MOJOK.CO – Bagaimana industri syar’i berhasil dulang rupiah dari tubuh muslimah? Dari jilbab hits sampai sepatu syar’i?
Sejak berstatus murid TPA yang berpuluh tahun lalu hobi memanjat pohon jambu tetangga, hingga menjadi guru TPA yang bulan lalu memanjat pagar untuk memperbaiki pipa air tetangga, jilbab tidak pernah membatasi gerak fisik saya.
Lebih dari itu, jilbab membebaskan saya sebagai perempuan dari batas-batas penilaian fisikal. Tetapi kalau boleh jujur kebebasan yang diberikan jilbab tersebut belakangan rasanya justru menghilang seiring banyak yang mengenakannya.
Saya senang ketika makin banyak teman perempuan dengan kesadaran keilmuan memutuskan berjilbab. Saya juga bersyukur ketika fenomena ini menyebabkan permintaan busana muslim meningkat sehingga membuka lapangan kerja bagi banyak pihak.
Tapi menjadikan jilbab sebagai fesyen adalah hal yang sepenuhnya berbeda. Industri fesyen tidak sesederhana jual beli baju untuk melindungi tubuh, jilbab untuk menutup kepala, sepatu untuk alas kaki, dan seterusnya. Fesyen lebih dari itu.
Dalam berbagai pengertiannya, fesyen merupakan ragam gaya populer terbaru pada suatu waktu tertentu. Maka setidaknya ada tiga kata kunci yang menampilkan karakter fesyen: gaya, populer dan waktu.
Fesyen sebagai ragam gaya diasosiasikan dengan fungsinya yang diyakini mampu menjelaskan identitas seseorang. You are what you wear. Bagaimana seseorang mencitrakan diri salah satunya adalah melalui gaya fesyen yang dikenakan; merek apa, dari koleksi (si)apa, dan seterusnya.
Semakin seseorang menyesuaikan citraan diri dengan standar (fesyen) popular, semakin diterima eksistensinya. Sehingga demi memenuhi standar fesyen arus utama yang terus berganti, tubuh seseorang akan dikapitalisasi demi alasan-alasan yang tampak indah: pencarian dan pengukuhan identitas diri.
Dulu sebagai jilbaber (yang mereka bilang) syar’i, saya bisa jumawa tidak terjebak kapitalisasi tubuh perempuan melalui fesyen. Sebab sebagai muslimah identitas “cantik” kami sudah solid sehingga dinilai bukanlah pangsa menarik dalam industri ini.
Baju muslimah dari dulu begitu-begitu saja, kan? Kalaupun ada perkembangan sejak zaman Ida Royani hingga Inneke Koesherawati, tetaplah tampak sederhana, tidak menjadikan perempuan ibukota berlomba mengenakannya tanpa takut dibilang ketinggalan zaman.
Lalu negara api menyerang. Lautan tutorial hijab cantik modern diluncurkan para influencer dan fashion blogger, hingga menjamurnya komunitas hijaber. Majalah-majalah fesyen menyambut wajah baru dunia jilbab dengan membuka lebar penerimaan atasnya.
Desainer busana hijab, pengatur gaya hijab, fotografer fesyen hijab, dan profesi spesialis fesyen hijab lain bermunculan. Platform e-commerce khusus hijab dirilis. Bahkan merek-merek kenamaan dunia tidak mau ketinggalan menciptakan lini fesyen muslim untuk produk mereka.
Industri ini terus berkembang dan diterima luas sebagai gaya hidup baru muslimah masa kini. Menurut laporan Global Islamic Economy 2020/2021 konsumsi fesyen muslim dunia pada 2019 mencapai 277 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut Indonesia cukup aktif sebagai konsumen dengan menduduki peringkat ke-5 dengan total belanja 16 miliar dolar AS atau setara 168.360.000.000.000 rupiah dalam setahun.
Mungkin sobatkismin yang hanya sanggup membeli jilbab paris tipis bertanya-tanya, uang sebanyak itu untuk apa saja? Maka izinkanlah saya selaku mantan penggiat fesyen muslimah memperkenalkan bagaimana industri ini berhasil mendulang rupiah di tubuh muslimah dari ujung kepala hingga telapak kaki.
Dalam semesta fesyen muslimah, kepala perempuan tidak cukup ditutup dengan jilbab. Muslimah perlu tahu apakah jilbab yang diinginkan adalah shawl, pashmina, khimar, bergo, scarf, turban, atau square. Masing-masing memiliki lusinan pilihan bahan, model, warna, ukuran, dan tentu harga. Masing-masing juga mewakili konsep identitas tertentu.
Untuk tubuhnya muslimah diberi setidaknya empat pilihan kategori busana. Pertama, atasan; tersedia berbagai tunik, kemeja, blouse, sweater, dan inner kaos. Kedua, dress; tersedia berbagai model jumpsuit, kaftan, long dress dan midi dress. Ketiga, outwear; tersedia blazer, cardigan, bolero, vest, jaket, cape, overall, dan coat. Keempat, bawahan; tersedia rok, celana, dan palazzo.
Seiring aktivitas muslimah masa kini yang kian variatif, model-model baru fesyen jilbab pun memberi perhatian pada fungsi khusus semisal hijab breastfeeding friendly untuk ibu menyusui atau fesyen muslimah khusus olahraga. Kapan lagi kan, bisa main berenang dengan tetap tampil syar’i?
Muslimah pengguna cadar pun tidak perlu khawatir tertinggal dalam pergerakan dakwah jilbab masa kini. Ragam gaya mulai dari niqab mesir, yaman, bandana biasa, bandana poni, flap niqab, cadar tali, cadar butterfly, hingga cadar instan tersedia untuk melengkapi koleksi ukhti.
Jangan lupakan aksesoris basic penambah nilai kemuslimahan. Aneka ciput atau dalaman jilbab untuk melindungi rambut-rambut kecil mengintip dari jilbabmu: ciput ninja, rajut, anti pusing, dua warna, dll. Juga aneka penutup lengan sebab yang boleh tampak hanyalah telapak tanganmu: handsock rajut, jempol, renda, dll.
Lalu sempurnakan tampilan muslimahmu dengan kaos kaki aneka fungsi: wudhu friendly, jepit friendly, dll. Belum lagi aksesoris tambahan semisal brooch, headpiece, bahkan sendal dan sepatu syar’i. Uh, banyak sekali!
Mungkin kamu bertanya-tanya: memangnya kenapa jika jilbab menjadi fesyen? Bukankah itu menjadikan semakin banyak muslimah tertarik mengenakan jilbab karena variasi modelnya? Bukankah aneka produk itu juga dihadirkan sebagai solusi kebutuhan muslimah? Tidak mungkin kan, ada penjualan tanpa ada permintaan?
Faktanya, pasar selalu bisa diciptakan. Dalam The Hidden Persuaders (1980), Vance Packard menjelaskan bagaimana bahasa iklan kerap menembak sisi emosi konsumen sehingga mereka terdorong membeli atau menggunakan produk sekalipun tidak bermanfaat bagi mereka. Hal ini diperparah ketika kontestasi identitas dikawinkan dengan simbol-simbol keagamaan melalui fesyen muslim.
Penelitian Shah Alam dkk (2011) menjelaskan bagaimana religiusitas seseorang terbukti mempengaruhi proses pengambilan keputusan konsumsi secara signifikan. Dalam riset lain, Rehman dkk (2010) bahkan menemukan bagaimana religiusitas bisa menjadi guiding force seorang muslim dalam keputusan mengonsumsi produk baru.
Itulah kenapa muncul fesyen muslim yang serampangan menempelkan atribusi religiusitas semacam “jilbab halal” atau “sepatu syar’i” dalam strategi pemasaran produk baru mereka.
Sayangnya konsumsi identitas muslimah melalui fesyen terus dilakukan tanpa benar-benar mengkritisi standar diri yang ditawarkan gaya fesyen, pihak pengontrol industrialisasi standar diri tersebut, hingga pengepul keuntungan di balik kontestasi intentitas visual tersebut.
Bagaimana bisa jilbab A menjadikan seseorang lebih agamis dari jilbab B? Otoritas ilmu macam apa yang bisa membuat standar sepatu A sesuai syariat sementara sepatu B tidak? Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari label-label produk fesyen syar’i ini?
Bukannya saya tidak setuju sama sekali dengan perkembangan fesyen muslim. Tetapi ada yang bermasalah dalam industri yang sejak awal kehadirannya berorientasi pada kapitalisasi tubuh muslimah ini.
Melihat bagaimana produk fesyen muslim hanya menjadi “versi lengan panjang” dari produk fesyen konvensional, industri ini terkesan hadir sebagai wajah baru konsumerisme fesyen alih-alih menawarkan model bisnis khas dengan nilai-nilai agama yang mendasarinya.
Ironisnya, dalam industri ekonomi kreatif, konsumerisme ini justru dipuja-puji sebagai adaptasi gaya hidup muslimah berkemajuan. Padahal kemajuan apa yang ditawarkan dari kapitalisasi tubuh muslimah?
Boleh jadi dulu jilbab telah membebaskan banyak muslimah dari jerat standar kecantikan fisikal. Tetapi hari ini fesyen jilbab justru kembali memenjarakan muslimah pada kontestasi kecantikan berbasis “tren industri syariat” musiman.
Jadi jangan heran jika kita kini mengetahui perayaan World Hijab Day tidak lagi dari berita-berita aksi ukhtivis turun ke jalan membagikan jilbab gratis melainkan dari akun-akun selebhijrah penjaja fesyen muslimah.
Oh, ya ngomong-ngomong (meski telat sehari) Selamat diskon Hari Hijab Dunia.
Sudah checkout apa saja hari ini, ukhti?
BACA JUGA Indonesia, Surganya Bakul Hijab dan tulisan Esty Dyah Imaniar lainnya.