MOJOK.CO – Kominfo bisa menjamin soal keamanan data pribadi nggak ketika semua produk-produk itu terdaftar di PSE? Kok saya ragu ya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lagi dan lagi bikin geger media sosial. Dari beberapa kepingan berita dan keriuhan di medsos, Kominfo bikin geger karena mewajibkan perusahaan teknologi besar dunia seperti Google hingga WhatsApp, untuk segera mendaftar di Penyelenggara Sistem Elektronik atau yang akrab disebut PSE.
Dari ucapan Johnny G Plate, Menkominfo, dalih dari kebijakan Kominfo ini salah satunya adalah “ketaatan atas aturan nasional”. Yang bikin geger kemudian, ancaman Kominfo kepada perusahaan teknologi ini disebut tak main-main, salah satunya adalah, well, pemblokiran.
Tak tanggung-tanggung, berbagai fitur dari Google mulai dari Gmail hingga Google Drive, diancam akan diblokir dan tidak bisa dipakai di Indonesia. Beberapa media sosial babon macam Twitter, Facebook, hingga Instagram juga tak luput dari ancaman pemblokiran dari kementerian ini.
Di balik keriuhan ini, apa sejatinya masalah besarnya?
Permenkominfo yang bermasalah
Di balik permasalahan PSE, yang paling menyita perhatian publik adalah aturan yang dipakai sebagai landasan untuk “memaksa” Google dan kawan-kawan. guna mendaftarkan platform mereka ke PSE.
Peraturan yang problematik itu adalah Permenkominfo Nomor 10 tahun 2021 tentang PSE Lingkup Privat, yang disinyalir beberapa pakar keamanan siber dan dunia digital, memiliki pasal-pasal bermasalah.
Kita mulai dari Pasal 9 ayat 3 dan 4. Di dalamnya berisi kewajiban bahwa PSE Lingkup Privat harus memastikan tidak ada hal yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Ini bermasalah karena istilah “meresahkan masyarakat” misalnya, tidak punya benchmark yang pasti. Ini bukan hal yang pasti seperti 1+1=2, karena meresahkan masyarakat bisa bermakna luas dan menjadikan pasal di Permenkominfo itu menjadi sangat karet.
Sebagai negara yang mengklaim diri demokratis, media sosial sejatinya saluran terbaik untuk menemukan berbagai saran, kritik, hingga pisuh-pisuhan untuk apa saja hal yang dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang kurang ideal. Bayangkan jika pasal ini nantinya dipakai untuk membatasi bahkan mematikan itu semua, mau berisi apa linimasa medsos kita nantinya? Info jualan akun Netflix? Lha, Netflix saja diancam diblokir Kominfo juga. Mumet, Lur!
Lalu kedua, Pasal 14 ayat 3, di mana bagian “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” kembali dipakai untuk acuan menurunkan atau melakukan takedown konten di media sosial yang dianggap meresahkan. Lagi dan lagi, standar meresahkan itu apa? Pada titik apa sebuah unggahan di media sosial bisa kemudian diklasifikasikan mengganggu ketertiban umum?
Dan terakhir, Pasal 36 yang menuliskan bahwa penegak atau aparat hukum akan diperbolehkan meminta konten komunikasi dan data pribadi pengguna ke PSE. Ini seram betul karena sekali lagi, apa yang bisa menjamin data-data ini tidak akan disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak mengenakkan bagi kita?
Sebab ingat, permintaan data itu nggak sesederhana aparat minta, lalu dikasih. Harus ada perintah tertulis dari pengadilan dan melalui proses yang tak sederhana. Bagaimana bisa semua hal yang bertujuan melindungi privasi itu diterobos begitu saja “hanya” dengan Peraturan Menteri?
Privasi pengguna yang terancam diobok-obok
Pernah nggak terpikir kenapa Twitter dan kawan-kawannya masih belum mendaftarkan diri ke PSE? Pernah nggak terlintas di pikiran bahwa siapa tahu, perusahaan teknologi besar dunia itu nggak percaya kalau Kominfo bisa menjaga dan mengamankan data pribadi kita?
Saya kebetulan bekerja di perusahaan teknologi yang memiliki produk media sosial. Dan privasi adalah hal paling utama yang nggak boleh ditawar dengan dalih apapun.
Misal, ada salah satu pengguna yang lupa password atau alamat email yang dia pakai untuk login di medsos, meski bisa mengadu langsung ke saya untuk minta bantuan, saya tetap tidak punya akses terhadap password dan alamat email mereka. Paling maksimal yang bisa saya bantu hanya memberitahu bahwa mereka pernah login dengan akun Gmail, misalnya, tapi saya sendiri tidak tahu apa alamat Gmail tersebut. Itulah kenapa, hampir semua media sosial memiliki fitur bernama reset password atau forgot password. Tujuannya ya biar sewaktu-waktu mereka bisa mengubah cara login atau kunci rahasia mereka.
And that’s, my friend, the best thing about privacy. No one can know your private things about your data unless you say so.
Masalahnya, Kominfo bisa menjamin apa tidak, kalau itu semua akan aman seketika semua produk-produk itu terdaftar di PSE? Kok saya ragu ya.
Terakhir banget, plis lah Kominfo, tugas antum masih banyak!
Yang terakhir, dibanding riweuh ngurus PSE dan ancaman blokir-blokir ini, tugas penting Kominfo ini sejatinya buanyaaaak banget nganti turah-turah!
Pertama, yang paling pokok, jangkauan internet yang inklusif alias merata di seluruh Indonesia. Nggak usah bicara jaringan 5G yang stabil dari Sabang sampai Merauke deh. Kejauhan itu.
Kita mulai dulu dari yang paling dasar. Emang semua rakyat dari Sabang sampai Merauke, sudah bisa mengakses dan menikmati jaringan internet yang memadai seperti privilese yang kami dapatkan di Pulau Jawa ini?
Kedua, apa kabar program migrasi televisi digital yang juga sudah ada Permenkominfo-nya itu? Suntik mati TV analog bahkan sudah diatur lewat Permenkominfo Nomor 6 tahun 2021, tapi hingga sekarang, perkembangannya kayak gimana? Hayooo….
Kalau sudah begini, rasa-rasanya, Kominfo satu ini lebih baik nggak usah ngapa-ngapain daripada sekalinya ngapa-ngapain malah bikin runyam satu negara. Dan satu lagi, misal Google dan kawan-kawannya beneran nggak mendaftarkan produknya di PSE, apakah Kominfo berani betulan untuk memblokir atau itu hanya gertakan di mulut saja?
BACA JUGA Facebook, Google, WhatsApp Terancam Diblokir, Pakar Singgung Kedaulatan Digital Bangsa dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno