Jadi Miskin di Hadapan Tuhan dan Tabung Gas Melon 3 Kilogram

MOJOK.CO – Ketika tabung gas mulai langka sampai bikin keluargamu tak bisa masak, lalu anakmu ajukan pertanyaan sederhana yang nyentil, “Pak, apa kita ini miskin?”

Hari-hari ini, di tempat saya, tabung gas 3 kilogram (kg) sedang langka. Di warung, toko, SPBU, bahkan di agen stoknya tidak selalu tersedia. Kalaupun kemudian ada, harganya melonjak dan mesti berebut. Situasi ini—bagi saya yang pantang membuat kopi dengan air dari alat pemanas dan tidak mempunyai tabung serep—sungguh buruk. Apalagi pawon di rumah juga sudah kadung dibongkar.

Kehadiran tabung gas memang banyak memberi kemajuan. Praktis, bersih, dan relatif murah. Kelebihan-kelebihan tersebut akan melengkapi nilai plus andai kelangkaan tidak sering terjadi. Kelangkaan selalu  menjadi berita yang menyedihkan. Dan kesedihan saya kali ini lebih dalam karena anak yang saya ajak keliling mencari gas bertanya, “Bapak, apakah kita ini miskin?”

Rasanya sesaat bumi berhenti berputar.

Orang tua mana coba yang tidak sesak napas mendengar pertanyaan seperti itu?

Meski diucapkan dengan pelan, datar, dan tanpa ekspresi pertanyaan itu tetap terasa seperti sembilu. Saya kehilangan kata-kata. Bumi terasa goyah. Tapi sekuat tenaga saya berusaha menatap mata anak berumur sepuluh tahun di depan saya itu lekat-lekat. Saya ingin menyelami luka, kesedihan, dan penderitaan macam apakah yang telah memberinya ide bertanya demikian.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” akhirnya saya berhasil bertanya setelah merasa gagal menemukan tanda-tanda yang saya cari.

Dia melihat saya. Ekspresinya tak berubah. Tampak sekali dia tidak menangkap gejolak di dada bapaknya. Seperti tak berdosa, tangannya hanya menunjuk tulisan berwarna putih yang tercetak di tabung gas yang dia tenteng: “Hanya untuk keluarga miskin.”

Demi kerang ajaib, rupanya tulisan ini biang keroknya. Padahal pikiran saya sudah kalut tak keruan. Sudah beberapa tahun tabung gas melon keluar masuk dapur dan menjadi bagian dari keluarga saya. Tapi rasanya baru kali ini saya benar-benar menyadari keberadaannya. Dan entah mengapa tiba-tiba saja pikiran semacam ini terasa mengganggu.

Mungkin karena hal tersebut ditanyakan oleh orang terdekat saya. Seseorang yang seharusnya saya bahagiakan dan jaga perasaannya. Label miskin, saya khawatir, bakal membuatnya memiliki persepsi buruk tentang dunianya, meski kita tahu kemiskinan juga bukan sesuatu yang mudah dipahami.

Siapa yang dimaksud dengan orang miskin?

Jawaban untuk pertanyaan ini tentu tak cukup dengan mengatakan mereka adalah orang yang tidak kaya. Kemiskinan memiliki dimensi subjektif dan objektif. Secara subjektif, tiap orang memiliki ukuran sendiri-sendiri. Standar miskin bagi si A belum tentu sama dengan si B.

Uang 100 ribu bagi si Anu mungkin tidak ada artinya dan hanya dianggap bisa buat beli bawang merah dan cabe, tapi bagi orang lain jumlah segitu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup barang sehari atau dua hari.

Subjektivitas itulah yang mendorong diciptakannya parameter untuk melakukan objektifikasi.

Ada yang menggunakan income per capita atau pendapatan rata-rata per kepala; banyaknya gizi dalam makanan sehari-hari; jumlah makan dalam sehari; ketersediaan sembako (sembilan bahan pokok); angka rata-rata kematian (death rate), dan lain-lain.

Itu dari segi ekonomi. Dari segi non-ekonomi, kemiskinan diukur dari keterpenuhan kebutuhan utama (primary needs) dan kebutuhan sekunder (secondary needs). Kebutuhan dasar terkait dengan pangan, papan dan sandang. Adapun kebutuhan sekunder berhubungan dengan keperluan pendidikan, komunikasi, rekreasi, dan kebutuhan lain yang membuat seseorang dipandang memenuhi standar hidup yang pantas.

Dalam konteks yang lebih luas, ukuran kepantasan hidup bahkan dihubungkan dengan terpenuhinya fasilitas lingkungan yang sehat atau perlindungan hukum dari pemerintah. Artinya, cakupan golongan yang disebut miskin sangat luas. Karena itu, sekalipun tidak miskin-miskin amat dan tidak kaya juga saya merasa tetap berhak menggunakan tabung melon.

Maka, untuk membesarkan hati anak saya sekaligus menghibur diri, saya katakan kepadanya, bahwa semua orang bakalan miskin kalau di hadapan Tuhan. Jadi, label miskin di tabung gas tidak perlu membuat gundah.

Toh, label itu juga tidak otomatis bisa diterima secara objektif. Sebab kalau diterima, maka tabung gas 3 kg sudah menjadi pengganti Surat Keterangan Miskin. Dan orang tidak lagi perlu repot-repot ke Kelurahan tapi cukup melampirkan foto tabung di dapur rumahnya. Nyatanya soal itu belum pernah terdengar.

Lagi pula, warga perumahan di kampung sebelah yang notabene dianggap kaya juga rata-rata menggunakan tabung melon. Di luar urusan miskin dan tidak miskin, ada pertimbangan yang lebih mendasar dalam memilih tabung melon, yaitu efektivitasnya. Tabung melon jelas lebih cangkingable dibanding yang berwarna pink atau biru, terutama bagi ibu-ibu yang terkait langsung dengan urusan tabung.

Aspek ini pula yang membuat orang-orang sepertinya tidak lagi tertarik bahwa di tabung 12 kg ada tulisan: “Nyalakan cinta keluarga.” Sebab yang paling penting adalah api di kompor bisa nyala, dan itu cukup untuk menyalakan cinta di rumah. Mau dari tabung gas warna biru, pink, atau tabung gas melon stabilo.

Exit mobile version