Gelapnya Kehidupan Kurir yang Belakangan Semakin Getir

Jumlah paket yang menurun dan bekerja dengan status mitra kurir menjadi biang keladi kebijakan yang setiap bulan bisa berubah-ubah dengan dalih masih proses pengajian.

Cara cek resi paling praktis J&T, JNE, Sicepat, Wahana, Pos Indonesia.MOJOK.CO

Ilustrasi cara cek resi (Mojok.co)

MOJOK.CODalam realitas yang sesungguhnya, semua kurir, baik yang kena terminasi atau enggak, sama-sama sedang berjuang untuk menjalani pekerjaan yang akhir-akhir ini terasa getir.

Sebuah pesan yang sifatnya penting masuk ke grup WhatsApp internal tempat saya bekerja sebagai kurir. Isinya meminta tolong 2 orang untuk mengajukan diri untuk pindah ke divisi pengiriman same day service. Sebelum ditunjuk oleh leader secara langsung, kami semua harus segera merespons.

Jauh hari sebelum pesan di grup WhatsApp itu masuk, kami semua sudah mengetahui bahwa divisi same day service sedang ada perbaikan sistem secara internal. Lebih tepatnya di sistem pengupahan karyawan. Yang awalnya upah Rp210.000 per hari, berubah menjadi upah per paket delivery dengan nilai Rp1.500.

Tentu saja banyak yang keberatan. Saat reguler service mendapatkan upah Rp1.700 per paket, same day service malah dapat Rp1.500. Sungguh persoalan yang aneh. Saya yakin masih ada syarat, ketentuan, dan detail lainnya yang belum dipahami dengan baik, sehingga informasi yang utuh tidak tersampaikan kepada kurir. 

Setelah itu, tersiar kabar bahwa teman-teman kurir di divisi tersebut sudah melakukan aksi demo. Alih-alih mendapat kabar final tentang sistem pengupahan ini, saya malah mendapat kabar bahwa banyak teman-teman yang mengajukan resign. Hal ini menjadi efek domino, sehingga kurir reguler service diminta untuk pindah ke sana.

Hati yang berat

Mari kembali lagi ke paragraf awal. Pesan di grup itu nggak ada yang merespons. Saya sendiri cuma merespons satu kalimat: “Yah, Bang….” ditambah emot sedih.

Memang rasanya tuh berat banget. Siapa juga yang mau mengajukan diri untuk dipindah ke tempat yang lagi kusut-kusutnya?!

Akhirnya leader kami harus menunjuk. Saya paham, untuk melakukan hal ini, seorang leader pasti ada perasaan berat hati. Salah satu calonnya adalah saya. Lewat telepon WhatsApp, saya ditanya oleh leader, “Kemaren lo minat buat pindah? Kalo sekarang mau nggak?” 

“Sistem upahnya gimana, Bang?” Pertanyaan itu saya layangkan sekadar untuk memperpanjang waktu agar saya bisa berpikir dan mengambil keputusan. Pertanyaan itu dijawab dengan detail syarat dan ketentuan yang cukup rumit untuk saya cerna.

Intinya, untuk mengumpulkan upah harian dalam sebulan supaya setidaknya bisa mendekati UMR Bekasi, yakni Rp4.500.000, seorang kurir harus bekerja ekstra keras dengan area yang lebih luas dan belum pernah saya injak sebelumnya untuk delivery sekaligus pickup paket. Membayangkannya aja udah berasa kusut banget.

Ya, kalau upah masih hitungan harian, saya betul-betul minat. Tapi tidak untuk sekarang. Saya masih punya pilihan untuk menjawab tidak. Saya merasa sangat beruntung jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya yang nggak punya pilihan jawaban selain tidak. Dengan berat hati, mereka harus menerima keputusan terminasi itu.

Terminasi

Terminasi adalah sebuah kata yang hampir 2 bulan ini akrab di telinga para kurir. Kata ini sering disebut dalam setiap obrolan di tempat kerja. Menurut KBBI, kata terminasi berarti akhir dari sesuatu dalam ruang atau waktu. Terminasi di tempat saya bekerja dipahami dengan arti pemutasian atau pengurangan karyawan.

Mungkin kamu adalah orang ke-13726 yang akan menyarankan saya untuk bersyukur karena nggak kena terminasi. Perkara di luar sana masih banyak yang membutuhkan pekerjaan dan belum juga mendapatkannya.

Syukur adalah sebuah nikmat iman dalam keyakinan spiritual kita. Yap, saya mengamini itu. Tapi, mendapatkan ketimpangan upah saat bekerja adalah satu hal yang berbeda. Kita nggak bisa membenturkan itu dan rasa syukur bukan sikap yang tepat untuk melawan persoalan sistematis.

Jumlah paket yang menurun dan bekerja dengan status mitra kurir menjadi biang keladi kebijakan yang setiap bulan bisa berubah-ubah dengan dalih masih proses pengajian. Perusahaan bisa melakukan pengurangan karyawan tanpa banyak ba-bi-bu.

Status mitra adalah realitas semu bagi kurir

Dengan status itu, perusahaan jadi nggak perlu mengadakan BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan jaminan lainnya yang menjadi kewajiban pokok perusahaan terhadap pekerjanya. Perawatan kendaraan, bensin, kesehatan, dan–amit-amit–kalau kurir mengalami kecelakaan, ya, tanggung sendiri. Kalau sakit dan memohon izin untuk nggak masuk kerja, sudah bagus banget mendapatkan. GWS, yha~

Beberapa perusahaan ekspedisi ada yang memberi uang pengganti untuk kepesertaan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan bagi karyawan yang mendaftarkan diri sebagai peserta bukan penerima upah (BPU). Namun, belum tentu 100 persen dibayarkan oleh perusahaan. Kembali lagi kepada S&K yang berlaku di tiap perusahaan.

Bekerja dengan status mitra membuat saya berpikir: Hari ini masuk kerja, hari ini dapat cuan. Lain cerita apabila bekerja sebagai kurir dengan status PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dengan mendapatkan hak-hak pokok sebagai karyawan. Saya bisa mengambil cuti buat healing dan gaji saya akan tetap utuh.

Ditambah lagi jika masa PKWT berakhir, pekerja akan mendapatkan kompensasi. Jika seperti itu, saya akan menerima dengan lapang dada kalimat, “Bersyukur aja, Bang….”

Inikan pilihan lo, ya, harusnya lo terima bukan menggugat!

Pilihan yang penuh dilema

Ya, pekerjaan kurir adalah pilihan terbaik di antara pilihan-pilihan buruk dalam hidup. Daripada harus menganggur, menunggak hutang, jatuh tempo membayar sewa rumah, dan sebangsanya. Pekerjaan kurir adalah sebuah pilihan dalam keterhimpitan persoalan sosial cum kapitalis ini.

Konon, kurir adalah ujung tombak dari sebuah perusahaan ekspedisi, sungguh mulia sekali pemandangan itu. Tapi, secara struktur organisasi, kurir adalah bagian paling bawah yang kesejahteraannya masih jauh dari pandangan mulia. Sungguh ironis.

Tidak terkena dampak terminasi, meskipun merasa beruntung, tapi itu bukanlah hal yang membuat saya merasa senang apalagi bangga. Justru saya merasa terpukul, resah, kehilangan, dan sedih. Satu per satu teman seperjuangan yang dulu saling membahu saat keteteran kini sudah pindah. Ada yang bertahan dan ada juga yang resign.

Semua tak lagi sama

Dulu, kalau full team masuk semua, ada 26 orang kurir. Mau kiriman banyak, rasanya tetap ringan. Kami nggak peduli promo tanggal kembar Si Oren mau sampai 20.20 sekalipun. Seiring berjalannya persoalan, 10 kurir kena terminasi, sekarang sisanya cuma ada 16. Dengan demikian, beban pekerjaan menjadi bertambah.

Sekarang, rasanya tuh sulit banget untuk saling membantu sebab bahu-bahu yang lain juga sudah berat dengan pikulannya masing-masing. Efek dominonya lagi, jam kerja menjadi lebih panjang karena harus meng-cover area yang ditinggalkan kurirnya.

Secara real time, saya sendiri menjalani pekerjaan ini nyaris 14 jam tanpa punya jam istirahat secara khusus layaknya pegawai kantoran. Sebagai pekerja lapangan, saya bisa istirahat atau enggak, tergantung dari seberapa cepat saya menyelesaikan tugas.

Semakin cepat menyelesaikan delivery ditambah tugas pickup, akan semakin cepat saya bisa beristirahat. Kemudian tinggal menunggu paket rit berikutnya datang atau jadwal pickup berikutnya.

Tak punya pilihan

Sampai di titik ini saya sebetulnya sudah merasa lelah banget dengan beban pekerjaan sendiri. Sialnya, saya nggak punya pilihan untuk menyerah dan resign. Mungkin bisa resign, asal sudah mendapatkan pekerjaan pengganti dengan status yang lebih baik.

Saya merasa nggak sanggup jika dituntut untuk membereskan semua delivery di saat musim penghujan tiba. Ya, saya akui, saya memang lemah. Tapi untuk mengalahkan sikap pesimis itu di saat load paket lagi banyak banget, ya, saya harus kuat. Semangat tapi nggak perlu ngoyo-ngoyo juga.

Saya akan bawa paket semaksimal mungkin tapi nggak perlu menyusun tumpukan gunung paket di jok belakang motor sebab kerja juga perlu sebuah kewajaran. Saat ini, bagi saya, yang penting target tercapai. Nggak perlu melampaui. Kalau ternyata masih banyak paket yang belum terkirim, ya sudah, tunda pengiriman untuk esok hari.

Menakar kemampuan diri

Kalau mau ngikutin target perusahan memang nggak akan ada habisnya meskipun keringat sudah habis terperas sampai nggak ada yang menetes lagi. Saya juga perlu makan, istirahat, dan rebahan sebentar untuk mengendurkan saraf otak yang mengencang.

Sekarang, dengan personil 16 orang, istirahat adalah sebuah kemewahan. Apalagi sampai bisa ibadah, istirahat, terus tertidur di masjid. Sungguh nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?!

Dengan banyaknya teman yang kena terminasi, bukan berarti saya bisa bernafas lega. Mungkin giliran saya bukan sekarang tapi bisa jadi besok, lusa, atau minggu depan. Meskipun batin akan tetap berteriak untuk berkata tidak.

Dalam realitas yang sesungguhnya, semua kurir, baik yang kena terminasi ataupun yang enggak, sama-sama sedang berjuang untuk menjalani pekerjaan yang akhir-akhir ini terasa getir. Hanya saja dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Ya, pada akhirnya, di mana saja kita bekerja, kita semua perlu sadar bahwa jangan pernah merasa aman di zona aman.

BACA JUGA Cerita Saya, Kurir Paket yang Antar Amanah sampai ke Pelaminan dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Allan Maulana

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version