Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

"Diamankan", "oknum", sampai "Orde Lama": Orde Baru emang udah tumbang, tapi bahasanya langgeng terus kayak doa tamu kawinan.

Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

Jerat Warisan Bahasa Orde Baru

MOJOK.COMerasa sudah terpisah dari rezim Soeharto, kenyataannya kita masih mereproduksi cara berpikir dan logika bahasa Orde Baru.

Orde Baru sudah mampus. Tapi hantunya masih terus bergentayangan di ruang publik. Juga di benak kepala sebagian dari kita. Ia bebas masuk-keluar dalam pidato, surat, mimpi, obrolan sehari-hari di ruang tamu dan canda kita di media sosial. Semua berlangsung tanpa kita sengaja atau sadari.

Salah satu tampilan paling mencolok dari warisan Orde Baru adalah dalam bahasa kita. Bahasa Indonesia mutakhir masih belepotan dengan aneka istilah dan logika a la Orde Baru. Contohnya seabrek.

Kemarin sebuah media daring menulis berita dengan judul “Terungkap! Rachel Vennya Kabur Karantina Dibantu Oknum TNI“. Oknum? Istilah ini nyaris tak terdengar sebelum Orde Baru berdiri. Paling sedikit begitulah ingatan dan catatan saya. Sebagai orang yang lahir belasan tahun sebelum rezim itu berdiri, saya sempat mengenal Indonesia sebelum, selama, dan sesudah Orde Baru.

Istilah “oknum” laris di masa kejayaan Orde Baru. Mengapa? Pada masa itu, penguasa bebas bertindak apa pun, nyaris tanpa risiko dihukum. Lembaga peradilan bukan dibekukan, tapi menjadi kepanjangan tangan penguasa untuk menghajar siapa saja yang dianggap mengancamnya. Media massa dipaksa menjadi corong propaganda penguasa.

Di lapisan bawah, pejabat yang punya seragam loreng atau koneksi dengan penguasa tinggi merasa berhak mendapat pelayanan istimewa. Mereka merasa bebas bertindak liar. Tapi atasan mereka tidak akan selalu merestui, jika tindakan mereka sudah melampaui batas.

Dalam situasi demikian, penguasa akan menjuluki pelaku kejahatan itu sebagai “oknum”. Dengan meng-oknum-kan individu pelaku, maka lembaga atau instansi tempat si pelaku bekerja ingin cuci tangan. Atasan mereka memisahkan diri dari si “oknum”, dan menghindar ikut bertanggung-jawab atas tindakan si oknum.

Itu baru satu contoh. Banyak contoh lain di sekeliling kita. Hari ini saya menemukan sebuah laporan jurnalistik lain dengan judul “18 Mahasiswa Diamankan Buntut Ricuh Demo HUT Kabupaten Tangerang“.

Istilah “diamankan” merupakan salah satu istilah paling khas dari Orde Baru. Semua orang tahu, istilah ini maknanya dijungkir-balik oleh Orde Baru. Bila orang sedang “diamankan” pejabat negara, maka rasa amannya lenyap.

Tapi mungkin tidak semua anak muda tahu bagaimana asal-mulanya makna “diamankan” dijungkir-balik oleh tokoh-tokoh kunci Orde Baru. Begini ceritanya. Menyusul penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal oleh sejumlah tentara menengah (1965), Soeharto dan kawan-kawannya menyalahkan PKI sebagai pelaku kudeta.

Bukan hanya orang-orang PKI yang ditangkap dan kemudian dibunuh. Ratusan ribu warga sipil ditangkap, ditahan dan dibantai tanpa diadili. Padahal mereka sama sekali tidak tahu-menahu peristiwa berdarah di ibukota. Mereka dianggap bersimpati pada PKI atau pada Presiden Sukarno yang dianggap bersimpati pada PKI.

Semua ini terjadi sejak akhir tahun 1965 ketika PKI merupakan partai besar yang sah. Semua terjadi beberapa bulan sebelum PKI resmi dinyatakan terlarang (Maret 1966). Artinya, operasi pemberantasan anti-PKI dan anti-Sukarno itu jelas-jelas melanggar hukum. Untuk menyangkal kriminalitasnya, Orde Baru tidak mengatakan telah “menahan” warga. Tetapi “mengamankan” mereka.

Dalih yang dipakai oleh tentara waktu itu, ada massa anti-PKI dan anti-Sukarno yang mengamuk dan akan menyerbu orang-orang yang dianggap pro-PKI atau pro-Sukarno. Tentara hanya ingin melindungi sasaran massa itu. Maka orang-orang ini diculik dari rumah mereka dan ditahan untuk waktu yang tak jelas. Padahal sebagian besar amuk massa itu disponsori tentara pada masa itu.

Dari semua istilah ciptaan Orde Baru, ada satu yang paling menggelitik saya. Yakni istilah “Orde Lama”. 

Saya tergelitik karena “Orde Lama” merupakan sebuah fiksi dalam fantasi Orde Baru. Tak ada kenyataan objektif ada sebuah kurun waktu atau bentuk pemerintahan tertentu dengan batasan yang jelas dan menamakan dirinya sendiri sebagai “Orde Lama”.

Tapi bukan hanya kaum awam yang terkecoh oleh fiksi ini. Tidak sedikit sarjana berpendidikan tinggi menggunakan istilah itu dalam karya-karya ilmiah mereka. Luar biasa dampak bahasa Orde Baru ini.

Bahasa bukan alat atau medium komunikasi yang netral. Bahasa menyusun, mengarahkan dan membatasi angan-angan dan pandangan yang berbahasa. Itu sebabnya, kejayaan Orde Baru tidak cukup dibangun hanya pembantaian hampir sejuta warga sebangsa dan pertumbuhan ekonomi yang hebat.

Orde Baru juga bekerja keras membasmi bahasa rezim sebelumnya dan membangun bahasa yang baru untuk melayani kepentingannya. Berbagai istilah ke-kiri-kiri-an yang anti-kapitalisme dan anti-imperialisme dari rezim sebelumnya dinistakan. Termasuk di antaranya revolusi, sosialisme, sama-rata sama-rasa, kelas sosial, pemogokan, buruh.

Sejarah disusun oleh pemenang, kata pepatah. Tak mengherankan, Orde Baru buru-buru menyusun sejarah nasional baru setelah berjaya. Yakni sejarah yang memuliakan perannya sendiri, dan menistakan semua musuh-musuhnya.

Orde Baru tidak hanya menyusun sejarah dengan buku. Tapi juga film propaganda yang berpuluh tahun wajib ditonton siswa dan ditayangkan televisi. Ia juga mencuci otak dan kesadaran publik tentang sejarah 1965 dengan poster, patung dan museum.

Resminya, Orde Baru sudah ambruk tahun 1998. Tapi belum tampak ada perubahan besar-besaran penulisan sejarah resmi. Mengapa? Tentang hal ini saya teringat sebuah tulisan yang baru terbit. Penulisnya seorang sarjana Amerika, Michael G. Vann. Menurutnya, di Indonesia rezim Orde Baru sudah tumbang. Tapi sebuah rezim yang baru belum bertumbuh.

Dalam masa transisi yang vakum ideologis ini masyarakat dan negara pasca-Orde Baru jadi gamang. Selama belum terisi dengan sebuah tata-sosial dan tata-negara yang baru, hantu Orde Baru akan terus bergentayangan.

Dalam kegamangan ini, banyak orang keliru memahami Orde Baru. Apalagi mereka yang tidak dibesarkan ketika rezim ini berjaya. Padahal, sulit memahami sosok masyarakat Indonesia masa kini tanpa pemahaman memadai tentang rezim militeristik Orde Baru. Sulit pula memahami jati diri kita sendiri.

Seringkali kita merasa sudah jauh terpisah dari Orde Baru. Seakan-akan rezim ini merupakan sebuah masa dan realitas jauh di masa lalu. Bahkan sudah kadaluarsa. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari kita masih terus mereproduksikan cara berpikir, berbicara, dan bergaul a la Orde Baru.

Bukan karena kita sengaja atau memilih berbuat demikian. Tapi karena alternatifnya tidak tersedia. Atau bahkan belum pernah terbayangkan. Jika bahasa yang baru belum tersedia, apa pun niat, semangat atau cita-cita yang baru belum bisa terucapkan.

Orde Baru sudah meninggalkan Indonesia, tetapi Indonesia belum meninggalkan Orde Baru.

BACA JUGA Mahabesar Pak Harto dengan Segala Macam Akronimnya dan tulisan Ariel Heryanto lainnya.

Exit mobile version