MOJOK.CO – Sikap golput dari generasi milenial kayak abai dengan narasi bahwa kalau kita tidak bisa memilih yang terbaik, paling nggak bisa milih yang paling mending.
Sebagai bagian dari generasi milenial, sejujurnya saya terganggu melihat sekelompok teman menyatakan diri akan Golput di Pemilu 2019 ini. Sekelompok mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta, dengan tagline “Milenial Golput” beberapa waktu silam.
Argumentasi mereka, kedua kelompok Paslon Capres dan Cawapres sibuk sebar hoax dan ujaran kebencian. Bahkan, ada yang mengatakan, dua kelompok tersebut malah tidak mengampanyekan programnya.
Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan, apa betul kedua kelompok paslon tidak mengampanyekan programnya sama sekali?
Sekelompok golongan muda tersebut merasa kecewa, kok di jagat publik program-program yang mau dijalankan tidak banyak dibicarakan? Mereka merasa risih dengan adanya narasi yang memecah-belah. Pikirannya terkuras pada narasi-narasi seperti itu.
Bahkan, ketika membuka medsos, ada yang merasa tidak nyaman. Bagi saya, ini adalah pengakuan menarik, meski lucu. Kalau dibilang, kelompok muda seperti ini cenderung gampang baper dan kurang tangguh.
Meminjam penjelasan Prof Ariel Heryanto dalam diskusi “Menyapa Kita Membenci?”, hoax dan ujaran kebencian adalah pengganggu yang selalu ada dalam sejarah Indonesia sebagai bangsa.
Sejak periode akhir kolonial Belanda, ujaran kebencian sudah ada—bahkan mungkin sebelum itu. Bedanya pada periode tersebut, pencetus ujaran kebencian hanya dimiliki oleh segelintir orang, tidak seperti sekarang yang setiap orang bisa melakukannya dengan jari lewat media sosial.
Kalau efek sekarang jauh lebih besar, sebenarnya itu terjadi karena akses dan kecepatan distribusi pesan kebencian lebih cepat serta lebih banyak orang yang terlibat saja. Lalu karena merasa putus asa dengan keadaan, ada beberapa generasi milenial memilih apatis.
Padahal yang harusnya dipikirkan adalah bagaimana kekuatan antibodi kita terhadap perkembangan teknologi ini memberi efek berlipat dalam sebaran ujaran kebencian. Kalau ada virus seperti itu lalu generasi milenial—generasi yang paling akrab—saja sudah menyerah dengan tidak mau ikut terlibat, bagaimana dengan generasi yang lain?
Sebab sikap ini tidak bisa benar-benar mengubah keadaan. Marah terhadap hoax memang diperlukan, tapi abai lalu jadi apatis? Hm, sepertinya kok itu bukan solusi.
Dalam dunia digital seperti ini, jangan sekali-kali kita berharap agar keriuhan ini segera hilang tanpa keterlibatan generasi milenial. Karena toh keriuhan seperti ini merupakan sebuah keniscayaan.
Hal yang bisa kita lakukan, bagi yang masih berharap, adalah memutus mata rantai supply dan demand, agar narasi negatif yang menyasar emosi kita bisa berkurang. Lalu cara untuk memutus mata rantai tersebut adalah—justru—jangan diam. Lalu ninggalin gitu saja.
Kalau ada konten yang terverifikasi ya distribusikan. Kalau ada konten bohong, ya nggak usah sebar. Kalau ada konten yang menghina, abaikan—kalau perlu laporkan. Setidaknya, sebagai milenial, berusaha aktif saja lah lebih dulu.
Kalau ini eranya kita, sudah saatnya kita melawan balik. Jangan menyerah seolah dunia ini mau runtuh. Dalam kadar tertentu golput merupakan sikap pengecut, tanda orang yang mengalah, dan merupakan pertanda orang yang sudah putus harapan.
Bagaimana bisa kekecewaan terhadap politik dilawan dengan golput? Sebab sekali pun kita golput, dengan tidak memilih si A dan si B, negara juga harus tetap berjalan bukan?
Kalau memang sistem atau negara harus tetap berjalan, setidaknya pilih saja paslon yang memiliki kelebihan terbanyak atau keburukan tersedikit, sehingga dari keduanya muncul pemimpin yang terbaik—atau yang paling mending.
Bagi saya, ide golput lahir dari pemikiran orang yang menganggap bahwa pemerintahan hanya boleh diurus oleh pemimpin yang sesuai dengan konsep ideal kelompok mereka sendiri—tanpa mau bernegosiasi dengan realitas yang ada.
Padahal, dalam konteks demokrasi, masih banyak kelompok masyarakat yang kritis. Masih ada pers yang siap mengawal janji-janji politisi setiap hari. Masih ada lembaga-lembaga sipil independen yang siap mengawal pemerintahan.
Jadi, golput seperti mengabaikan satu fakta bahwa masih ada kelompok masyarakat cerdas lain dalam tatanan demokrasi—selain mereka. Sikap golput seolah-olah melihat tidak ada lagi jalan keluar dan memandang cuma mereka saja yang punya konsepsi ideal. Lalu ketika konsep ideal tersebut tidak bisa diterapkan, terus menyalahkan realitas di lapangan.
Hm, bukankah itu semacam bentuk pengingkaran terhadap keadaan?
Oleh karena itu, untuk memilih pemimpin ter-mending, sebaiknya kita bergerak lebih aktif. Bersama teman-teman, ayo kita mendiskusikan berbagai hal dan cek profil tiap paslon. Lihat rekam jejak dan aktif cek program-programnya.
Tentang program, ini yang membuat saya kecewa pada kelompok milenial yang mengumbar golput. Kepada mereka saya ingin bertanya, sudahkah kalian tahu kalau tiap paslon memiliki program yang tidak kalian setujui?
Sudahkah dokumen setebal puluhan halaman tersebut kamu baca? Atau hanya berhenti karena melihat ada pendukung dari salah satu dari kedua paslon yang menggunakan cara-cara yang menjijikkan seperti sebar hoax saja?
Jangan-jangan, kita mengatakan bahwa kedua paslon tidak mengkampanyekan program, tetapi kita sendiri juga tidak membaca dokumen yang sudah diunggah. Memang benar, di luar sana, seperti di media sosial, terjadi perdebatan yang tidak substantif. Tetapi, ngapain kita tetap tinggal di sana kalau di sana tidak ada percakapan yang substantif?
Baiknya, tinggalkan medium yang riuh tersebut, cari keheninganmu, dan baca semua apa yang telah mereka susun. Bila perlu, bagikan dokumen tersebut kepada milenial lain. Ajak teman-teman untuk duduk dan berdiskusi. Hasilnya, munculkan komentarmu dalam tulisan atau postingan di media sosial agar semua orang tahu apa kelemahan dan kelebihan kedua paslon tersebut.
Selain itu, di TV, ada banyak juga kok acara di mana kedua kelompok paslon memaparkan program-programnya. Selalu, di sela percakapan mereka, hadir pengamat atau analis yang mengkritisi pemaparan mereka.
Memang betul, ada perdebatan yang tidak substantif. Tetapi, tidak sedikit kok diskusi yang bermutu. Kalau pun di situ terjadi perdebatan yang tidak substantif ngapain juga kita harus baper atas perdebatan tersebut?
Kalau tidak percaya TV, hadiri diskusi-diskusi yang diadakan oleh lembaga independen. Terlibatlah dalam prosesnya, beranilah mencatat, dan sepulang dari acara, sebarkan hal yang positif di media sosial.
Kita sudah diberi nampan, namun kita tetap menginginkan agar nampan tersebut ditaruh makanan. Makanan sudah tersedia, namun kita menginginkan agar kita disuap. Ketika keinginan tidak dipenuhi, eh kita malah golput. Jadi milenial aktif dikit kenapa sih?
Yang mau saya katakan, jadilah milenial yang aktif. Alih-alih mengeluh pada situasi politik, beranikan diri untuk mengambil alih media sosial dan pengaruhi percakapan publik. Maka kalau mau situasi ini membaik, seharusnya bukan gerakan golput yang mengemuka.
Kita bisa membuat gerakan yang berbobot, mengawal proses sebelum pemilu, dan memastikan narasi positif diketahui publik. Tidak peduli, kita semua akhirnya memilih siapa, tetapi di atas semua perbedaan tersebut, semangat kita untuk menjadikan diskursus politik yang lebih baik adalah pemersatunya.
Saya tidak tahu apa yang ada di benak teman-teman “milenial golput”. Tetapi, ada satu hal yang mau saya katakan; umur saya masih 20-an tahun dan saya masih punya keyakinan keadaan Indonesia bisa jauh lebih baik.
Dan untuk itu, saya akan menegosiasikan konsep pemimpin ideal versi saya dengan pilihan yang sementara ini tersedia.