MOJOK.CO – Saya nggak tahu bagaimana Bapak tiba-tiba bisa menggunakan fitur stiker WhatsApp untuk membalas pesan-pesan saya. Bikin awkward parah sih ini.
Belum genap setahun bapak saya menggunakan gawai berbasis android. Hal ini saya ketahui karena sekitar empat bulan lalu, untuk pertama kalinya bapak saya bisa bikin stori WhatsApp. Sampai tulisan ini dibuat, saya sendiri nggak pernah tahu beliau belajar atau berguru ke siapa.
Jujur, waktu saya lihat stori itu, itu jadi stori paling menyeramkan selama saya mainan stori Whatsapp. Soalnya, itu artinya saya nggak bisa lagi bikin stori Whatsapp sembarangan. Jangankan mainan stori Whatsapp sembarangan, nulis ini pun saya dihantui ketakutan, lah kalau tahu-tahu Bapak bikin stori Whatsapp berisi link tulisan saya ini sambil bilang… “lagi ngomongin Bapak yha~” kan ya mampos saya.
Pertama kali melihat Bapak bikin stori WhatsApp, jujur saya emang rada-rada takut gitu. Namun seiring berjalannya waktu, ketika Bapak sudah semakin mengerti bagaimana “cara main WhatsApp yang baik”, semua menjadi biasa-biasa saja saat ini. Namun harus saya akui, semakin rajin Bapak main WhatsApp, ada banyak cara komunikasi kami yang berubah.
Sebelum gemar mainan stori WhatsApp, mulanya Bapak jadi lebih suka menggunakan fitur video call kalau mau telepon saya. Ini jelas bahaya banget karena kalau saya ditanya “lagi di mana?”, itu artinya saya nggak bisa bohong. Ya kan nggak mungkin kamu bilang lagi di musala, padahal di belakangmu kelihatan gambar bilik warnet.
Selain sangat doyan video call, Bapak juga sering mengirimi pesan suara. Ealah, baru juga beberapa bulan udah mulai males ngetik aja nih kayaknya.
Masalahnya, belakangan ini, sebagaimana saya tidak tahu siapa yang ngajarin Bapak bikin stori WhatsApp, video call, dan bikin pesan suara, saya pun nggak tahu bagaimana Bapak tiba-tiba bisa menggunakan fitur stiker WhatsApp untuk membalas pesan-pesan saya.
Ini kejadian pada suatu malam, ketika ponsel saya menampilkan notif pesan WhatsApp dari Bapak. Saya agak kaget dengan kiriman chat Bapak. Agak sulit bagi saya untuk nahan geli. Sebab, Bapak ngirim stiker gambar Pak Luhut yang ada kata “lagi”-nya berjumlah tiga biji di sebelah foto Pak Luhut. Itu adalah kali pertama Bapak mulai bisa membalas pesan teks saya dengan fitur stiker WhatsApp.
Sebagai mahasiswa yang tinggal di tanah perantauan, saya merasa jadi anak sia-sia. Bapak saya nggak perlu merantau ternyata udah bisa bikin meme begituan dengan bakat otodidaknya. Sebagai anak saya merasa dilampaui.
Hal yang lebih menggemaskan, pernah suatu ketika saya minta transferan duit sama bapak saya. Hari itu kebetulan saya lagi butuh banget beli buku padahal uang di ATM mepet banget. Maka hanya kepada Bapak saya bisa ngemis. Tetapi karena baru sebulan saya sudah dua kali minta transfer, pada permintaan kedua, bapak membalas pesan saya dengan stiker Pak Luhut tadi.
Hadeh, ingin misuh rasanya di sini, tapi kok khawatir tulisan ini bakal dibaca bapak saya.
Padahal Bapak sebenarnya bisa aja ngetik, “ealah, kamu lagi, kamu lagi,” tapi karena ingin menyingkatnya dan barangkali sekalian mau nyerempet nyindir-nyindir ke pemerintah biar kayak SJW, Bapak hanya menjawab pesan saya dengan stiker Pak Luhut tadi.
Jujur saya nggak tahu pasti apa motif Bapak ngirim stiker-stiker kaya gitu, soalnya saya juga nggak berani tanya lebih lanjut. Tapi kalo dipikir-pikir, perasaan baru kemarin isu Pak Luhut jadi bahan meme, kok Bapak saya langsung udah punya stikernya, ya?
Oke, hal itu barangkali nggak penting. Yang penting sekarang saya tahu jalan ninja bapak saya: bikin/ngumpulin stiker-stiker WhatsApp yang ada gambar Pak Luhut-nya!1!1!
Yah, kita tahu, fitur stiker WhatsApp kini emang punya fungsi jadi media serba-guna. Sebab ia menyuguhkan paket komplit kepada para pengguna WhatsApp kayak bapak saya. Menyediakan foto-foto keren pemerintah yang bisa dibikin meme.
Padahal ketimbang untuk nyindir anaknya sendiri, seharusnya Bapak bisa menggunakannya untuk—misalnya—menceramahi temennya yang ahli neraka.
Ya iya dong, sebagai calon akhi senior yang baik, berkat kecanggihan fitur stiker WhatsApp bapak saya rasanya nggak perlu repot-repot kalau—misalnya—tiba-tiba mau melakukan aksi demo (apalagi mau reuni demo) untuk menceramahi seorang temannya yang terindikasi sebagai ahli neraka. Ya, ini pura-puranya aja.
Kan bapak saya bisa aja bilang ke temannya yang calon ahli neraka itu karena tidak sedikit orang-orang yang mulai melakukan bid’ah akut parah. Seperti ketika seharusnya salat magrib, mereka malah melakukan ritual menyembah senja, misalnya.
Maka dari itu, lewat stiker WhatsApp-lah kita semua bisa mengingatkan mereka dengan mengirim stiker keranda atau stiker mayat yang disiksa di dalam kubur.
Tentu tidak lupa diembel-embeli dengan stiker Ustaz Felix Siauw sebagai ganti kalimat, “maaf sekedar mengingatkan,” biar makin terenyuh hati orang yang menerima. Bahkan kalau perlu, saya siap kirim stiker Teh Danilla Riyadi versi syar’i-nya jika semua percobaan bapak saya sebelumnya gagal.
Selain itu, ketimbang cuma ngumpulin atau bikin stiker Whatsapp gambar Pak Luhut, ada baiknya bapak bisa memakai fotonya sendiri. Dan sekalian digunakan untuk mengkritik pemerintah—kayak kirim striker WhatsApp ke nomornya Pak Luhut, misalnya.
Persis kayak stiker yang pernah bapak saya kirimkan ke saya.
Tapi kali ini ada tulisannya, “Ealah, kamu lagi, kamu lagi.”
BACA JUGA Fitur-fitur ‘Rahasia’ di WhatsApp yang Bahkan Pengembangnya Sendiri Tidak Tahu atau tulisan ESAI lainnya.