Inferiority Complex dalam Dunia Riset Indonesia

Pola pikir akademisi sosial kita emang cenderung "take for granted" dengan apa yang telah ditulis oleh akademisi asing.

Klaim Konyol Kalung Anti-Corona dari Peneliti Gatal Publikasi dan Media yang Tak Peduli

Klaim Konyol Kalung Anti-Corona dari Peneliti Gatal Publikasi dan Media yang Tak Peduli

MOJOK.COPeneliti kita cenderung punya inferiority complex jika berhadapan dengan hasil riset luar negeri. Sudah minder duluan.

“Apa sih yang tidak kami ketahui tentang Indonesia?”

Menjadi pernyataan Indonesianis ternama, Profesor Edward Aspinall, ke saya saat bimbingan tesis di kampus ANU, Australia, pada 2020 lalu.

Pernyataan itu begitu saya ingat dan menyadarkan saya pada satu hal; pada satu hal: memilih topik penelitian yang belum banyak diteliti orang lain. Memilih pertanyaan riset yang masih belum terjawab dan belum pernah diulas oleh para akademisi pengkaji Indonesia sebelumnya

Inferiority complex di sini secara sederhana bisa dimaknai sebagai perasaan minder secara status sebagai akademisi (scholar) maupun secara linguistik sebagai non-penutur bahasa Inggris (second users).

Soal penguasaan bahasa Inggris ini memang jadi salah satu kunci ketika ingin bersaing di level regional maupun global. Kondisi ini yang membuat hampir mayoritas akademisi riset sosial Indonesia rendah diri ketika harus diadu dengan akademisi asing dengan tema dan topik sama.

Namun yang terpenting di balik dari Inferiority complex ini adalah pola pikir akademisi sosial kita yang cenderung menerima (take for granted) dengan apa yang telah ditulis dan dipublikasi oleh akademisi asing soal Indonesia tanpa harus “melawan balik”.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan, sampai detik ini, ilmuwan sosial di Indonesia belum bisa lepas sepenuhnya dari mengutip trikotomi klasik Santri-Abangan-Priyayi dari Clifford Geertz maupun Komunitas-komunitas Terbayang (imagined communities) dari Benedict Anderson. 

Munculnya beragam akademisi asing mulai dari era Geertz maupun Kahin pada periode awal republik ini berdiri hingga Aspinall pada konteks kekinian sebagai akademisi otoritatif dalam dunia riset sosial Indonesia rasanya perlu jadi kritik untuk kita bersama.

Belum dengan produktivitas jurnal dan buku yang timpang sehingga membuat mayoritas ilmuwan sosial Indonesia mengalami inferiority complex lagi ketika dibandingkan dengan akademisi asing.

Meski begitu inferiority complex ini sebenarnya bisa dilacak munculnya dari mana. Simon Philpott dalam Rethinking Indonesia pernah menjelaskan mengenai posisi “Indonesia” terkait hal tersebut.

Ya harus diakui, negara kita ini lebih banyak dibesarkan dari tradisi keilmuan usai Perang Dunia II maupun Perang Dingin. Sialnya, kondisi tersebut didorong juga oleh tiga agenda setting utama dari negara-negara maju: donor, developmentalisme, dan demokrasi.

Donor dan developmentalisme ini suka tidak suka jadi kepentingan politik negara maju dalam mempromosikan kepentingan nasionalnya ke negara berkembang seperti Indonesia. Sedangkan demokrasi jadi wadah dasar agar donor dan developmentalisme bisa tetap terlaksana di negara yang dimaksud.

Nah, donor dan developmentalisme itu lalu dikerjakan melalui berbagai macam hal misalnya; 1) beasiswa; 2) pelatihan dan konsultasi teknis; 3) proyek riset kolaborasi; dan 4) publikasi ilmiah.

Melalui nomor 1 sampai 3 itulah, proses produksi pengetahuan atas suatu negara dilakukan di mana standar dan perspektif negara maju dicangkokkan ke negara seperti Indonesia.

Sedangkan nomor 4 itu adalah bentuk finalisasi produksi pengetahuan yang gunanya adalah memberi informasi pada khalayak luas terhadap kondisi negara yang bersangkutan.

Adapun demokrasi sendiri menjadi alat kontrol di mana kondisi politik dan pemerintahan suatu negara dilihat dan dikonstruksi: kira-kira negara itu sudah sesuai dengan “standar dunia” atau belum.

Dengan kata lain, produksi pengetahuan melalui jurnal dan buku dibuat sebagai bagian dari dominasi soft power suatu negara terhadap negara lain.

Oleh sebab itu, publikasi jurnal ilmiah yang dikembangkan dalam studi wilayah (area studies) sebenarnya merupakan upaya negara maju untuk melakukan observasi menyeluruh terhadap negara berkembang (seperti Indonesia) untuk kepentingan strategis jangka panjang mereka.  

Ambil contoh random saja dari berbagai kampus negara maju. Misalnya kampus di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, hingga Australia, mereka selalu punya pusat studi soal kajian negara berkembang, khususnya Asia Tenggara dan Indonesia.

Bahkan Australia melalui ANU punya database yang sangat lengkap soal kajian Indonesia dan rutinnya pergelaran konferensi Indonesia Update sebagai seminar tentang Indonesia setiap minggu kedua/ketiga September per tahunnya. Kajian itu pun akhirnya menghasilkan prosiding, jurnal, maupun buku yang membahas soal Indonesia dari berbagai macam aspek.

—000—

Harus diakui, kondisi yang saya jabarkan tadi sangat kontras dengan pola kerja akademisi di Indonesia. Pola pikir riset sosial kita masih didominasi dengan paradigma berorientasi ke dalam (inward looking) daripada berorientasi ke luar (outward looking).

Apalagi, peneliti-peneliti di Indonesia kerap kali lebih disibukkan dengan kerja-kerja administratif di kampus ketimbang kerja riset betulan seperti halnya peneliti dari negara maju.

Belum dengan syarat penulisan jurnal internasional bagi peneliti Indonesia yang juga perlu membuat semacam cover letter yang menceritakan alasan mengapa harus submit ke jurnal ini dan siapa yang merekomendasikan. Hal ini berakibat kita jadi punya geng-geng akademik tertentu.

Ditambah dengan adanya anggapan, kalau sebuah riset mengutip tulisan orang asing, maka tulisannya akan dianggap lebih berkelas daripada sesama periset dari dalam negeri. Perasaan minder ala mental inlander yang berujung lahirnya inferiority complex ini pada akhirnya mewujud dalam sikap menomorduakan hasil kajian kolega sendiri.

Misalnya saja, buku soal Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton akan lebih “dipercaya” ketimbang buku yang ditulis oleh Hairus Salim, Ahmad Bahar, atau mungkin jika (seandainya) Alissa Wahid mau menulis soal bapaknya sendiri.

Minimnya apresiasi terhadap sesama kolega di dalam negeri sendiri itulah yang kemudian membuat kultur peneliti kita cukup jarang untuk mau menciptakan temuan (findings) yang mampu diangkat di kancah perdebatan dunia akademik global.

Lah gimana? Sesama kolega saja minim yang mau mengapresiasi atau mengakui kok, ngapain juga harus bertaruh di ranah global?

Itu juga yang jadi sebab peneliti Indonesia lebih banyak yang mengetes teori (theory testing) daripada membuat teori (theory generating), bahkan sekalipun objek penelitian itu adalah soal Indonesia sendiri.

BACA JUGA Klaim Konyol Kalung Anti-Corona dari Peneliti Gatal Publikasi dan Media yang Tak Peduli atau ESAI lainnya.

Exit mobile version