuan. Bukan tidak mungkin dalam benaknya ada lusinan kata-kata pembelaan diri yang akan lebih baik kalau disampaikan melalui telepati
“Loh tapi begini, Pak Presiden. 75 triliun itu dikelola juga oleh Gugus Tugas Covid, loh. Bukan oleh Kemenkes doang. Nah, sampai sejauh ini yang masuk daftar isian pelaksanaan anggaran itu baru seimprit. Keliru itu kalau disebut penyerapannya baru 1,53 persen. Tolong cek lagi data dari pembisiknya, Pak Pres. Tapi sekiranya Bapak tidak percaya lagi dengan saya dan meminta saya mundur, akan saya penuhi. Tolong jangan halangi keinginan saya untuk mundur….”
Sayang sekali kita tidak mendapatkan pertunjukan dramatis seperti itu. Ya kecuali rapat kabinet 18 Juni 2020 tersebut disponsori ILC. Karni Ilyas dengan suara serak beceknya bisa memprovokasi presiden dan menteri untuk saling adu argumen. Menarik sih, tapi jelas akan membawa akibat buruk.
Nah, kalau bicara substansi, dari sekian hal yang disampaikan Jokowi untuk para menteri ini memang perlu dicek silang dengan data Kemenkeu. Berapa sebenarnya pagu anggaran yang disetujui, bagaimana mekanisme penyalurannya, dan sudah berapa realisasinya?
Jangan sampai pidato Presiden Jokowi kelasnya seperti kritikan netijen; keras, tegas, tepat menghantam ulu hati, tapi jebul keliru data.
Kalau kita simak pernyataan awal Jokowi di rapat kabinet bersama para menteri tersebut, sebenarnya lebih ngenes lagi.
Presiden mengajak anggota kabinetnya untuk memiliki sense of crisis. Dari 3 bulan ke belakang dan ke depan, diharapkan mereka lebih bertanggung jawab kepada 267 juta penduduk Indonesia. Apalagi ada proyeksi pertumbuhan ekonomi minus dari beberapa lembaga dunia; sebesar 6% menurut OECD, dan sebesar 5% menurut proyeksi World Bank.
“Perasaan ini harus sama. Kita harus ngerti ini. Jangan biasa-biasa saja. Jangan linier. Jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali. Saya lihat masih banyak yang menganggap ini normal. Berbahaya sekali. Kerja masih biasa-biasa saja. Ini kerjanya memang harus ekstra luar biasa, extraordinary,” begitu kata Jokowi setelah mengutip proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Proyeksi pertumbuhan minus jelas sangat mengerikan. Kalau itu sampai terjadi hal yang pertama akan kita saksikan adalah bertambahnya pengangguran. Babak berikutnya, daya beli yang merosot karena banyak orang kehilangan penghasilan akan membuat penjualan retail turun.
Jualan nasi dan lauk mungkin masih laku, tapi bisnis eceran tidak hanya bicara nasi dan lauk. Ada produk-produk lain yang membuat nasi dan lauk jadi tersedia. Ada produk-produk skincare yang membuat kamu merasa jadi semakin cantik ketika makan nasi walau tanpa lauk. Eh.
Kalau mau jujur, sudah sejak 2019 para ekonom “luar pagar” memperingatkan ancaman resesi ekonomi. Bahkan itu belum memasukkan variabel pandemi di mana resesi jadi datang lebih cepat dari perkiraan. Tetapi tidak sedikit yang menganggap itu hanya bualan orang-orang yang kecewa pada pemerintah.
Begitu pandemi datang menyeberang dari Cina dan merata ke seluruh dunia, pejabat kita tetap belum mempunyai perasaan yang sama dengan sekian banyak orang yang mengkhawatirkan kecepatan penyebaran korona yang sangat membahayakan kesehatan dan pengaruh buruknya terhadap aktivitas ekonomi. Benar-benar tidak ada sense of crisis.
Itu berbarengan saat sekian negara sudah berjibaku menghadang wabah dan belum menunjukkan keberhasilan.
Di Indonesia, beberapa pejabat negara masih berkelakar soal ketahanan kita karena mengonsumsi nasi kucing, doa qunut, diberkati iklim tropis, dan bahkan mengimbau yang sehat tidak perlu menggunakan masker.
Hasilnya sudah kita rasakan sejauh ini. Grafik pasien terinfeksi terus menanjak, sementara aktivitas ekonomi mlotrok.
Negeri ini banyak disebut penanganan wabahnya salah satu yang terburuk. Tentu saja kita masih lebih baik dari Amerika. Cukupkah fakta itu menghibur kita? Harusnya sih tidak.
Balik ke soal marah-marahnya Pak Jokowi untuk para menteri, ada satu kalimat blio yang sangat penting untuk digarisbawahi, dan sudah seharusnya menjadi bekal presiden untuk tidak ragu lagi memecat anak buah atau lembaga-lembaga bentukan berdasar keputusan presiden, yang berkinerja tidak baik.
“Saya harus ngomong apa adanya. Nggak ada progres yang signifikan, nggak ada!”
Pecat saja menteri yang tidak membawa kemajuan yang diharapkan. Kalau perlu tanpa perlu rapat kabinet, tanpa perlu gaduh, tanpa memberi ancaman akan ada reshuffle, tanpa mereka menunggu untuk mundur, dan tentu saja tanpa perlu unggah ke Youtube.
Toh Jokowi kan bukan Atta Halilintar atau Andre Taulani yang ada ribut dikit langsung jadi konten. Lakukan aja dengan senyap, Pak Presiden. Sama-sama bakal ketahuan juga kok.
Oh iya, kata pecat saya kira akan lebih baik dari reshuffle, kocok ulang. Istilah tersebut sebenarnya sangat traumatis bagi kita. Ya, ada satu menteri Kau-Tau-siapa yang tiap “kocok ulang” selalu namanya muncul lagi dan lagi. Ibarat arisan ikut cuma sekali tapi namanya keluar berkali-kali.
Karena… mau kapan pun dan siapapun yang kena reshuffle, menterinya bakal tetep…
…
… blio.
First of his name, hand of the king, lord of the many coal industry, and protector of the oligarchy.
BACA JUGA Kinerja Menterinya Dianggap Lambat, Jokowi Kesal dan Ancam Reshuffle atau tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya.