Gaya Hidup Sedotan Stainless Steel yang Good Vibes

MOJOK.CO – Meski gaya hidup sering diikuti karena sebuah tren, namun tidak ada yang dapat memaksakan gaya hidup seseorang. Seperti tidak perlu nyinyir ketika ada teman yang memilih menggunakan sedotan stainless steal dibanding sedotan plastik.

Apakah ada hubungan antara sedotan stainless steel dengan sebuah good vibes?

Emang ada ya, hubungannya? Saya juga baru tahu dari teman. Sebut saja namanya Ami, kepanjangannya Amigos por siempre  encontremos un gran final~ Cie nyanyi, jadi tahu nih umurnya. Ami ini salah satu dari sedikit sekali teman saya yang menerapkan gaya hidup sehat tetapi tidak memaksakannya ke teman yang lain.

Eh, pernah ding dia misuh-misuh gara-gara saya upload Instastory yang lagi sarapan Indomie rebus pakai telor dengan banyak cabe. Sementara dia waktu itu lagi sarapan pepaya sama yogurt. Lah, salah saya di mana, coba?

Sebenarnya, itu adalah kebiasaannya. Terbiasa sarapan buah dan yogurt, meski sesekali tetep makan cilok atau cireng pukul sembilan pagi. Selain itu, Ami juga hobi lari dari kenyataan di Grha Sabha Permana (GSP) UGM. Di sini pula Ami bertemu dengan pria yang kini jadi pacarnya. FTV banget, ya? —Tuh, Mblo, makanya jogging di GSP sana! Siapa tahu bisa ketemu jodoh!

Sebelum video kura-kura yang hidungnya berdarah gara-gara kemasukan sedotan plastik viral, Ami sudah jauh lebih dulu mengurangi penggunaan plastik, termasuk salah satunya adalah sedotan. Jika diberi cuma-cuma seperti ketika beli Paket Teh di Olive Chicken, sedotan yang masih terbungkus rapi itu akan ia kembalikan ke tempatnya—asem, wis dijupukke malah dibalekke!—Lalu ia akan meneguk teh begitu saja.

Pernah juga kami nongkrong di suatu coffee shop-slash-coworking space di siang bolong. Di sana, sedotannya opsional—jadi kalau butuh, monggo ambil sendiri. Saya pesan es kombucha, teh hitam fermentasi yang baunya menyengat dan rasanya kayak tape. Ketika saya memasukkan sedotan ke gelas es kombucha dan Sluuuurpp!, Ami bilang, “Yaaah!”

Saya mengerti maksudnya adalah: Yah, sayang banget pakai sedotan padahal es kombucha nggak perlu diaduk dulu. Jadi sebenarnya bisa langsung ditenggak.

Spesialnya Ami, dia ‘menegur’ saya dengan baik-baik. Jadi, saya nyantai aja melanjutkan srupat-sruput kesegeran es kombucha di depan Ami. FYI, coffee shop-slash-coworking space itu sekarang sudah pakai sedotan ramah lingkungan dari kulit singkong atau semacamnya sehingga lebih mudah terurai. Kalau mau pakai sedotan itu pun juga dikenakan biaya lima ratus rupiah per gagangnya. Nah, aturan yang kayak gini, yang bisa bikin saya memilih nggak pakai sedotan. Lumayanlah gopek bisa dapet makaroni micin pedas bungkus kecil.

Kembali ke viralnya video kura-kura yang hidungnya berdarah. Berkat video tersebut, langsung marak penjualan sedotan stainless steel. Di sini saya baru menyadari sesuatu dan percaya, gaya hidup seperti apapun yang sedang tren, tidak bisa dipungkiri bahwa kapitalis tetap menang dan berjaya. Ehm, apa saya jualan sedotan stainless steel aja, ya?

Anyway, Ami tentu termasuk golongan yang menyambut dengan senang hati kehadiran sedotan ini. Ami tidak hanya membeli sedotan stainless steel, namun ia membeli sepaket green living starter pack—begitu saya menyebutnya—yang tediri dari sedotan stainless stell, sisir kayu yang bentuknya sangat menggemaskan seperti sisirnya Rapunzel—tapi nggak punya kekuatan apa-apa, dan sikat gigi bergagang bambu atau kayu.

Geng saya zaman SMA pun tidak ketinggalan tren ini. Kami yang tergabung dalam sebuah grup Whatsapp, ramai-ramai menawarkan untuk beli paket itu barengan—bukan untuk kompakan sih, tapi lebih pada faktor ekonomi supaya ongkirnya bisa dibagi berempat. Toh kami sama-sama tinggal di Jogja.

Yang mengawali pesen paket itu rame-rame sih, tentu saja ungkapan, “Kamu tega lihat ada lagi kura-kura yang kayak kemarin?”

Hmmm, sebenarnya tega sih, enggak…

…tapi harga sedotan stainless stell segitu bisa dapat satu lipstik yang bakal meronakan bibirku dan mewarnai hariku ketika kencan dengan kekasih! Lagian saya juga jarang nongkrong di luar. Kalaupun nongkrong, palingan yang dipesan juga minuman hangat. Jadi dalam hidup saya ini, sebenarnya nggak perlu-perlu banget sama yang namanya sedotan!

Suatu ketika, Ami tiba-tiba Whatsapp saya dengan emosi yang bergulung-gulung mirip dadar. Katanya, dia lagi kesel sama beberapa orang di sekitarnya yang menurut Ami menyindir gaya hidup sehat. Misalnya, dengan bikin Instastory pegang sedotan stainless stell seperti milik Ami, lalu bilang, “Good vibes banget nih, Gaes. Pakai sedotan stainless steel.” Atau menyeduh Oatmeal dan bilang, “Good vibes.”

Sepertinya memang postingan biasa, namun pasti Ami sangat merasa kalau itu adalah sindiran terhadap gaya hidup yang sedang ia anut.

Meski sebenarnya, Ami belum yakin, apakah postingan itu ditujukan kepada dia atau bukan. Namun, karena Instastory Good Vibes nampak tepat di depan kacamatanya, Ami pun terpelatuque. Melalui sebuah pesan Whatsapp yang panjang, Ami mempertanyakan, “Memangnya di mana salahnya jika pakai sedotan itu, kalau memang sedang mencoba untuk menjaga lingkungan. Kok bisa-bisanya diejek-ejek good vibes gitu?”

Anyaway, good vibes ini sebenarnya istilah yang cukup bagus, loh. Namun karena disampaikan dengan kesan mengejek, ya jadi jelek. Saya kebayang sih, gimana Ami sampai merasa tersindir. Soalnya para pelakunya ini, juga pernah melakukan hal yang sama namun dengan topik berbeda kepada saya.

Saat itu, mereka menyindir para pecinta, ‘kopi, senja, hujan, dan rindu.’ Salah satu dari mereka bikin kopi ketika hujan sore-sore. Lalu ia bilang, “Ini gue udah kayak orang-orang pecinta kopi senja lalala belum, nih? Hujan, bikin kopi, apa gue pindah ke sebelah jendela aja ya, terus sok sendu sambil nulis, gitu?”

Saat itu saya yang terpelatuque. Memang, apa yang salah dari mencintai kopi, hujan, senja, dan rindu? Kopi minuman yang enak, sejak indah untuk dipandang, hujan dapat menyejukkan, dan rindu sering jadi candu.

Lantas, kenapa kita harus membeda-bedakan good vibes vs not-so-good vibes?

BTW, hati-hati loh. Gimana kalau setelah kalian bikin Instastory seperti itu—yang good vibes itu loh—orang-orang yang benar-benar ingin menerapkan gaya hidup sehat, jadi takut dikira pamrih doang. Ingat, menyelamatkan Bumi nggak sebercanda itu.

Untunglah Ami bukan tipe orang yang gampang ciut. Saya malah jadi senang menggodanya tiap kali dia update sarapan buah, olahraga dan sebagainya. Saya sering menggoda dengan me-reply “good vibes”. Ami biasanya akan foto zoom in lubang hidungnya lalu menambahkan stiker atau gif good vibes sendiri. Jika seperti itu, berarti dia baik-baik saja dan akan tetap melanjutkan gaya hidupnya itu.

Ngomong-ngomong kenapa ya manusia sukanya mengkotak-kotakkan diri sendiri dan orang lain ke dalam suatu golongan? Good vibes, swag, indie, mainstream. Padahal orang yang mereka pandang seperti itu belum tentu bermaksud mendefinisikan diri termasuk dalam golongan tersebut.

Sesungguhnya, menjuluki orang-orang dengan gaya hidup sehat sebagai ‘anak good vibes’, tak ubahnya menjuluki orang-orang yang memakai jaket denim, sepatu but, tote bag, bucket hat, dan scarf sebagai ciri ‘anak indie’.

Padahal bisa aja nih, gaya tampilan seperti itu karena dia adalah orang yang mudah merasa kedinginan. Jadi, dia selalu pakai printilan itu supaya terhindar dari hawa dingin yang menguar dari kehidupannya. Misalnya, loh, ya.

Jadi, nggak ada hubungannya antara sedotan stainless steel dengan good vibes.

Jika kamu memang niat nolongin Bumi beserta manusia dan seluruh isinya, lanjutkan!!!11! Jangan pedulikan nyinyiran di sekitarmu. Mau good vibes atau bad vibes, bodo amat!

Exit mobile version