Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Setelah Indria Kameswari dan Raisa, Siapa Lagi yang Akan Jadi Korban Media Kita yang Seksis?

Rika Nova oleh Rika Nova
8 September 2017
0
A A
170908 ESAI INDRIA KAMESWARI

170908 ESAI INDRIA KAMESWARI

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Habis disuguhi pemberitaan dan foto-foto Anniesa Hasibuan, yang berjubah putih bulu-bulu di tengah salju, berpose manja di pepohonan musim gugur, yang bercadar, yang tanpa make up dalam bui, apa saja merek tas dan berapa harga busananya, dan lain-lain, kini kita dibombardir berita-berita tentang Indria Kameswari.

Berita berjudul “Pose-pose cantik Indria semasa hidup, pegawai BNN yang dibunuh suaminya” atau “4 Kali Menjanda, Staf Cantik BNN Dibunuh Oleh Suami Kelima” atau yang sejenisnya memenuhi timeline media sosial kita.

Saya pernah jadi wartawan. Saya tahu betul sulitnya memenuhi tenggat dan kuantitas berita. Dulu, saya harus menulis dua berita koran, dan lima berita online. Lantaran sehari lima berita, apalah apalah yang nggak penting saya tulis. Berita besar dipecah-pecah jadi kecil. Laporan keuangan perusahaan bisa dijadiin 10 berita pendek-pendek. Sungguh nggak berkualitaslah, pokoknya.

Saya paham betul, teman-teman wartawan memang harus mengais-ngais berita pembunuhan pegawai BNN ini sampai ke remah-remah terkecil.

Tapi, apa nggak ada cara lain untuk menuliskannya?

Seorang perempuan dibunuh oleh suaminya, dinilai tak baik oleh ipar dan mertuanya, lalu diobjektifikasi parasnya oleh media.

Padahal, banyak hal penting yang dapat dielaborasi terkait pembunuhan ini. Pertama, soal senjata api; dari mana senjata api yang digunakan untuk membunuh itu berasal, bagaimana regulasi senjata api di Indonesia, bagaimana rantai distribusinya. Kedua, soal perlindungan anak; di mana anak-anak mereka saat saat penembakan terjadi, bagaimana efek psikologis kejadian tersebut terhadap anak, bagaimana regulasi perlindungan anak di Indonesia.

Hal lain yang bisa ditulis adalah terkait kekerasan dalam rumah tangga; kekerasan terhadap perempuan, atau juga kekerasan terhadap laki-laki, dan bagaimana masyarakat yang seksis lagi misoginis membuat laki-laki malu mengadukan kekerasan yang terjadi terhadap mereka. Elaborasi juga bisa sampai ke soal kesehatan mental pasangan dalam kehidupan berumah tangga.

Salah satu artikel yang saya baca mengatakan bahwa kekerasan kerap terjadi dalam kehidupan rumah tangga korban dan pelaku. Namun, alih-alih membahas bagaimana menghindari kekerasan dalam rumah tangga, atau menyikapi kekerasan dalam rumah tangga, artikel tersebut lebih memberikan tonasi yang seolah-olah: oh ya udah, orangnya juga kasar sama suami, boleh aja dibunuh.

Yungalah, nyawa manusia kok ya murah banget. Padahal masalah kekerasan rumah tangga ini penting sekali untuk dibahas.

Namun, media lebih suka mengelaborasi fisik. Kalau perempuan dibunuh atau diperkosa, pemberitaannya selalu menggunakan frasa perempuan cantik, wanita seksi, rok pendek, pakaian terbuka, dan sejenisnya. Kasihan betul korbannya; sudah jadi korban eh dikorbankan lagi, double victimization. Dikorbankan demi apa? Tentu rating. Industri media saat ini adalah hamba lembaga rating macam Nielsen dan Alexa. Untuk apa? Iklan! Makin tinggi rating, makin penuh pundi-pundi pemasukan iklan.

Loh, kalau memang ratingnya tinggi, berarti pembacanya emang banyak dong!

Kalau begitu argumennya, persoalan jadi kayak telur dan ayam. Mana yang lebih dulu? Apakah media menyajikan berita tak berbobot lantaran animo pembaca, ataukah pembaca jadi menyenangi berita-berita dangkal karena dididik oleh media yang semakin melanggengkan seksisme? Keduanya bisa jadi betul. Yang pasti, media mencerminkan masyarakatnya.

Bertahannya media yang seksis lagi misoginis menunjukan masyarakat yang seksis lagi misoginis.

Sudah isu gender memang tak menjual, media lebih suka menjalankan fungsi entertainmen dan bisnisnya alih-alih fungsi edukasi. Ditambah, tak semua wartawan punya latar belakang isu gender dan jurnalisme yang baik, tak semua jurnalis pernah mengambil mata kuliah etika komunikasi. Tentu hal ini tak bisa dijadikan pemakluman. AJI dan Unesco telah menerbitkan prinsip-prinsip verifikasi dan menulis berita yang tak bias gender.

Soal seksisme dan misoginis ini, tak cuma terkait isu-isu macam pembunuhan dan perkosaan. Pernikahan Raisa dan Hamish juga nggak bisa lepas dari objektifikasi oleh mereka yang katanya fans.

Beberapa pagi lalu, saat scrolling media sosial, hal pertama yang saya temukan adalah becandaan seorang teman: Saat kita sedang asik sarapan, Raisa sedang menahan pedihnya lecet. Becandaan macam ini, di ruang publik pula, cuma bisa dimaklumi oleh masyarakat yang merendahkan perempuan, bahwa menyakiti perempuan adalah hal lumrah terutama jika pihak laki-laki mendapat keuntungan. Dan anggapan bahwa seks pertama harus sakit (dan harus berdarah) menunjukan pendidikan seks yang rendah. Seks tidak harus sakit dan tidak harus berdarah, Sis. Kapan-kapanlah kita bahas masalah seks ini.

Meski berbeda modus dan situasi, objektifikasi Raisa ini sama dengan foto korban pembunuhan yang disebar dengan kata-kata: korban ternyata sangat cantik. Masyarakat yang seksis akan menganggap hal ini sekadar becandaan, atau, saya yakin ada juga yang gatel pengin komen: Lah, memang cantik kok.

Becandaan dan komen yang melulu terkait fisik itu bahaya. Mental mengobjektifikasi perempuan itu betul-betul bahaya. Perkosaan terjadi bukan karena syahwat belaka. Kamu pikir memperkosa itu gampang, apa? Horni terus ujug-ujug memperkosa, gitu? Yang harus kita pahami, pemerkosaan terjadi ketika seseorang dilihat sebagai objek dan dianggap tidak memiliki relasi kuasa yang imbang, sehingga pantas mendapat perlakuan biadab.

Saya pernah digodain bocah yang, yaelah boro-boro mimpi basah, sunat aja belum. Anak ini mungkin baru berusia 6-7 tahun saat melakukan cat calling. Dari mana dia belajar? Tentu dari lingkungan sekitar, dan media (termasuk berita dan sinetron) yang tak ada selesainya mengobjektifikasi perempuan.

Jadi, saran saya, kalau memang kehabisan berita, atau ide nulis status di media sosial, dan kamu nggak yakin apakah yang mau kamu tulis itu pantas atau tidak, cara mudahnya cuma satu: Apabila kamu, atau adik/kakak perempuan, ibu, sepupu, atau nenekmu yang menjadi objek dalam berita dan status yang kamu tulis tersebut, apakah kamu akan marah? Apakah kamu akan merasa jijik terhadap si penulis? Apakah kamu rela orang dekatmu dinarasikan dengan cara yang demikian?

Kalau jawabanmu iya, mending jalan-jalan dulu, makan malam, nonton bioskop, baca buku, atau ngapain kek, sampai dapat inspirasi menulis sesuatu yang lebih beradab.

Terakhir diperbarui pada 28 Maret 2021 oleh

Tags: anniesa hasibuanIndria Kameswariraisa
Iklan
Rika Nova

Rika Nova

Artikel Terkait

Bramsky: Fotografer dan Sutradara yang Artsy Tapi Tetap Njawani
Movi

Bramsky: Fotografer dan Sutradara yang Artsy Tapi Tetap Njawani

24 Desember 2021
Pojokan

5 Selebriti yang Cocok Jadi Anggota Pemuda Pancasila

22 November 2019
Esai

Ada yang Lebih Sakti dari Roy Kiyoshi, dan Dia Akun Twitter

3 Mei 2018
Laudya Cynthia Bella
Kilas

Laudya Cynthia Bella dan Luka Lelaki Indonesia

9 September 2017
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Usai sarjana malah sulit dapat kerja, kini pilih jadi buruh ketimbang jadi sarjana nganggur. MOJOK.CO

Nyesel Ikuti Perintah Ibu Kuliah Jurusan Guru, Setelah Lulus Jadi Susah Cari Kerja

19 Juni 2025
mahasiswa kkn.MOJOK.CO

Dapat Kelompok KKN “AFK” dan “Nggak Napak Tanah” Itu Seburuk-buruknya Nasib: Merepotkan Teman dan Warga Cuma Demi Nilai A

17 Juni 2025
Lomba Bidar Palembang Budaya Betulan, Bukan Sound Horeg MOJOK.CO

Saya Resah Melihat Palembang ketika Budaya Bodoh Bernama Sound Horeg dan Organ Tunggal Dianggap Pesta Rakyat Seperti Lomba Perahu Bidar

19 Juni 2025
Tukang parkir (jukir) liar di Surabaya bikin repot, tak seperti di Jogja MOJOK.CO

Jukir di Surabaya Bisa Ngajak Ribut dan Bikin Repot karena Uang Rp2 Ribu, Tukang Parkir Jogja Lain Cerita

15 Juni 2025
ASN.MOJOK.coJakarta Wajib Naik Transum Bisa Lahirkan Celah Tipu Muslihat MOJOK.CO

Anak Jadi PNS Bikin Ortu Suka Pamer Pencapaian, Padahal Sang Anak Tersiksa karena Gaji Kecil dan Sering “Dipalak” Teman

19 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.