Jokes Garing Megawati Adalah Bentuk Pembebasan Burung dari Sangkarnya

Hidup Bu Megawati, mulai dari lahir hingga mendapatkan segala yang pernah diinginkan orang, kekuasaan tertinggi di Republik, boleh dibilang tak jauh-jauh dari kemuraman, tragedi, birokrasi, protokoler, hidup dengan pola dan aturan ketat.

Jokes Garing Megawati Adalah Bentuk Pembebasan Burung dari Sangkarnya

Ilustrasi Jokes Garing Megawati Adalah Bentuk Pembebasan Burung dari Sangkarnya

MOJOK.CODari dalam palung hati terdalamnya, Bu Megawati mencoba melakukan usaha pembebasan terakhir sebelum semua lakon hidup ini selesai dipentaskan. Itu.

SEMUA kalkulasi politik massa (medsos) buyar usai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar hajatan ulang tahun. Bahwa, pagelaran ini bakal jadi panggung emas bagi si tokoh ini dan si tokoh itu. Nyatanya, semua prediksi dan analisis tenggelam oleh cekikan Bu Megawati. Potongan video saat Bu Mega memuji dirinya begini dan begitu seperti umpan segar yang langsung disambar media sosial yang sedang lapar dan haus.

Jadinya, bukan Ganjar, bukan Puan, bahkan bukan Jokowi yang menjadi fokus perhatian. Lampu utama dan kamera besar tetap menyorot kepada sang pemilik rumah tangga besar. Yakni, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Mereka yang nyinyir sama Bu Mega

Banyak yang risih dengan cara Bu Megawati menyampaikan uneg-uneg di hadapan umum. Ada yang bilang genit. Ada yang menganggap cewek pecicilan fakir identitas yang parah.  Ada yang menyeru kepedean yang dipertontonkan Bu Mega sudah overdosis. Yang ini asalnya dari orang-orang kampus.

Pendeknya, video yang menyebar itu sungguh jauh dari elegan; bukan berasal dari Bu Megawati yang biasanya. Apalagi, posisi Bu Mega sebagai warga negara senior.

Pidato publik yang dibawakan secara bebas itu memperlihatkan Bu Megawati seperti sedang melayang-layang; terbuai-buai seperti usai menenggak tandas satu sloki cairan yang sudah diaduk dengan kecubung plus sesendok gula serbuk halus mushroom magic dari ordo jamur tahi sapi.

Pembelaan untuk Bu Mega… dari saya

Tapi, Pembaca Budiman, izinkan saya mengajukan pembelaan kepada beliau. Walau dia sesungguhnya tidak butuh pembelaan dari siapa pun yang secara reguler memposisikan diri sebagai “jaksa penuntut umum”. 

Kalau jeli mengikuti sejarah beliau, inilah masa-masa saat Bu Megawati menikmati kemunculannya di depan orang banyak. Saya menyebut episode ini sebagai dekade pembebasan diri. 

Dekade ngakak tanpa filter, tahun-tahun ketika Bu Megawati memutuskan melempar kertas pidatonya yang garing adalah ketika dia ditinggalkan suaminya untuk selama-lamanya, Taufik Kiemas. Semua yang baru dari pembawaan dirinya dimulai tahun 2013 itu.

Titik kisar penting kemunculan video-video bergenre “memerable” itu, quot-quot Bu Mega yang loss stang dan bahkan masuk nominasi sebagai Opini Jelek Award 2022 dengan penyumbang terbanyak “opini jelek”, semuanya dari tahun 2013 itu. 

Sayang sekali, walau Bu Megawati sudah sekuat tenaga mengarahkan segala kemampuan, justru dikalahkan oleh Opung Luhut dalam tarung perebutan award itu.

Lupakan.

Saya menilai, justru dari tahun yang menjadi “jembatan gantung” itulah permulaan bagaimana partai yang dipimpinnya memilih sosok yang dalam frame kamera dan faktor kebucinan medsos juga mirip dengan pribadi baru Bu Megawati, sosok “memerable” lain: Ir. Joko Widodo.

Menemukan jati diri

Inilah dekade ketika Bu Megawati menemukan dunianya yang hilang selama ini. Dunia yang ceria. Bisa sangat lepas. Tertawa bisa menguar-uar. Bicara ceplas dan ceplos. Bahkan, dengan telengas bisa mengirim jokes yang barangkali bagi banyak orang sangat tidak lucu (lelucon penjual bakso). Merendahkan martabat. 

Tetapi, bagi Bu Megawati yang notabene sesungguhnya anak Menteng, jokes kek gitu sangat lucu. Sebut saja tipikal jokes anak Menteng. Bu Mega hanya ngasih tahu bahwa ada jokes lain selain “komedi berdiri seorang diri” yang kerap kalian tonton siang dan malam itu. 

Dia seperti ingin bilang, yang nggak Menteng bakal nggak pernah bisa ngerti betapa lucuknya itu. Betapa berkelasnya. Ciri jokes anak Menteng: lucu di kami, garing di kalian.

Kembali ke soal pembebasan diri tadi, ke pelepasan katarsis.

Hidup yang “terpenjara”

Hidup Bu Megawati, mulai dari lahir hingga mendapatkan segala yang pernah diinginkan orang, kekuasaan tertinggi di Republik, boleh dibilang tak jauh-jauh dari kemuraman, tragedi, birokrasi, protokoler, hidup dengan pola dan aturan ketat.

Mau berpakaian dan menempelkan pupur di wajah mesti sesuai template. Mau makan ada upacaranya. Bertemu dan berteman dengan siapa pun harus dalam pengawasan para ajudan yang berlapis-lapis. Berbicara tidak boleh sembarangan. Berpakansi tidak semau-maunya.

Jadi, ketika Bu Megawati mengatakan dia anak istana, saya membacanya sebagai katarsis pembebasan. Sekali lagi, tak ada yang salah saat Bu Mega menyebut dan menegaskan dia satu-satunya manusia Indonesia yang saat ini masih hidup dan sehat walafiat lahir dan menjalani masa remaja di istana kepresidenan.

Memang benar. dia tidak sedang ingin menyombongkan diri. Selain mencoba bercanda dengan genre “jokes anak Menteng”, dia sesungguhnya sedang melakukan usaha paling akhir melepaskan bayang-bayang kurungan emas di mana di sana dia menyimpan kegetiran dan hal itu ingin dilepaskannya.

Seperti burung dalam sangkar

Dunia istana, bagi orang yang memandangnya dari luar dan jauh, semuanya penuh dengan yang wah. Tetapi, bagi Bu Megawati yang lahirnya pun ditudungi mega-mega gelap bercampur dentuman guruh di cakrawala istana Yogyakarta, ceritanya tak melulu indah.

Dia adalah jelmaan dari pepatah legendaris, “Hidup bagai burung dalam sangkar.” Tak ada netizen yang mau tahu soal hubungan pepatah itu dengan Bu Mega. 

Satu-satunya yang mengerti apa yang dirasakan Bu Megawati barangkali hanyalah Emillia Contessa saat dia mendendangkan lagu legendaris “Bagai Burung Dalam Sangkar”: 

Wahai kau burung dalam sangkar / sungguh nasibmu malang benar / tak seorangpun ambil tahu duka dan lara dihatimu // Wahai kau burung dalam sangkar dapatkah kau menahan siksa dari kekejaman dunia yang tak tahu menimbang rasa.”

Nyaris seluruh hidup Bu Megawati tak jauh dari kehidupan khas istana, dunia sangkar emas. Salah satu ciri utamanya adalah aturan protokol yang ketat. Sebagai anak istana tulen, jangan pernah mengharapkan dan memaksa Bu Mega mengerti secara batiniah dan lahiriah apa yang disebut wong cilik, gembel bawah jembatan, lumpen bantar kali.

Getir yang tersimpan

Sepanjang hidupnya, Bu Mega sibuk berkelahi dengan siksa dan kejam hidup dalam sangkar istana. Tentang segala batasan yang sudah ditentukan justru bukan oleh dirinya, melainkan pihak lain yang ia tak pernah menjangkaunya.

Bu Mega ingin menyampaikan, semua layer hidup menyimpan getirnya masing-masing.

Termasuk, getirnya menjadi bukan sarjana mentereng karena tekanan politik kiri dan kanan. Sebagai manusia istana, drop out dari perguruan tinggi, walaupun itu lokalan Bandung, adalah aib yang terus dia bawa mengarungi dunia politik yang macho.

Saya menangkap aroma getir yang sangat pahit ketika Bu Mega dalam “pidato memerable”-nya di ultah PDIP Januari 2023 ini menjejer status doktor honoris causa-nya yang membikin dia menjadi bulan-bulanan nyinyiran orang kampus. 

Dengan gaya jokes anak Menteng, Bu Megawati sedang menertawakan dirinya dan sekaligus mencibir dunia akademis yang memberinya begitu banyak gelar ini dan itu lantaran posisi politiknya. Sampai segitunya para pengelola kampus itu mengiba dan ngapurancang entah untuk motif apa.

Menjadi pembina

Saat Bu Mega ingin menempuh pendidikan secara “alamiah”, justru dicegat dan ditekan dengan alasan politik yang dibuat-buat. Dalam tawa lepas Bu Mega soal “doktor-doktoran” itu, soal “causa-causaan” itu, dia ingin menegaskan bahwa jangan ada ngehek di antara kita, wahai cendekia kampus bersekolah tinggi.

Masih ingat kata-kata legendaris Bob Sadino ini: “Orang goblok mempekerjakan orang pintar”? 

Kalian boleh bilang Bu Megawati ini dan itu, doktor honor, profesor abal-abal, atau sekalian saja sebut, barangkali, mohon maaf, manusia goblok. Tetapi, faktanya, dialah yang membina seluruh peneliti dan manusia-manusia inovatif di seluruh Indonesia. Akuilah kenyataan, Bu Mega adalah pembina Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN yang merupakan nama baru dari LIPI.

Mengapa Bu Mega bisa sampai pada tahap “orang goblok mempekerjakan (membina) orang pintar”? 

Kembali lagi ke ucapan aneh Bob Sadino yang lain. Kutipan yang ini: “Orang pintar sering menganggap remeh kata fokus. Buat dia, melakukan banyak hal lebih mengasyikkan. Sementara orang bodoh tidak punya kegiatan lain kecuali fokus pada bisnisnya.”

Satu-satunya bisnis Bu Megawati yang dia kerjakan dengan sangat fokus adalah bisnis politik. Sebagaimana bisnis, PDIP itu adalah perusahaan dan dia menjadi CEO tak tergantikan.

Fokus luar biasa Bu Megawati

Dalam bisnis politik, tak ada yang bisa sefokus Bu Mega. TAK ADA. Tidak hanya fokus, tetapi juga dia sangat sukses. Pada level ini, akademisi-akademisi politik kampus yang mencoba praktik lapangan di politik real semacam Amien Rais, semuanya dipantatin Bu Mega.

Sementara, ucapan-ucapannya yang “memerable”, gesturnya di atas panggung dan mimbar yang santai, jokes anak Menteng yang kerap dia lemparkan dan gagal bikin ketawa, saya baca sebagai katarsis pembebasan diri. 

Dari dalam palung hati terdalamnya, Bu Megawati mencoba melakukan usaha pembebasan terakhir sebelum semua lakon hidup ini selesai dipentaskan. Itu.

BACA JUGA Betapa Sulitnya Memahami Pidato Ibu Megawati dan pemikiran menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version