MOJOK.CO – Sayangnya, kita lebih gampang ngebacotin Imane Khelif atau komentar ngawur ketimbang belajar soal intersex.
Masyarakat Indonesia barangkali punya hobi remuk yang tak juga kunjung sembuh. Berkomentar akan suatu hal tanpa mencari tahu sejelas-jelasnya. Dalam kompetisi Olimpiade Paris kemarin misalnya, netizen Indonesia berbondong-bondong menuduh atlet Aljazair, Imane Khelif, yang menang dalam waktu 46 detik melawan petinju Italia Angela Carini sebagai transgender.
Komentar jahat yang muncul kemudian jadi penanda bahwa banyak orang Indonesia cuma mau memaki, menghujat, tanpa ada keinginan verifikasi. Mulai dari tuduhan “Yanto” sampai “Feminis pura-pura nggak denger”. Makian itu tak juga selesai bahkan setelah penjelasan bahwa Imane Khelif yang berasal dari negara konservatif muslim Aljazair, terlahir perempuan dan mustahil mewakili negara itu sebagai trans.
Pada hari Senin sebelumnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengizinkan Imane Khelif, yang sebelumnya dikeluarkan dari Kejuaraan Dunia 2023 di New Delhi karena kadar testosteron yang tinggi, untuk bertanding di Paris 2024. Kemenangan Imane membuat orang Italia berang.
Roberto M arti, Ketua Komite Olahraga Senat Italia dan anggota Liga, menggambarkan keputusan tersebut sebagai “absurd.” Dia menyebut Imane Khelif sebagai “petinju trans yang dilarang dari Piala Dunia tahun lalu karena tidak lulus ‘tes kelayakan gender'”.
Sementara Menteri Transportasi Italia dan pemimpin Liga Matteo Salvini juga mengkritik keputusan tersebut. Dia menyebut Imane Khelif dengan kata ganti pria dan menyebut partisipasinya sebagai “tamparan bagi etika olahraga dan kredibilitas Olimpiade”.
Padahal, Imane Khelif itu perempuan tulen dan pernah lima kali kalah bertinju dengan perempuan lain. Ada dugaan diskriminasi dan tuduhan trans ini terjadi karena dia berasal dari negara arab dan mempecundangi orang Italia.
Imane Khelif bukan yang pertama mengalami diskriminasi ini
Sebelumnya, pelari Afrika Selatan, Caster Semenya, kalah dalam kasus diskriminasi melawan Federasi Atletik Internasional (IAAF). IAAF menyatakan bahwa aturan yang memaksa atlet perempuan untuk menurunkan tingkat hormon testosteron mereka “bersifat diskriminatif tapi perlu”.
Semenya, peraih medali emas Olimpiade berusia 28 tahun, mengajukan banding terhadap keputusan IAAF yang membatasi tingkat testosteron pada pelari perempuan dalam nomor lari 400 meter hingga satu mil. Semenya, yang memiliki ciri-ciri intersex, harus mengonsumsi penekan testosteron jika ingin terus berkompetisi di nomor tersebut.
Kyle Knight dari Human Rights Watch menyatakan bahwa mengonsumsi penekan hormon testosteron seperti yang diminta IAAF adalah “mempermalukan sekaligus tak perlu secara medis”. Menurutnya, pada tahun 2019, spektrum identitas sudah berkembang melampaui pembagian biner laki-laki dan perempuan, sehingga kemampuan fisik Semenya seharusnya dirayakan seperti halnya tinggi badan Usain Bolt atau rentang lengan Michael Phelps.
Asal mula perselisihan terkait Imane Khelif
Pada Kejuaraan Dunia Tinju 2023 di New Delhi, Imane Khelif didiskualifikasi beberapa jam sebelum pertandingan yang memperebutkan medali emas melawan Yang Liu. Ini terjadi karena temuan bahwa Khelif memiliki kadar testosteron yang tinggi, dan menurut IOC tidak memenuhi kriteria kelayakan.
Asosiasi Tinju Internasional (IBA), yang dipimpin oleh Umar Kremlev dari Rusia, membuat keputusan ini. Kremlev mengatakan kepada agen berita Rusia, Tass, bahwa tes DNA Khelif menunjukkan dia memiliki kromosom XY, yang menyebabkan diskualifikasinya.
Pasangan kromosom XY biasanya merupakan laki-laki, meski demikian kelompok Intersex juga memilikinya. IBA menjelaskan kepada The Guardian bahwa keputusan tersebut diambil “setelah tinjauan mendalam dan dengan tujuan menjaga keadilan dan integritas kompetisi”.
Diskualifikasi ini memicu penyebaran informasi yang salah tentang gender Imane Khelif. Banyak yang salah menyebutnya sebagai transgender dan lebih parah, laki-laki. Padahal sejak lahir di sebuah desa terpencil di Aljazair, Khelif adalah perempuan. Sebelum bertinju, dia juga pernah memulai olahraga sepak bola kategori perempuan dan tidak pernah mengidentifikasi diri sebagai transgender atau laki-laki.
Selain pernyataan IBA, tidak ada bukti resmi bahwa Imane Khelif memiliki kromosom XY. Artinya, hanya IBA saja yang menyebut Khelif dengan label itu. Plot twist-nya, tahun lalu, IOC mencabut status lembaga IBA karena salah urus dan dugaan korupsi. Untuk Olimpiade Paris 2024, Unit Tinju Paris (PBU), unit khusus yang dibentuk oleh IOC, mengelola organisasi kompetisi tinju.
Kenapa perlu belajar soal intersex?
Dalam kasus Imane Khelif dan Caster Semenya, sebenarnya keberadaan kromosom XY saja tidak cukup untuk mendefinisikan seseorang sebagai laki-laki. Ciri seksual primer dan sekunder juga berperan.
Ya nggak semua perempuan yang gagah, kuat, dan perkasa itu harus dituduh laki-laki. Meski banyak netizen Indonesia sukanya komentar dan malas baca, tak harus disebut tolol, bukan?
Ini kenapa penting bagi kita untuk belajar tentang intersex, sebelum komentar aneh-aneh. Saat ini, dunia medis mengenal ada sekitar 30 hingga 40 variasi kondisi intersex.
Salah satu contohnya adalah Partial Androgen Insensitivity Syndrome (PAIS) di mana sebagian sel tubuh tidak merespons androgen yang diproduksi. Pada akhirnya ini mengganggu perkembangan maskulinisasi genital pria. PAIS bukanlah kondisi langka, dengan kejadian 1 dari 130 ribu kelahiran.
Populasi intersex mencakup sekitar 1,7% populasi manusia. Dengan prevalensi 1 per 2.000 bayi, jika penduduk dunia diasumsikan berjumlah 7 miliar, ada sekitar 140 juta orang dengan kondisi intersex. Jumlah ini nyaris setara dengan penduduk Pulau Jawa.
Artinya, intersex bukanlah kondisi yang aneh atau langka. Malah kemungkinan besar kita semua berinteraksi dengan individu intersex dalam kehidupan sehari-hari, baik langsung maupun tidak langsung.
Sayangnya, kita lebih gampang ngebacotin Imane Khelif atau komentar ngawur ketimbang belajar soal intersex. Apalagi orang Indonesia didominasi oleh pandangan gender biner, yang meyakini hanya ada dua gender, yaitu laki-laki dan perempuan.
Ini membuat intersex jadi hal yang aneh dan mengkhawatirkan. Maka tak mustahil jika saat ini intersex di Indonesia mengalami stigma dan diskriminasi.
Fenomena gunung es
Kasus intersex di Indonesia digambarkan seperti fenomena gunung es, dengan banyak kasus yang tidak atau belum dilaporkan karena rasa malu. Sejak 2004, Sultana, seorang dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, telah menangani sekitar 700 intersex. Sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah.
Mereka yang mampu sering memilih berobat ke luar negeri. Penanganan intersex memerlukan tim yang terdiri dari berbagai ahli seperti urolog, dokter bedah, dan psikolog.
Kasus interseks sering terungkap ketika penderita menginjak remaja atau dewasa, saat tanda-tanda jenis kelamin menjadi lebih jelas seperti yang dialami Imane Khelif. Misalnya, seorang anak yang sejak bayi dinyatakan perempuan namun tidak bisa menstruasi.
Setelah diteliti, ternyata adalah seorang pria karena tidak memiliki rahim. Banyak pasien mengalami kebingungan dan perlawanan saat diberitahu jenis kelamin sebenarnya berdasarkan pemeriksaan kromosom.
Proses pemulihan dan penerimaan diri bisa memakan waktu hingga dua tahun. Penderita intersex di Indonesia memiliki organisasi bernama Forum Komunikasi Interseks Indonesia (Fokis) untuk berbagi pengalaman. Banyak penderita mengalami masalah dalam pernikahan karena pasangan tidak bisa menerima kondisi mereka.
Nah, kalau cuma sekadar komentar dan marah-marah soal Imane Khelif tentu gampang. Belajar di sisi lain perlu melakukan kerja-kerja analisis otak. Jadi gimana? Masih mau marah atau belajar?
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Berbincang dengan Gus Amar, Anak Kiai yang Menjadi Transpria dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.